Heboh di dunia maya, terkait tudingan penulis anonim dengan nama
Jilbab Hitam, yang mengaku bekas wartawan Tempo angkatan 2006, di media
sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013.
Kami tertarik mengulas karena ada fakta di dunia jurnalistik terkait suap demi sebuah kepentingan dan yang menarik perhatian dengan penggunaan nama pseudonym "Jilbab Hitam" ??
Fakta atau Jebakan baru? Simak penuturannya semoga kita mendapat hikmah agar jurnalis muslim anti menerima SUAP atau GRATIFIKASI...
Kebobrokan Media di Indonesia
Saya adalah seorang perempuan biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan TEMPO tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok Goenawan Mohamad yang menjadi alasan utamanya. Dimulai
dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam ‘Catatan
Pinggir’ hingga rutin membaca Majalah TEMPO sejak masih duduk di bangku
pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media
TEMPO.
Dengan polos, saya selalu berpikir, salah satu cara memberikan
kontribusi yang mulia kepada masyarakat, mungkin juga negara adalah
dengan menjadi bagian dalam jejaring wartawan TEMPO. Apalagi,
sebagai awam saya selalu melihat TEMPO sebagai media yang bersih dari
praktik-praktik kotor permainan uang.Permainan uang ini, dikenal dalam
dunia wartawan dengan istilah ‘Jale’ yang merupakan perubahan kata dari
kosakata ‘Jelas’.
“Jelas nggak nih acaranya?”
“Ada kejelasan nggak nih?”
“Gimana nih broh, ada jale-annya nggak?”
Kira-kira begitu pembicaraan yang sering saya dengar di area liputan. Istilah
‘Jelas’ berarti acara liputannya memberikan ongkos transportasi alias
gratifikasi kepada wartawan, dengan imbal balik tentunya penulisan
berita yang positif.Dari kata ‘Jelas’, kemudian bergeser istilah menjadi
‘Jale’ yang menjadi kosakata slank untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’.
Perilaku menerima uang sudah menjadi sangat umum dalam dunia wartawan.Saya pribadi jujur sangat jijik dengan perilaku tersebut.
Ketika (akhirnya) saya bergabung dengan grup TEMPO di tahun 2006, sebagaimana cita-cita saya dulu sekali, saya merasa lega.
“Setidaknya, saya tidak menjadi bagian dari media-media ecek-ecek yang kotor dan sarat permainan uang” pikir saya.
Dulu, saya berpikir, media besar seperti TEMPO, Kompas, Bisnis
Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya, tidak mungkin bermain uang dalam
peliputannya. Dulu, saya pikir, hanya media-media tidak jelas saja yang bermain seperti itu.
Namun fakta berkata lain. Sempat tidak percaya karena begitu dibutakan
kekaguman saya pada kewartawanan, Goenawan Mohamad, TEMPO dan lainnya,
saya sempat menolak percaya bahwa wartawan-wartawan TEMPO, Kompas,
Bisnis Indonesia, Jawa Pos, Antara dan lain-lainnya, rupanya terlibat
juga dalam jejaring permainan uang.
Media-media tidak jelas atau yang lebih dikenal dengan media Bodrek bermain uang dalam peliputannya. Hanya saja, dari segi uang yang diterima, saya bisa katakan kalau itu hanya Uang Receh.
Mafia-nya bukan disitu. Media-media Bodrek bukan menjadi mafia permainan
uang dalam jual beli pencitraan para raksasa politik, korporasi,
pemerintahan.Adalah media-media besar seperti TEMPO, Kompas, Detik,
Antara, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan sebagainya, yang
menjadi pelaku jual beli pencitraan alias menjadi mafia permainan uang
wartawan.
Siapa tak kenal Fajar (Kompas) yang menjadi kepala mafia uang dari Bank
Indonesia dalam permainan uang di kalangan wartawan perbankan?
Siapa tak kenal Kang Budi (Antara News) yang mengatur seluruh permainan uang di kalangan wartawan Bursa Efek Indonesia?
Siapa tak kenal duet Anto (Investor Daily) dan Yusuf (Bisnis Indonesia) yang mengatur peredaran uang wartawan di sektor Industri?
Banyak lagi lainnya, yang tak perlu saya ungkap disini. Tapi
beberapa nama berikut ini, sungguh menyakitkan hati dan pikiran saya,
sempat menggoyahkan iman saya, lantas betul-betul membuat saya
kehilangan iman.
Adalah Bambang Harimurti (eks Pimred TEMPO yang kemudian menjadi pejabat
Dewan Pers, juga salah satu orang kepercayaan Goenawan Mohamad di grup
TEMPO) yang menjadi kepala permainan uang di dalam grup TEMPO.
