Dalam menjawab Kronologi pertanyaan pada bukunya:
“DPP HTI menyalahkan anda karena berpendapat bahwa khilafah nubuwwah pada fase kelima dalam Hadits Hudzaifah bin al-Yaman ditafsirkan sebagai khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan setelah itu tidak ada lagi khalifah. Padahal dalam Shahih Muslim, di akhir zaman akan ada khalifah. Bagaimana tanggapan anda?”.
Idrus Ramli berkata:
“DPP HTI tidak mengerti maksud khalifah di akhir zaman yang ada dalam Shahih Muslim. Begini, Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, dalam al-Daulah al-Islamiyah halaman 3, menulis prolog tentang visi dan misi perjuangan HT untuk menegakkan khilafah dengan mengutif hadits Hudzaifah bin al-Yaman, yang teksnya tertulis begini:
عن حُذَيْفَة بن اليمان رضي الله عنه، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ. رواه أحمد
“Dari Hudzaifah bin al-Yaman RA, Rasulullah SAW bersabda: “Di tengah kalian sedang ada kenabian, yang dengan izin Allah ia akan tetap ada, kemudian Allah mangangkatnya, ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian, yang dengan izin Allah ia akan tetap ada, kemudian Allah mangangkatnya, ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang menggigit, yang dengan izin Allah ia akan tetap ada, kemudian Allah mangangkatnya, ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang memaksakan kehendaknya, yang dengan izin Allah ia akan tetap ada, kemudian Allah mangangkatnya, ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian”. Kemudian belaiu diam”. HR Ahmad.
Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani mengutif hadits tersebut didasari oleh suatu asumsi bahwa khilafah nubuwwah pada fase terakhir dalam hadits tersebut belum terjadi dan masih harus diperjuangkan. Nah di sinilah letak kesalahan Syaikh al-Nabhani. Beliau menafsirkan sendiri hadits Nabi SAW, tanpa merujuk pada penafsiran para ulama ahli hadits yang otoritatif (mu’tabar). Padahal Syaikh al-Nabhani, belum memiliki kapasitas untuk menafsirkan hadits.
Dalam semua jalur riwayat hadits tersebut dikemukakan bahwa Habib bin Salim, perawi hadits tersebut berpendapat bahwa yang dimaksud khilafah nubuwwah dalam fase terakhir adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz. Kemudian penafsiran Habib bin Salim ini diakui dan diikuti oleh para ulama perawi hadits. Karenanya, banyak ulama ahli hadits menulis hadits Hudzaifah tersebut dalam konteks keutamaan khalifah Umar bin Abdul Aziz, sebagaimana telah kami paparkan dalam buku, Hizbut Tahrir dalam Sorotan. Bahkan al-Hafidz Ibn Rojab al-Hanbali (736-795 H/1335-1393 M) berkata:
والخلفاء الراشدون الذين أمر بالإقتداء بهم هم أبو بكر وعمر وعثمان وعلي ، فإن في حديث سفينة عن النبي صلى الله عليه وسلم: الخلافة بعدي ثلاثون سنة، ثم تكون ملكا، وقد صححه الإمام أحمد واحتج به على خلافة الأئمة الأربعة، ونص كثير من الأئمة على أن عمر ين عبد العزيز خليفة راشد أيضا، ويدل عليه ما أخرجه الإمام أحمد من حديث حذيفة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ،…
“Khulafaur Rosyidin yang Nabi SAW memerintahkan mengikuti mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, karena dalam hadits Safinah, dari Nabi SAW; “Khilafah sesudahku tiga puluh tahun, kemudian kerajaan”. Imam Ahmad telah menshahihkan hadits tersebut dan menjadikannya sebagai hujjah atas kekhalifahan para imam yang empat. Banyak para imam yang memastikan bahwa Umar bin Abdul Aziz juga seorang khalifah yang rosyid (memperoleh petunjuk), hal tersebut ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari haditsnya Hudzaifah, dari Nabi SAW bersabda: “Di tengah kalian sedang ada kenabian, yang dengan kehendak Allah ia akan tetap ada,…”. (Ibnu Rojab, Jamu’ al-Ulum wa al-Hikam, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hal. 231).
