MUQADDIMAH
الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين، أما بعد
Muqaaranah dan mujaadalah (perbandingan dan debat) merupakan fenomena yang sudah terjadi sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an telah mendokumentasikan hal yang dialami para Nabi –‘Alayhimussalaam-. Allah SWT berfirman:
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ ۚ وَيُجَادِلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ ۖ وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا هُزُوًا
“Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan kebenaran, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.”(QS. al-Kahfi [18]: 56).
Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan dokumen-dokumen sejarah lainnya. Motif utama dari diskusi dan perbandingan adalah mencari kebenaran, sekaligus untuk mengoreksi pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah. Dengannya, akan diketahui pendapat siapakah yang paling dekat dengan kebenaran, dan pendapat siapa yang lemah. Bila suatu pendapat telah terbukti lemah dan salah, maka pendapat itu harus ditinggalkan dengan sikap lapang dada, dan penuh keikhlasan.
Tapi amat disayangkan, diskusi dan perdebatan terkadang dihiasi dengan kata-kata tercela yang dicela syari’at, sehingga melenceng jauh dari tujuan yang benar. Merasa kalah beragumentasi, lalu melarikan diri dari adu argumentasi menjadi stigmatisasi dengan beragam dalih yang diada-adakan. Sikap seperti ini bukanlah sikap seorang muslim yang baik, mengalihkan topik pembicaraan, melecehkan lawan diskusi, dan tidak bertanggungjawab terhadap dirinya untuk mengakui kebenaran.
Jika dievaluasi, kian menguatkan bukti bahwa kehidupan kaum muslimin saat ini yang jauh dari Islam di bawah naungan sistem kehidupan rusak Demokrasi, telah diracuni prinsip kebebasan berbicara. Hingga menjangkiti sebagian dari perdebatan di antara para aktivis gerakan Islam –Allaahummaghfirlanaa-. Berangkat dari keprihatinan terhadap fenomena perdebatan dalam dunia maya, penulis tergerak untuk menyajikan nasihat di jalan taqwa, yang sejatinya berlaku bagi penyusun sendiri, dan bagi semua hamba Allah karena nasihat-nasihat ini penyusun nukil dari mutiara nasihat Allah dan Rasul-Nya yang dijabarkan para ‘ulama. Penyusun tidak mewakili harakah manapun, meski penyusun adalah -aktivis gerakan dakwah internasional- namun nasihat ini berlaku bagi siapapun, dari harakah manapun. Penulis bahas masalah ini pada sejumlah poin pasal pembahasan:
Kecaman Syari’at Atas Perbuatan Mencela Sesama Muslim “Omdo”, “Hanya Koar-Koar Pake Toa”
Pasal II:
Mencela Dakwah HT Dengan ”Omdo”, ”Koar-Koar Pake Toa” = Perbuatan Meremehkan Keta’atan
Pasal III:
Ingat: Dakwah Merupakan Kewajiban! Tak Boleh Dan Tak Pantas Dicela!
Pasal IV:
Mari Kita Evaluasi: Hati-Hati Dengan Kebencian
Pasal V:
Celaan ”Omdo”, ”Koar-Koar Pake Toa” Berasal Dari Hawa Nafsu
Pasal VI:
Agama Itu Adalah Nasihat
Pasal VII:
Celaan ”Omdo” & Fitnah Kebebasan Berbicara Ala Demokrasi
PASAL I:
KECAMAN SYARI’AT ATAS PERBUATAN MENCELA SESAMA MUSLIM “OMDO”, “HANYA KOAR-KOAR PAKE TOA”
Ironis, seringkali penulis temukan perkataan-perkataan tercela yang disampaikan para oknum yang sebenarnya hanya menyibukkan diri untuk memprovokasi perdebatan, mereka berkata seakan-akan perkataan tersebut tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Mereka mencela aktivitas syabab Hizbut Tahrir dengan perkataan “omong doang”, “tukang gosip”, “koar-koar pake toa” dan beragam penghinaan lainnya. Apakah mereka tidak menyadari bahwa hal itu bisa merusak ukhuwwah islaamiyyah? Jika semua itu dilakukan dengan klaim untuk menasihati sesama muslim maka Islam sebenarnya telah mengoreksi perkataannya sebelum ia mengoreksi orang lain.