Siapa bilang TEMPO bersih?
Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham
grup Bakrie setelah TEMPO mati-matian menghajar grup Bakrie di tahun
2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu dan memborong saham Bakrie.
Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya, seperti yang sebut di atas.
Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawapos. Teman
saya di Jawapos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup
Jawapos) adalah, gaji para wartawan Jawapos tidak besar, namun manajemen
Jawapos menganjurkan para wartawannya mencari ‘pendapatan sampingan’ di
luar. Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan.
TEMPO berbeda. Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka 3 jutaan. Terakhir malah mencapai 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior bermain proyek pemberitaan.
Media sekelas TEMPO, Kompas, Bisnis Indonesia dan sebagainya yang sebut tadi di atas, tidak bermain Receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita tayang seperti media ecek-ecek. Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang.
Memangnya, ketika TEMPO begitu membela Sri Mulyani, tidak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI?
Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran
dana dari Edwin Surjadjaja (kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)?
Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana dari Sinarmas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery?
Memangnya, ketika grup TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam
Skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara
Bambang Harimurti dengan Mustafa Abubakar? Saat itu, Bambang Harimurti juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa Abubakar.
Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie,
tidak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang saat
itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin
Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula
menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak
oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto
yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. Grup TEMPO sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa?
Fakta-fakta itu, yang semula begitu enggan saya percayai karena
fundamentalisme saya yang begitu buta terhadap TEMPO, sempat membuat
saya frustrasi. Kalau boleh saya samakan, mungkin kebimbangan saya seperti seorang yang hendak berpindah agama. Spiritualitas dan mentalitas saya goncang akibat adanya fakta-fakta tersebut. Bukan
hanya fakta soal permainan mafia grup TEMPO, tetapi juga fakta bahwa
media-media besar bersama wartawan-wartawannya, lebih jauh terlibat
dalam permainan uang dan jual beli pencitraan, layaknya jasa konsultan.
Mereka, media-media besar ini, tidak bermain Receh, mereka bermain dalam
cakupan yang lebih luas lagi, baik deal politik tingkat tinggi, juga
transaksi korporasi kelas berat.
Namun semua itu sebetulnya tidak terlalu saya masalahkan, hingga suatu
hari saya lihat sendiri bahwa permainan uang dan jual beli pencitraan
juga terjadi pada media tempat saya bekerja, TEMPO. Dikepalai
oleh Bambang Harimurti sebagai salah satu Godfather mafia permainan
uang dan transaksi jual beli pencitraan dalam grup TEMPO, kini tidak
hanya bergerak dari dalam TEMPO, tetapi sudah menjadi jejaring antara
grup TEMPO dengan para eks-wartawan TEMPO yang membangun kapal-kapal
semi-konsultan untuk memperluas jaringan mereka, masih di bawah Bambang
Harimurti.
Saya pribadi, memutuskan resign dari TEMPO pada awal tahun 2013. Muak
dengan segala kekotoran TEMPO, kejorokan media-media di Indonesia,
kejijikan melihat jejaring permainan uang dan jual beli pencitraan di
kalangan wartawan TEMPO dan media-media besar lainnya.
Praktik mafia TEMPO kini semakin menjadi-jadi.
Agustus lalu, masih di tahun 2013, saya sempat mampir ke Bank Mandiri pusat di jalan Gatot Subroto. Saat
itu, saya sudah resign dari grup TEMPO. Tak perlu saya sebut, kini saya
bekerja sebagai buruh biasa di sebuah perusahaan kecil-kecilan, namun
jauh dari permainan kotor TEMPO.
Di gedung pusat Bank Mandiri itu, saya memang janjian dengan
eks-wartawan TEMPO bernama Eko Nopiansyah yang kini bekerja sebagai
Media Relations Bank Mandiri. Ia keluar dari TEMPO dan pindah ke Bank Mandiri sejak tahun 2009, karena dibajak oleh Humas Bank Mandiri Iskandar Tumbuan.
Pada pertemuan santai itu, hadir juga Dicky Kristanto, eks-wartawan
Antara yang kini juga menjabat sebagai Media Relations Bank Mandiri. Kami bincang bertiga. Pak Iskandar, yang dulu juga saya kenal ketika sempat meliput berita-berita perbankan sempat mampir menemui kami bertiga. Namun karena ada meeting dengan bos-bos Mandiri, pak Iskandar pun pamit.
Sambil menyeruput kopi pagi, saya berbincang bersama Eko dan Dicky. Mulai
dari obrolan ringan seputar kabar masing-masing, hingga bicara
konspirasi politik dan berujung pada obrolan soal aksi lanjutan TEMPO
dalam ‘memeras’ Bank Mandiri terkait kasus SKK Migas.