Sedangkan hadits Muslim yang diajukan oleh DPP HTI, bahwa sebelum akhir zaman akan ada seorang khalifah, para ulama ahli hadits telah menjelaskan bahwa maksud khalifah dalam hadits tersebut adalah Imam Mahdi, bukan khalifah yang dicita-citakan oleh DPP HTI. Hadits tersebut teksnya begini:
عَنْ أَبِى نَضْرَةَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ يُوشِكُ أَهْلُ الْعِرَاقِ أَنْ لاَ يُجْبَى إِلَيْهِمْ قَفِيزٌ وَلاَ دِرْهَمٌ. قُلْنَا مِنْ أَيْنَ ذَاكَ قَالَ مِنْ قِبَلِ الْعَجَمِ يَمْنَعُونَ ذَاكَ. ثُمَّ قَالَ يُوشِكَ أَهْلُ الشَّأْمِ أَنْ لاَ يُجْبَى إِلَيْهِمْ دِينَارٌ وَلاَ مُدْىٌ. قُلْنَا مِنْ أَيْنَ ذَاكَ قَالَ مِنْ قِبَلِ الرُّومِ. ثُمَّ سَكَتَ هُنَيَّةً ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَكُونُ فِى آخِرِ أُمَّتِى خَلِيفَةٌ يَحْثِى الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا ». قَالَ قُلْتُ لأَبِى نَضْرَةَ وَأَبِى الْعَلاَءِ أَتَرَيَانِ أَنَّهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَقَالاَ لاَ.
“Dari Abi Nadhrah, berkata: “Kami bersama sahabat Jabir bin Abdullah. Ia berkata: “Telah hampir masanya penduduk Irak tidak akan memperoleh bagian dari takaran makanan dan dirham.” Kami berkata; “Kenapa begitu?” Beliau menjawab: “Kaum Ajam yang akan mencegahnya.” Kemudian beliau berkata: “Telah hampir masanya penduduk Syam tidak memperoleh bagian dari uang dinar dan takaran makanan.” Kami berkata: “Kenapa begitu?” Beliau menjawab: “Kaum Romawi yang mencegahnya.” Kemudian beliau diam sebentar. Lalu berkata: “Rosulullah SAW bersabda: “Akan ada di akhir umatku seorang khalifah yang akan membagi-bagikan harta kepada rakyatnya tanpa perhitungan, berapa ia memberinya.” Al-Jurairi berkata: “Aku berkata kepada Abi Nadhrah dan Abi al-‘Ala’:”Apakah anda berdua menganggap khalifah tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz?” Keduanya menjawab: “Bukan”. (HR Muslim [7499]).
Para ulama yang mengomentari hadits tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan khalifah dalam teks hadits di atas adalah Imam Mahdi, bukan khalifah versi HTI. Al-Imam al-Qurthubi (578-656 H/1182-1258 M), ketika mengomentari hadits di atas berkata dalam kitabnya, al-Mufhim:
قد روى الترميذي وأبو داود أحاديث صحيحة في هذا الخليفة وسماه بالمهدي، فروى الترميذي عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تذهب الدنيا حتى يملك العرب رجل من أهل بيتي يواطئ اسمه اسمي. قال: حديث حسن صحيح …
“Al-Tirmidzi dan Abu Dawud telah meriwayatkan beberapa hadits shahih mengenai khalifah ini, dan keduanya menamainya dengan nama al-Mahdi. Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Dunia tidak akan pergi sehingga seorang laki-laki dari keuargaku menguasai Arab, namanya sama dengan namaku.” Al-Tirmidzi berkata, hadits ini hasan shahih…”. ( Al-Qurthubi, al-Mufhim lima Asykala min Talkhish Kitab Muslim, [Damaskus, Dar Ibnu Katsir, 1996], juz VII, hal. 252, [edisi Muhyiddin Mastu]).
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh para ulama yang lain seperti al-Ubbi (w.827 H/1424 M), al-Sanusi (832-895 H/1428-1490 M), al-Harari (lahir 1348 H/1929 M) dan lain-lain. Al-Imam al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi memasukkan hadits Muslim tersebut dalam klasifikasi hadist-hadits yang menjelaskan tentang ciri-ciri Imam al-Mahdi, dalam kitabnya al-‘Arf al-Wardi fi Akhabar al-Mahdi, kitab khusus yang menjelaskan tentang hakekat Imam al-Mahdi, yang diyakini oleh umat Islam Ahlussunnah Waljama’ah. Sementara Hizbut Tahrir, mengingkari eksistensi dan datangnya Imam Mahdi. La haula wala quwwata illa billah. (Jurus Ampuh Membungkam HTI, hal. 25-31).
SANGGAHAN:
Pertama, pernyataan Idrus Ramli, “Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani mengutif hadits tersebut didasari oleh suatu asumsi bahwa khilafah nubuwwah pada fase terakhir dalam hadits tersebut belum terjadi dan masih harus diperjuangkan. Nah di sinilah letak kesalahan Syaikh al-Nabhani. Beliau menafsirkan sendiri hadits Nabi SAW, tanpa merujuk pada penafsiran para ulama ahli hadits yang otoritatif (mu’tabar). Padahal Syaikh al-Nabhani, belum memiliki kapasitas untuk menafsirkan hadits”.