Lebih ironis lagi, jika perdebatan tersebut dibanjiri ikon-ikon senyum lebar sembari mengkritik pedas dalam perdebatan yang sebenarnya tidak lucu, dan tidak ada alasan wajar untuk tertawa sehingga lawan diskusi memandangnya sebagai bentuk olok-olok. Dan terkadang dalam perdebatan di dunia maya tak jarang ditemukan pernyataan atau ikon yang menyatakan “IQ/otak jongkok” yang dilakukan sejumlah oknum. Siapapun yang melakukan kesalahan-kesalahan di atas –siapapun ia dan dari harakah manapun- sudah semestinya mengaca diri, terlebih diskusi-diskusi tersebut selama ini membahas tentang Islam dan kepentingan kaum muslimin, tidak adakah rasa malu? Ia berbicara tentang Islam, mengatasnamakan Islam namun Islam telah mencela dan mengoreksi perkataannya tersebut.
Ketahuilah wahai ikhwah fillaah, tentang celaan-celaan di atas para ulama banyak menjelaskan keharamannya. Diantaranya al-Syaikh Nawawi al-Bantani ketika menjelaskan contoh-contoh maksiat lisan:
الاستهزاء أي السخرية بالمسلم وهذا محرم مهما كان مؤذيًا
“Melecehkan yakni mengolok-olok muslim, perbuatan ini diharamkan bahkan berbahaya.”
Bukankah perbuatan ini bisa menghancurkan persaudaraan sesama muslim?
Sedangkan al-Hafizh al-Nawawi menyusun satu bab khusus tentang “Pengharaman Merendahkan & Melecehkan Kaum Muslimin” (بابُ تَحريمِ احْتِقار المسلمينَ والسُّخْرِيةِ منهم) dalam kitab al-Adzkaar-nya.
Imam al-Nawawi menukil dalil-dalil firman Allah SWT:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.” (QS. Al-Tawbah [9]: 79)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mengolok-olok kumpulan yang lain, bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[2] dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11)
Imam al-Syawkani dalam kitab tafsir Fath al-Qadiir menuturkan:ومعنى الآية : النهي للمؤمنين عن أن يستهزىء بعضهم ببعض ، وعلل هذا النهي بقوله : { عسى أَن يَكُونُواْ خَيْراً مّنْهُمْ } أي : أن يكون المسخور بهم عند الله خيراً من الساخرين بهم
“Dan makna ayat: merupakan larangan bagi orang-orang beriman untuk saling merendahkan, alasan larangan ini pada frase: “bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka” yakni pihak yang direndahkan lebih baik kedudukannya di sisi Allah daripada orang-orang yang merendahkan.”[3]
Al-Hafizh al-Thabari menafsirkan:يقول تعالى ذكره: يا أيها الذين صدّقوا الله ورسوله، لا يهزأ قوم مؤمنون من قوم مؤمنين –عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ- يقول: المهزوء منهم خير من الهازئين
“Allah SWT berfirman yang maknanya: Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya janganlah suatu golongan dari orang-orang beriman mengolok-olok golongan lain dari orang-orang beriman “bisa jadi yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka” yakni orang yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok.”[4]
Ketika menjelaskan berbagai pandangan para ulama terkait ayat ini, al-Hafizh al-Thabari menegaskan:
والصواب من القول في ذلك عندي أن يقال: إن الله عمّ بنهيه المؤمنين عن أن يسخر بعضهم من بعض جميع معاني السخرية، فلا يحلّ لمؤمن أن يسخر من مؤمن لا لفقره، ولا لذنب ركبه، ولا لغير ذلك
“Dan yang paling tepat dalam hal ini dalam pandanganku: sesungguhnya Allah melarang secara umum orang-orang beriman terhadap perbuatan saling merendahkan (mengolok-olok-pen.) mencakup keseluruhan ungkapan yang bermakna ejekan, maka tidak halal bagi orang yang beriman merendahkan orang beriman lainnya, apakah karena kemiskinannya, dosa yang telah dilakukannya, dan lain sebagainya.”
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al-Humazah [104]: 1)
وأما الأحاديث الصحيحةُ في هذا الباب فأكثرُ من أن تُحصر، وإجماعُ الأمة منعقدٌ على تحريم ذلك، واللّه أعلم.
“Adapun hadits-hadits shahih lebih banyak dari apa yang diringkas (dinukil) dalam bab ini, dan kesepakatan umat ini telah pasti atas pengharamannya. Wallaahu a’lam.”