Saya lupa siapa yang memulai pembicaraan mengagetkan itu, meski
sebetulnya kami sudah tidak kaget lagi karena memang kami, kalangan
wartawan (atau eks-wartawan) sudah paham betul perilaku wartawan.
Siapapun itu, Eko maupun Dicky menuturkan keluhannya terhadap grup TEMPO. Begini ceritanya.
“Ketika kasus suap SKK Migas yang melibatkan Kepala SKK Migas Rudi
Rubiandini terkuak, saat itu beliau juga menjabat sebagai Komisaris Bank
Mandiri. Dan memang harus diakui bahwa aktivitas transaksi suap, pencairan dana dan sebagainya, menggunakan rekening Bank Mandiri. Tapi
ya itu kami nilai sebagai transaksi individu. Karena berdasarkan UU
Kerahasiaan Nasabah, kami Bank Mandiri pun tidak dapat melihat dan
memang tidak diizinkan menilai tujuan dari sebuah transaksi pencairan,
transfer atau apapun, kecuali ada permintaan dari pihak Bank Indonesia,
PPATK, pokoknya yang berwenang.Oleh sebab itu, kami tidak terlalu
memusingkan soal apakah Bank Mandiri akan dilibatkan dalam kasus SKK
Migas,” tuturnya.
“Tiba-tiba, masuklah proposal kepada divisi Corporate Secretary dan Humas Bank Mandiri dari KataData. Itu
lho lembaga barunya Metta Dharmasaputra (eks-wartawan TEMPO) yang
didanai oleh Lin Che Wei (eks-broker Danareksa).Gua kira KataData murni
bergerak di bidang pemberitaan. Eh, nggak taunya KataData juga bergerak sebagai lembaga konsultan. Jadi
KataData menawarkan jasa solusi komunikasi kepada Bank Mandiri untuk
berjaga-jaga apabila isu SKK Migas meluas dan mengaitkan Bank Mandiri
sebagai fasilitator aksi suap,” ungkapnya.
“Rekomendasinya sih menarik, KataData menawarkan agar aksi suap SKK
Migas dipersonalisasi menjadi hanya kejahatan Individu, bukan kejahatan
kelembagaan, baik itu lembaga SKK Migas maupun Bank Mandiri. Apalagi,
Metta mengatakan bahwa tim KataData juga sudah bergerak di social media
untuk mendiskreditkan Rudi Rubiandini dalam isu perselingkuhan,
sehingga akan mempermudah proses mempersonalisasi kasus suap SKK Migas
menjadi kejahatan individu semata,” jelasnya.
“Data-data yang ditampilkan KataData memang menarik, karena riset data
dilakukan oleh IRAI, lembaga riset milik Lin Che Wei yang menjadi
penyedia data utama KataData. Kalau tidak salah waktu itu data utang-utang grup Bakrie yang dibongkar TEMPO juga dari IRAI ya? Itu
lho, yang tadinya ditawarin ke pak Nirwan dan karena ditolak kemudian
dibayarin Agus Marto Rp 2 miliar untuk menghajar grup Bakrie,” papar dia.
“Kita sih waktu itu melaporkan proposal tersebut kepada para direksi Bank Mandiri. Dan selama sekitar 2 pekan, memang belum ada arahan dari direksi mau diapakan proposal tersebut. Penjelasan pak Iskandar (humas Bank Mandiri) sih, direksi masih melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan pemerintahan. Biar bagaimanapun ini isu besar, salah langkah bisa berabe akibatnya. Gua sih yakin, saat itu bos-bos lagi memetakan dulu kemana arah isu ini sebelum memberikan jawaban terhadap proposal yang masuk. Karena selain KataData juga ada dari pihak-pihak konsultan lainnya,” kata dia.
“Eeh, tau-tau Pak Iskandar bilang, gila, TEMPO makin jadi aja
kelakuannya.Masak BHM (Bambang Harimurti) sampai menelpon langsung ke
pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin) terkait
proposal KataData yang memang belum kita respon karena masih memetakan
arah isunya. Secara
tersirat kita tau lah telepon itu semacam ancaman halus dari BHM dan
KataData bahwa jika tidak segera direspon, maka data-data akan
dipublikasi, tentunya dalam cara TEMPO mempublikasi data dong yang
selalu penuh asumsi dan bertendensi negatif,” ungkap dia.
“Menurut Pak Iskandar, meski sudah diperingati soal bahaya menolak
tawaran (alias ancaman) TEMPO grup adalah terjadinya serangan isu
negatif kepada Bank Mandiri, rupanya Pak Budi (Direktur Utama Bank
Mandiri) bersikeras tidak takut terhadap grup TEMPO. Penolakan memberikan respon cepat terhadap proposal KataData pun disampaikan kepada BHM (Bambang Harimurti),” singkap dia.