Pernyataan ini adalah buruk sangka terhadap Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, dan indikasi atas kepribadian Idrus Ramli yang sombong, karena tidak sedikit Idrus Ramli juga sering menafsiri hadits dan menyimpulkannya dengan logikanya yang ngawur, seperti dalam bukunya, Hizbut Tahrir dalam Sorotan. Dan jawaban hal ini sudah saya dahulukan pada kesalahan logika Idrus Ramli ke I di atas.
Kedua, Idrus Ramli telah memastikan bahwa khilafah nubuwwah yang akan kembali pada hadits Hudzaifah bin al-Yaman adalah Umar bin Abdul Aziz dengan merujuk kepada pendapat Habib bin Salim sebagai perawi hadits tersebut. Padahal Nabi SAW tidak menentukan kapan kembalinya khilafah ala minhajin nubuwwah; tidak menentukan hari, tanggal dan tahunnya; juga tidak menentukan siapa khalifahnya, berapa jumlah khalifahnya dan dimana tempatnya. Sedangkan pendapat ulama yang mengatakan bahwa khilafah ala minhajin nubuwwah itu jatuh pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah murni pendapat ulama, yang tidak bisa dijadikan dalil, apa lagi dijadikan dalil untuk menyalahkan Hizbut Tahrir. Seharusnya Idrus Ramli menjadikan pendapat ulama itu bagian dari masalah khilafiyyah yang harus dihargai dan dihormati, tidak disalahkan dan disesatkan, karena kaidah fiqhiyyah berkata; al-ijtihad laa yunqodu bil ijtihad (produk ijtihad itu tidak bisa dibatalkan dengan produk ijtihad yang lain). Karena hadis tersebut adalah hadis yang umum, sehingga ketika terjadi perselisihan di antara para ulama dalam menafsiri dan menakwilinya, maka perselisihan itu adalah hal yang wajar dan dibenarkan. Sebagaimana para ulama juga telah berselisih dalam menafsiri dan menakwili sejumlah nash yang umum yang lain. Apalagi kalau kita mencermati perkataan Habib bin Salim (seperti yang dikemukakan oleh Idrus Ramli dalam bukunya, Hizbut Tahrir dalam Sorotan);
قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ.
“Habib bin Salim berkata: “Setelah Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, sedangkan Yazid bin al-Nu’man bin Basyir menjadi sahabatnya, maka aku menulis hadits ini kepada Yazid. Aku ingin mengingatkannya tentang hadits ini (yang aku riwayatkan dari ayahnya). Lalu aku berkata kepada Yazid dalam surat itu:“Sesungguhnya aku berharap, bahwa Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang mengikuti minhaj al-nubuwwah sesudah kerajaan yang menggigit dan memaksakan kehendak.” Kemudian suratku mengenai hadis ini disampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz, dan ternyata beliau merasa senang dan kagum dengan hadis ini.”
Maka kita memahami bahwa perkataan itu adalah bukti bahwa sebenarnya Habib bin Salim serta ulama yang lain hanya berharap bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah orangnya, bukan kepastian bahwa Umar bin Abdul Aziz adalah orangnya.
Ketiga, kembali ke hadits yang menyatakan akan datangnya dua belas khalifah, yaitu hadits:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ لَا يَنْقَضِي حَتَّى يَمْضِيَ فِيهِمْ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ. رواه مسلم
Dari Jabir bin Samuroh berkata: “Aku pernah mendengar Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya perkara agama ini tidak akan selesai sehingga berlalu pada mereka (kaum muslim / para khalifah) dua belas khalifah yang semuanya dari Quraisy”. HR Muslim.
Imam Suyuthi dalam kitab Tarikhul Khulafa’ berkata:
وقيل: إن المراد وجود اثني عشر خليفة في جميع مدة الإسلام إلى يوم القيامة يعملون بالحق وإن لم تتوال أيامهم ويؤيد هذا ما أخرجه مسدد في مسنده الكبير عن أبي الخلد أنه قال: لا تهلك هذه الأمة حتى يكون منها اثنا عشر خليفة كلهم يعمل بالهدى ودين الحق منهم رجلان من أهل بيت محمد صلى الله عليه وسلم وعلى هذا فالمراد بقوله ” ثم يكون الهرج ” أي الفتن المؤذنة بقيام الساعة من خروج الدجال وما بعده انتهى.