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا (وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ)، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.
“Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya, beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali). Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya. hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Mengomentari hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi menuturkan:
ما أعظم نفع هذا الحديث وأكثر فوائده لمن تدبره.
“Alangkah agungnya manfaat hadits ini dan betapa banyak faidahnya bagi orang yang menyelaminya.”
Al-Hafizh al-Nawawi pun menukil sabda Rasulullah SAW:
قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.”
Seorang laki-laki bertanya: “Sesungguhnya seorang pria itu senang jika baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau SAW menjawab:
إِنَّ اللهُ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai yang bagus, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)[5]
قلتُ: بَطر الحقّ بفتح الباء والطاء المهملة وهو دفعه وإبطاله، وغمطٌ بفتح الغين المعجمة وإسكان الميم وآخره طاء مهملة، ويروى غمص بالصاد المهملة ومعناهما واحد وهو الاحتقار.
Saya (Al-Nawawi) katakan: “Bathr al-Haq yakni menolak dan membantahnya, dan ghamth al-naas maknanya adalah merendahkan (manusia).”
Para ulama lainnya –selain Imam al-Nawawi- banyak menjelaskan keharaman perbuatan ini dalam kitab-kitab buah tangan mereka, semoga Allah menjadikannya sebagai pemberat amal kebaikan mereka dan memberkahinya untuk kaum muslimin. Ketika menjelaskan berbagai kemaksiatan, al-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menjelaskan dalam kitab Bahjatul Wasaa-il bi Syarh Masaa-il:
التكبر على عباد الله تعالى: كأن يرى في نفسه أنه خير من غيره، وأن يحتقر الناس.
“Takabur terhadap hamba-hamba Allah SWT: yakni ia memandang dirinya lebih baik daripada orang lain dan merendahkannya.”
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.” (QS. Al-Kahfi [18]: 49)
Syaikh Nawawi al-Bantani menukil penafsiran Ibnu ‘Abbas yang berkata dalam menafsirkan ayat yang agung ini:
إن الصغيرة التبسم بالاستهزاء بالمؤمن، والكبيرة القهقهة بذلك.
“Sesungguhnya “yang kecil” (dalam ayat ini-pen.) yakni tersenyum (sinis) untuk merendahkan orang beriman, dan makna “yang besar” yakni tertawa terbahak-bahak untuk maksud yang sama.”[6]
Syaikh Nawawi al-Bantani menegaskan:
وهذا إشارة إلى أن الضحك على الناس من جملة الذنوب والكبائر
“Dan ini menjadi isyarat bahwa menertawakan manusia (untuk mengolok-olok-pen.) termasuk perbuatan salah dan dosa besar”
Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh serta membanggakan diri.
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Hadits ini mengandung indikasi yang tegas yang menunjukkan keharaman memaki muslim lainnya. Al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan:
قوله: “فسوق” الفسق في اللغة: الخروج. وفي الشرع: الخروج عن طاعة الله ورسوله، وهو في عرف الشرع أشد من العصيان، قال الله تعالى :{ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ}[7]
“Sabda Rasulullah “fusuuq[un]”secara bahasa, al-fisq berarti al-khuruuj (keluar). Secara terminologi berarti keluar dari keta’atan terhadap Allah dan rasul-Nya. Kata “fasik” dalam pandangan syariat lebih tinggi tingkat keburukannya daripada kata maksiat. Allah SWT berfirman: “…dan menjadikan kamu kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan (kemaksiatan).”
Al-Hafizh Ibn Hajar menegaskan:
ففي الحديث تعظيم حق المسلم والحكم على من سبه بغير حق بالفسق
“Maka hadits ini menunjukkan penghormatan terhadap hak seorang muslim dan status hukum orang yang mencelanya tanpa alasan yang benar merupakan kedurhakaan.”
Keharaman ini berlaku kepada kita semua dari harakah manapun. Dan ketahuilah bahwa perbuatan ini sangat berbahaya karena bisa merusak ukhuwwah islaamiyyah, padahal kaum muslimin itu diibaratkan bagaikan satu tubuh. Dan Allah telah mensifati orang-orang mukmin dengan persaudaraan, dimana ayat tersebut termaktub sebelum QS. al-Hujuraat ayat 11 (tentang larangan mengolok-olok orang beriman).
