Khawatir akan mengoyahkan kekuasaan
dinasti Saud, imam di Saudi yang bicara politik akan dipecat.
Sebagaimana yang dilansir Saudi Gazette (15/4), Kementerian Urusan Islam
Saudi, Wakaf, Dakwah dan Penyuluhan telah memperingatkan para imam
bahwa mereka mungkin akan kehilangan pekerjaan jika berbicara tentang
politik dalam khotbah Jumat mereka.
“Para imam yang berbicara tentang politik dalam khotbah-khotbah
mereka tidak hanya akan dipecat dari jabatannya tapi akan dilarang untuk
mengambil posisi-posisi lain di dalam masjid,” kata asisten wakil
kementerian itu.
Abdulmohsen Bin Abdulaziz Al – Asheikh mengatakan jika kementerian
menemukan bahwa seorang imam telah menggunakan khotbah-khotbahnya untuk
membahas politik, kementrian akan memanggilnya untuk berdiri di hadapan
sejumlah ulama dari salah satu komite penasihat kementerian yang telah
dibentuk di berbagai daerah.
“Jika para imam bertobat dan berjanjian dengan serius untuk tidak
melakukan hal ini lagi-lagi, dia akan diampuni dan akan terus menempati
posisinya, jika tidak, dia akan diberhentikan,” katanya.
Al-Asheikh meminta agar semua imam hanya berbicara tentang
masalah-masalah keagamaan yang menjadi perhatian jamaah dan untuk
menjauhi dari isu-isu politik.
Sekitar 3.500 ulama di Arab Saudi telah diberhentikan sejak tahun 2003 karena khotbah-khotbahnya yangmempertanyakan masalah politik, sebagian pers Arab melaporkan.
Dengan alasan yang dicari-cari yaitu mengekang ‘kaum ekstrimis’ dan
fatwa-fatwa yang “tidak masuk akal”, Raja Abdullah memutuskan pada
tahun 2010 bahwa hanya anggota Dewan Ulama Senior, dan mereka yang
dengan izin Raja yang dapat mengeluarkan fatwa publik .
Tahun lalu Kementerian Urusan Islam mengumumkan bahwa mereka akan
menerapkan sistem online yang memungkinkan seluruh imam masjid di
seluruh wilayah Kerajaan Saudi untuk terhubung satu sama lain lewat
Internet.
Sistem ini akan memungkinkan kementerian untuk memonitor semua
program yang terfokus pada masjid, peziarah, dan komunitas ekspatriat.
Statistik Departemen baru-baru ini menunjukkan bahwa ada 90.000
masjid di seluruh Kerajaan Saudi. Menghubungkan semua masjid dengan satu
sistem online akan memungkinkan pelayanan untuk mengetahui status dari
masing-masing masjid, kekurangan dan kebutuhannya.
Takut Kehilangan Kekuasaan
Tindakan pemerintah Saudi melarang Imam bicara politik patut dipertanyakan. Sebab dalam Islam, politik itu perkara ma’lumun minad din bidh-dharurah.
Memisahkan politik dari Islam serta menjadikan Islam sebatas ritus dan
moral adalah pendiskreditan Islam. Ide pemisahan Islam dengan politik
itu merupakan ide ‘nyleneh’ yang sebelumnya tidak dikenal di dalam
Islam.
Prof. Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jamu Lughah al-Fuqaha’ (I/253)
menjelaskan, politik dalam Islam adalah: ri’âyah syu‘ûn al-ummah bi
ad-dakhil wa al-khârij wifqa asy-syarî’ati al-islâmiyyah; artinya
pemeliharaan urusan umat di dalam dan luar negeri sesuai dengan syariah
Islam.
Makna inilah yang ada dalam hadis Nabi saw. riwayat Imam Muslim dari
Abu Hurairah ra: “Bani Israil itu diurus oleh para nabi (tasûsuhum
al-anbiyâ’). Ketika seorang nabi wafat maka akan diganti nabi (yang
baru). Namun tidak ada nabi setelahku dan akan ada para khalifah dan
jumlahnya banyak.”
Imam an-Nawawi dalam Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VI/316),
menjelaskan pengertiantasusuhum al-anbiyâ’, yaitu mengatur urusan mereka
sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap
rakyat-(nya).
Ringkasnya, politik dalam Islam adalah permeliharaan (ri’ayah) urusan
umat di dalam dan luar negeri, yang subyeknya adalah negara dan umat.
Negara secara real melaksanakan pemeliharaan itu. Umat melakukan kontrol
terhadap ri’ayah oleh negara.
Dari situ, kita mafhum mengapa para fuqaha’ saat mengkaji masalah
politik, selalu mengaitkan dengan Imamah, atau Khilafah. Sebab, tanpa
Khilafah dan Imamah, aktivitas politik dalam Islam tidak akan sempurna.
Imam al-Ghazali, di dalam Ihya’ Ulumuddin (I/17) menyatakan, “Agama itu
pokok. Kekuasaan itu layaknya pelindung. Sesuatu yang tidak ada pokok
atau fondasinya maka akan hancur. Sesuatu yang tidak ada pelindungnya
maka akan hilang.”
Sikap hirau terhadap politik yang berasas Islam ini juga ditunjukkan
oleh para ulama-ulama besar. Imam Malik adalah seorang ulama mujtahid
sekaligus guru Imam Syafii. Di antara ujian yang beliau derita adalah
pada tahun 146 H, yakni saat Khalifah Abu Ja’far melarang beliau
menyampaikan suatu hadis. Diam-diam, ada yang bertanya kepada Imam Malik
tentang hadis tersebut, hal ini mendorong sang Imam menyampaikan hadis
ini ke khalayak. Mendengar demikian Ja’far bin Sulaiman, Gubernur
Madinah, memukul Imam Malik 30 kali, dalam riwayat lain 70 kali.
Sebagian perawi menyebutkan, penyebab Imam Malik dipukul karena fatwa
beliau, bahwa pengangkatan Abu Ja’far sebagai khalifah tidak sah karena
melalui paksaan.
Imam Hasan al-Bashri adalah salah seorang di antara para ulama yang
begitu besar rasa takutnya kepada Allah. Sebaliknya, ia tak pernah
gentar terhadap penguasa dunia yang lalim. Beliau berani menentang
penguasa Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, penguasa Irak yang lalim pada
zamannya. Ia berani mengungkap keburukan perilaku penguasa tersebut di
hadapan rakyat dan menyampaikan kebenaran di hadapannya. Beliau sangat
terkenal dengan ucapannya, “Sesungguhnya Allah telah mengambil
perjanjian dari para pemilik ilmu untuk menjelaskan ilmu yang
dimilikinya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.” Karena
keberaniannya itulah beliau harus menanggung ragam penderitaan. (AF)
0 Response to "Rezim Saudi Pecat Imam yang Bicara Politik, Takut Kekuasaannya Goyah??"
Posting Komentar