“Dikatakan; bahwa yang dikehendaki adalah wujudnya dua belas khalifah pada semua masa Islam sampai hari kiamat, mereka semua mempraktekkan hak, meskipun masa mereka tidak berturut-turut. Pendapat ini dikokohkan oleh hadis yang dikeluarkan Musaddad dalam ‘Musnad Kabir’-nya, dari Abul Khald, sesungguhnya beliau berkata: “Umat ini tidak akan rusak sehingga dari mereka ada dua belas khalifah yang semuanya mempraktekkan petunjuk dan agama yang hak, dari mereka ada dua laki-laki dari ahli bait (keturunan) Muhammad SAW.” Atas dasar ini, maka yang dikehendaki dengan perkataan, “kemudian akan ada kekacauan”, adalah fitnah-fitnah yang memberi tahukan akan datangnya kiamat, yaitu keluarnya Dajjal dan seterusnya.”
Jadi datangnya dua belas khalifah pada hadits di atas itu merata pada semua masa Islam sampai menjelang datangnya hari kiamat. Lalu kalau kita taslim kepada pendapat Idrus Ramli, bahwa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah itu hanya jatuh pada Umar bin Abdul Aziz, berarti khilafah Imam Mahdi itu bukan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Padahal dalam banyak hadits dijelaskan bahwa Imam Mahdi itu datang sebagai khalifah. Apakah mungkin kalau khilafahnya Imam Mahdi itu khilafah ‘ala minhajil muluk, seperti khilafahnya Muawiyah? Padahal Idrus Ramli (dengan memakai pendapat sebagian ulama) telah memasukkan Umar bin Abdul Aziz ke dalam khilafah ala minhajin nubuwwah. Apakah Idrus Ramli meyakini bahwa keadilan dan derajat Imam Mahdi itu berada di bawah Umar bin Abdul Aziz, sehingga Imam Mahdi tidak layak mendapat khilafah nubuwwah?
Apalagi kalau kita memperhatikan pernyataan Imam Suyuthi:
قلت: وعلى هذا فقد وجد من الاثني عشر خليفة الخلفاء الأربعة والحسن ومعاوية وابن الزبير وعمر بن عبد العزيز هؤلاء ثمانية ويحتمل أن يضم إليهم المهتدي من العباسيين لأنه فيهم كعمر بن عبد العزيز في بني أمية وكذلك الطاهر لما أوتيه من العدل وبقى الاثنان المنتظران أحدهما المهدي لأنه من آل بيت محمد صلى الله عليه وسلم.
“Saya (Imam Suyuthi) berkata: Atas dasar pendapat ini, dari dua belas khalifah telah ada para khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Hasan, Muawiyah, Ibnu Zubair, Umar bin Abdul Aziz, mereka adalah delapan khalifah. Dan dapat dikumpulkan kepada mereka, al-Muhtadi dari para khalifah Bani Abbas (khilafah abbasyiyyah), karena pada mereka ia seperti Umar bin Abdul Aziz pada Bani Umayah. Begitu pula at-Thahir, karena keadilannya. Dan masih tersisa dua khalifah yang dinanti-nantikan, salah satunya adalah Imam Mahdi, karena beliau termasuk keturunan Muhammad SAW”. (Imam Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, juz 1, hal. 83).
Dari pernyataan Imam Suyuthi yang telah memasukkan Umar bin Abdul Aziz dan Imam Mahdi ke dalam dua belas khalifah, ternyata masih kurang satu khalifah lagi. Maka pertanyaannya, apakah tidak mungkin yang satu khalifah itu datang dari Hizbut Tahrir? Yaitu khalifah sebelum Imam Mahdi, karena dalam sebagian hadits dijelaskan bahwa sebelum Imam Mahdi sudah ada khalifah. Apalagi kalau Muawiyah dicabut dari jajaran dua belas khalifah (seperti asumsi Idrus Ramli yang tidak mengakui Muawiyah sebagai khalifah), maka masih sisa dua khalifah lagi.
Sesungguhnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tidak ada nash yang menentukannya, maka hal yang wajar kalau ulama berselisih dalam menentukannya, dan perselisihan itu adalah rahmat yang harus disyukuri dan dihargai, tidak disalahkan atau disesatkan, atau dijadikan dalil untuk menyerang, menyalahkan dan menyesatkan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dan Hizbut Tahrir-nya.
Terakhir, saya tidak menemukan sandaran dari kitab-kitab-nya, bahwa Hizbut Tahrir mengingkari eksistensi dan datangnya Imam Mahdi. Jadi, itu hanyalah tambahan kebohongan dari Idrus Ramli. La haula wala quwwata illa billah.[syariahpublication.com/www.bringisam.web.id]
0 Response to "Tidak Memahami Konotasi Khilafah Pra Akhir Zaman, Kesalahan Logika Idrus Ramli, ke 6 dari 17"
Posting Komentar