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 10)
Di sisi lain, sikap merasa diri lebih mulia dan merendahkan orang lain merupakan ketakaburan yang dikecam keras oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketakaburan merupakan sifat Iblis yang dilaknat Allah.
Iblis, berasal dari kata ablasa (أبلس) yang artinya membangkang atau putus asa (dari rahmat Allâh I). Dalam al-Mu’jam al-Wasîth, Iblis dinyatakan sebagai “الشياطين رأس” (pemimpin para syaithân).[8]
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia dari golongan jin, dan ia telah mendurhakai perintah Rabb-nya.”
(QS. Al-Kahfi [18]: 50)
Iblis dinyatakan “ففسق عن أمر ربه” karena ia keluar dari keta’atan terhadap Allah dengan menolak bersujud memberikan penghormatan kepada Nabi Adam a.s.[9]
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?.” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Ia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’râf [7]: 12)
Lantas, mengapa iblis mendurhakai perintah Allâh dengan menolak bersujud untuk memuliakan dan menghormati Nabi Adam a.s.? Iblis la’natullâhi ‘alayh mendurhakai Allâh, terjerembab ke dalam kehinaan yang kekal karena sifat ketakaburannya. Ia merasa lebih mulia daripada Adam a.s., karena wujudnya diciptakan Allâh dari api, sedangkan Adam a.s. diciptakan-Nya dari tanah liat yang kering. Hal ini bisa kita ketahui dari informasi yang Allah sampaikan kepada kita dalam QS. Al-Hijr [15]: 29-33 dan QS. Al-A’râf [7]: 11-15.
فلما أمر بالسجود لآدم رفض إبليس هذا السجود، واستكبر واستعلى (حتى يكون مثال الكافرين اللاهثين وراء الباطل والشرّ) كما أخبرنا الله العزيز بقوله تعالى: ((فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ (٧٣) إِلَّا إِبْلِيسَ اسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (٧٤)))[10]. ثم ناداه سبحانه: ((مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ۖ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ))[11]. فأجاب إبليس: ((قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ))[12]
“Ketika Allah memerintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s. (sujud penghormatan), maka Iblis menolak untuk bersujud, dan ia takabur dan merasa tinggi hati (sehingga ia menjadi panutan kaum kafir …… dalam hal kebatilan dan keburukan). Sebagaimana informasi dari Allah Yang Maha Perkasa dalam firman-Nya: “Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir.” kemudian Allah berseru kepadanya: “Apa yang menghalangimu bersujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” Lalu Iblis menjawab: “Aku lebih baik darinya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”[13]
PASAL II:
MENCELA DAKWAH HT DENGAN ”OMDO”, ”KOAR-KOAR PAKE TOA” = PERBUATAN MEREMEHKAN KETA’ATAN
Ketika menjelaskan berbagai jenis kemaksiatan, al-Syaikh Nawawi al-Bantani menggolongkan perbuatan meremehkan keta’atan sebagai salah satu bentuk kemaksiatan, ia menuturkan:
(التصغير) أي التحقير (لما عظم الله من طاعة أو معصية)
“Meremehkan yakni memandang rendah terhadap perkara-perkara besar (tidak sepele) di sisi Allah baik berupa keta’atan atau kemaksiatan.”
Adakah keta’atan yang sepele? Jika Allah al-‘Azhiim saja memuliakan amal dakwah, lantas mengapa manusia yang hakikatnya faqiir di sisi-Nya merendahkan amal dakwah ini dengan celaan yang dicela oleh-Nya “omong doang”. Pantaskah dicela dengan sebutan “omong doang” terhadap perkataan para da’i ilallaah yang menjelaskan tafsir, syari’at Allah, hukum-hukum al-Qur’an dan al-Sunnah, menyampaikan wahyu-Nya?? Padahal Allah telah mensifati wahyu-Nya sebagai perkataan terbaik dan Allah yang memuji para da’i ini:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat [41]: 33)
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. Al-Nisaa’ [4]: 114)
اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (keagungan ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang.” (QS. Al-Zumar [39]: 23)
Di sisi lain, bagi orang yang menunjukkan orang lain pada kebenaran, maka dianugerahi keutamaan yang banyak. Rasulullaah SAW bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa menunjukkan (seseorang) kepada kebaikan, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)
Maka sambutlah seruan dakwah tersebut, jangan menampiknya apalagi melecehkannya. Nasihati para da’i ini jika mereka melakukan kesalahan dengan nasihat yang baik dan didasari takwa kepada Allah. Jangan terjebak pada kesalahan yang sama.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS. Al-Anfaal [8]: 24)
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ اَلْمَعْرُوفِ شَيْئًا, وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah engkau meremehkan perbuatan baik sekecil apapun, meski dengan wajah yang manis ketika berjumpa saudaramu.” (HR. Muslim)
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ
“Setiap kebaikan merupakan sedekah” (HR. al-Bukhari)
Di sisi lain, Rasulullah SAW telah memuji amal dakwah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa zhalim:
أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, al-Thabrani, al-Bayhaqi & al-Nasa’i)[14]
سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Jabir)[15]
PASAL III:
INGAT: DAKWAH MERUPAKAN KEWAJIBAN! TAK BOLEH DAN TAK PANTAS DICELA!