“Alhasil, terbitlah Majalah TEMPO edisi 18 Agustus 2013 dengan judul Setelah Rudi, Siapa Terciprat? yang isinya begitu mendiskreditkan Bank Mandiri dalam kasus SKK Migas. TEMPO
membentuk opini bahwa aksi suap Rudi Rubiandini tidak akan terjadi
apabila Bank Mandiri tidak memfasilitasinya,” keluh dia.
“Ini kan semacam pemerasan halus atau pemerasan Kerah Putih dari
jejaring TEMPO (Bambang Harimurti), KataData (Metta Dharmasaputra,
Eks-Wartawan TEMPO) dan IRAI (Lin Che Wei, Eks-Broker Danareksa dan
pendana utama KataData). Begitu edisi tersebut tayang, kita sih tepuk dada saja menghadapi mafia TEMPO dalam memeras korban-korbannya. Biasanya
memang begitu polanya. Begitu ada kasus skala nasional, calon-calon
korban seperti kita (Bank Mandiri) akan didekati oleh mereka, ditawari
jasa konsultan dengan ancaman kalau tidak deal, ya di blow up. Padahal data yang mereka publish tidak sepenuhnya benar. Tapi semua orang juga tau kalau TEMPO sangat pintar memainkan asumsi dan tendensi negatif,” keluh dia.
Mendengar cerita tersebut, dalam hati saya bersyukur kalau saya sudah
tidak lagi menjadi bagian dari TEMPO yang sudah tidak bersih lagi. Mereka sudah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. Sama saja dengan media-media lainnya kayak Kompas, Antara, Detik, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos dan lain-lain.
Saya lega sudah dibukakan mata dan tidak lagi buta terhadap TEMPO maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan yang bersih. Sulit
menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak. Tidak hanya
di luar organisasi tempat kamu bekerja, tetapi juga di dalam organisasi
tempatmu bekerja.
Hampir mirip seperti PNS, mengikuti arus korupsi adalah sebuah keharusan, karena jika tidak, karirmu akan mandek. Korupsi yang melembaga tidak hanya terjadi di lembaga pemerintah. Jejaring
wartawan, media seperti yang terjadi pada grup TEMPO, meski mereka
seringkali memeras dengan ‘kedok’ melawan korupsi, toh kenyataannya grup
TEMPO telah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan
dan transaksi jual beli pencitraan.
TEMPO dan media-media besar lainnya tidak lagi bersih. Korupsi
dalam grup TEMPO telah melembaga alias terorganisir, sebagaimana
korupsi di organisasi pemerintahan, departemen dan sebagainya.
Saya bersyukur dibukakan mata dan dijauhkan dari dunia itu. Lebih senang dan tenang batin bekerja sebagai buruh biasa seperti yang saya lakukan kini.
Insya Allah jauh dari dunia hitam.
===========================
"Tanggapan Tempo"
Majalah Tempo bersama lembaga riset KataData dituding melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh penulis anonim dengan nama Jilbab Hitam, yang mengaku bekas wartawan Tempo angkatan 2006, di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013.
Di tulisan berjudul "TEMPO dan KataData ‘Memeras’ Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas?"
disebutkan Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harimurti
menelepon Dirut Mandiri Budi Gunadi Sadikin menanyakan soal proposal
KataData, yang menawarkan diri sebagai konsultan komunikasi terkait
penangkapan Direktur SKK Migas Rudi Rubiandini. Rudi adalah komisaris bank pemerintah itu.
Menurut penulis itu, karena Mandiri tak meloloskan proposal KataData, majalah Tempo lalu menerbitkan laporan bertajuk "Setelah Rudi, Siapa Terciprat?" pada edisi 18 Agustus 2013 dengan gambar sampul Rudi Rubiandini.
“Saya malah baru tahu ada proposal Metta (KataData) ke Mandiri dari tulisan ini.Kalau Tempo jauhlah dari memeras. Iklan yang diduga ‘bermasalah’ saja kami tolak kok,” kata Bambang. KataData adalah lembaga riset yang dipimpin Metta Darmasaputra, mantan wartawan Tempo.
.hoaxTempoTempo.
Menurut dia, staf humas Mandiri, Eko Nopiansyah, yang disebut dalam tulisan itu sudah ditanya, dan membantahnya. “Kata Eko, hoax, dia tak pernah bertemu dengan eks wartawanTempo angkatan 2006, atau angkatan berapa pun, atau yang bukan eks wartawan Tempo, dan membicarakan yang dituduhkan penulis artikel itu,” kata Bambang. [voa-islam]
0 Response to "Wartawati Tempo Ungkap Kebobrokan Media Di Indonesia"
Posting Komentar