Wahai ikhwah fillaah…
Jika sebelumnya penulis tegaskan kedudukan mulia dakwah, maka diantara poin penting lainnya bahwa dakwah merupakan kewajiban, ia adalah poros hidup para Nabi dan Rasul –’Alayhimussalaam-. Manusia yang faqiir di hadapan Allah tidak berhak melarang kewajiban dakwah ini, dan syari’at telah mengecam celaan terhadap amal keta’atan berupa dakwah ilallaah.
وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣
“Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3)
Ayat ini menjelaskan, bahwa manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Pertama, dijelaskan dengan qassam (sumpah) “والعصر” (demi masa). Kedua, dijelaskan dengan ta’kid “إنّ” (benar-benar). Ketiga, dijelaskan dengan ta’kid “لفي” (sungguh dalam). Ketiga bentuk penjelasan ini, semuanya menguatkan makna pembahasan ayat ini, yaitu kerugian manusia yang sangat luar biasa. Kecuali orang yang beriman, beramal shalih dan saling menasihati dalam kebaikan dan penuh kesabaran, secara terus-menerus, sehingga selamat dari kesalahan.[16]
Ketika ada di antara elemen umat atau penguasa yang bermaksiat pada Allâh SWT dan Rasul-Nya, maka dicegah, diberantas dan digantikan dengan kebaikan Islam. Para ulama pun menegaskan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS. Âli Imrân [3]: 104.[17]
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)
Syaikh Yasin bin Ali menegaskan pendapat senada dengan argumentasi bahwa perintah amar makruf nahi mungkar seringkali disandingkan dengan amalan-amalan fardhu ‘ain, seperti shalat dan zakat. Misalnya firman Allâh dalam QS. al-Hajj [22]: 41, QS. al-Tawbah [9]: 71.[18]
Di sisi lain, redaksi amar makruf nahi mungkar dalam ayat yang agung ini pun adalah redaksi yang bermakna umum. Termasuk di dalamnya aktivitas amar makruf nahi mungkar terhadap para penguasa (muhâsabah li al-hukkam).
Melakukan muhâsabah atas penguasa yang zhalim pun diwajibkan oleh Islam kepada kita berdasarkan dalil al-Sunnah.
أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, al-Thabrani, al-Bayhaqi & al-Nasa’i)[19]
سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Jabir)[20]
Kedua hadits di atas menjelaskan kedudukan aktivitas menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran (al-‘amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar) atau muhâsabah kepada penguasa. Konteks pernyataan Rasûlullâh SAW di atas adalah ikhbâr (pemberitahuan). Namun, ungkapan Rasûlullâh SAW, “sebaik-baik jihad” dan ”penghulu para syuhada’” adalah indikasi yang merupakan pujian kepada orang-orang yang melakukan aktivitas muhâsabah kepada penguasa. Maka, pemberitahuan tersebut bermakna jazim (tegas). Sebab, jika sesuatu yang dipuji tersebut tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan runtuhnya pelaksanaan hukum Islam, dan sebaliknya hukum Islam akan dapat terlaksana jika aktivitas tersebut dilaksanakan, maka aktivitas tersebut hukumnya wajib. Dan merupakan kewajiban yang ada di pundak anggota masyarakat yang menyaksikan kezhaliman penguasa.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allâh akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun do’a kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. al-Tirmidzi & Ahmad. Hadits Hasan)
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah)
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allâh dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allâh; sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Tawbah [9]: 71)
Dan Allah pun telah mensifati orang-orang mukmin dengan persaudaraan, dimana ayat tersebut termaktub sebelum QS. al-Hujuraat ayat 11 (tentang larangan mengolok-olok orang beriman).
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 10)
Ingat dengan pesan Rasulullaah SAW? Beliau bersabda:المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim itu kaum muslimun selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari & Abu Dawud)PASAL IV:
MARI KITA EVALUASI: HATI-HATI DENGAN KEBENCIAN
Wahai ikhwah fillaah… Ingat dengan pesan Allah SWT:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang sentiasa menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat kepada taqwa. dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mâ’idah [5] : 8)
Jangan tutupi mata Anda dengan kebencian pada saudara sesama muslim, tak bisa dipungkiri bahwa secara individual, banyak syabab HT (baik di Indonesia maupun di dunia) yang berperan dalam pendidikan dan amal sosial; mengajar di perguruan tinggi, sekolah atau di pondok pesantren, mendirikan sekolah Islami atau perguruan tinggi dengan beasiswa (misalnya STEI Hamfara Yogyakarta, dan sepengetahuan penulis tidak sedikit pula ikhwah dari harakah lain yang menimba ilmu memperoleh beasiswa di sana), aktif dalam lembaga sosial semisal lembaga wakaf al-Qur’an, dan lain sebagainya. Di sisi lain mereka aktif berdakwah dan berkorban untuk itu, selama penulis aktif dan terlibat dalam barisan HT, penulis menemukan besarnya pengorbanan luar biasa para da’i ini, teruji keikhlasan dan pengorbanan (tadhiyyah) mereka, penulis berdo’a:
اللّهمّ اجعلها في ميزان حسناتنا… اللّهمّ آمين..
Dan cukuplah Allah sebagai pembalas amal kebaikan, bukan manusia. Dari sisi penghisaban, maka amal dakwah ini termasuk ke dalam keumuman ayat ini:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah [99]: 7)
Di sisi lain, dakwah HT meneladani metode dakwah fikriyyah tanpa kekerasan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Beliau menjelaskan kebenaran kepada masyarakat dan menyingkap berbagai syubhat jahiliyyah ketika itu. Lantas, apakah layak celaan OMDO dialamatkan pada Rasulullah SAW? Wal ’iyaadzu billaah, penulis berlindung kepada Allah dari kemungkaran ini, Rasulullah SAW suci dari celaan tersebut.
PASAL V:
CELAAN ”OMDO”, ”KOAR-KOAR PAKE TOA” BERASAL DARI HAWA NAFSU
Ketika syari’at mencela perkataan tercela yang berasal dari akhlak buruk, maka sesungguhnya ia berasal dari hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ (١) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ (
٢
“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. Al-Najm [53]: 3-4)
Ayat yang mulia ini mengisyaratkan bahwa segala hal yang bertentangan dengan al-wahyu berasal dari al-hawaa’ (hawa nafsu).
Alangkah cakapnya penjelasan Imam al-Mawardi tentang al-hawa’ dalam Aadab al-Dunyaa wa al-Diin:
وَأَمَّا الْهَوَى فَهُوَ عَنْ الْخَيْرِ صَادٌّ، وَلِلْعَقْلِ مُضَادٌّ؛ لِأَنَّهُ يُنْتِجُ مِنْ الاخْلاَقِ قَبَائِحَهَا، وَيُظْهِرُ مِنْ الافْعَالِ فَضَائِحَهَا، وَيَجْعَلُ سِتْرَ الْمُرُوءَةِ مَهْتُوكًا، وَمَدْخَلَ الشَّرِّ مَسْلُوكًا
“Adapun hawa nafsu, ia adalah penolak kebaikan, lawan dari al-‘aql (akal pikiran); karena hawa nafsu terlahir dari keburukan akhlak, tampak dalam perbuatan yang buruk, menyingkap kehormatan, dan pengantar keburukan yang dilakukan.”[21]
Tiada kemuliaan bagi yang diperbudak oleh hawa nafsunya. Sahabat Rasulullaah SAW sekaligus sepupunya, sayyidina ‘Ali r.a., menuturkan:
أخوف ما أخاف عليكم اتباع الهوى وطول الأمل. أما اتباع الهوى فيصد عن الحق
“Hal yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah mengikuti hawa nafsu dan terbuai dalam panjang angan-angan. Adapun dengan mengikuti hawa nafsu, seseorang akan menolak kebenaran.”
Al-‘Allaamah al-Imam al-Syafi’i -rahimahullaah- berpesan:
ولم تدر حيث الخطا والصواب | إذا حار أمرك فـي معنيين |
يـــقــــود الـــنـــفـــس إلـــى مـــا يـــعـــاب | فخالف هواك فإن الهوى |
“Jika samar urusanmu pada dua maksud
Dan engkau tak mengetahui mana yang keliru dan yang benar diantaranya
Maka selisihilah hawa nafsumu, karena hawa nafsu
Mengarahkan jiwa pada apa yang dibencinya (suatu keburukan)”[22]
Dan apa ganjaran bagi orang yang menjauhi keburukan hawa nafsunya?
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ (١) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ (
٢
“Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. Al-Naazi’aat [79]: 40-41)
PASAL VI:
AGAMA ITU ADALAH NASIHAT
Jika ada saudara sesama muslim melakukan kesalahan, maka perhatikan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Rasulullah SAW bersabda:
لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)
Apa maknanya? Para ulama menjelaskan:
ومعنى قوله: “الدين النصيحة” أي عماد الدين وقوامه: النصيحة
“Makna sabda Rasulullah SAW: “Agama itu adalah nasihat” yakni tiang agama dan pondasinya adalah al-nasiihah.”
Imam Ibn Daqiq al-‘Ied menjelaskan:
والنصيحة في اللغة: الإخلاص يقال: نصحت العسل إذا صفيته وقيل غير ذلك. والله أعلم.
“Lafazh al-nashiihah secara bahasa: al-ikhlaash (kemurnian), dikatakan: nashahtu al-‘asala (saya telah memurnikan madu) jika menyucikannya, dan dikatakan pula makna selainnya. Wallaahu a’lam.”
Adapun penafsiran terdahap lafazh “al-nasihah” dan jenis-jenisnya dalam hadits ini, dijelaskan Imam Ibn Daqiq al-‘Ied yang menukil pernyataan Imam al-Khithabi dan para ulama lainnya:
Pertama, Nasihat untuk Allah SWT:
النصيحة لله تعالى معناها منصرف إلى الإيمان به ونفي الشرك عنه وترك الإلحاد في صفاته ووصفه بصفات الكمال والجلال كلها وتنزيهه عن جميع النقائص والقيام بطاعته واجتناب معصيته والحب فيه والبغض فيه وجهاد من كفر به والاعتراف بنعمته والشكر عليها والإخلاص في جميع الأمور والدعاء إلى جميع الأوصاف المذكورة والحث عليها والتلطف بالناس.
“Al-Nashiihah bagi Allah maknanya adalah beriman kepada-Nya, menafikan segala hal yang menyekutukan-Nya, menjauhi kekufuran terhadap sifat-Nya dan menyifati-Nya dengan kesempurnaan dan kemuliaan, menyucikan keyakinan pada-Nya dari segala hal kekurangan, menegakkan keta’atan dan menjauhi kemaksiatan, mencintai-Nya, marah karena-Nya, memerangi kekufuran, mengakui dan mensyukuri segala kenikmatan dari-Nya, ikhlash dalam segala perkara, dan menyeru kepada seluruh sifat yang disebutkan di atas dan mendorong orang lain pada hal-hal tersebut, serta berbuat baik pada manusia.”
Kedua, Nasihat untuk Kitab-Nya:
وأما النصيحة لكتابه سبحانه وتعالى فبالإيمان أنه كلام الله تعالى وتنزيله، لا يشبهه شيء من كلام الناس، ولا يقدر على مثله أحد من الخلق، ثم تعظيمه وتلاوته حق تلاوته، وتحسينها والخشوع عندها، وإقامة حروفه في التلاوة، والذب عنه لتأويل المحرفين، والتصديق بما فيه والوقوف مع أحكامه وتفهم علومه وأمثاله، والاعتبار بمواضعه والتفكر في عجائبه، والعمل بمحكمه، والتسليم لمتشابهه، والبحث عن عمومه، والدعاء إليه وإلى ما ذكرنا من نصيحته.
“Adapun al-nashiihah untuk kitab suci-Nya maknanya adalah mengimani bahwa ia adalah firman Allah SWT dan wahyu-Nya, tidak perkataan manusia yang bisa diserupakan dengannya, dan tidak ada makhluk yang bisa menandinginya, kemudian mengagungkannya, membacanya dengan benar, memelihara bacaan dan khusyuk berinteraksi dengannya, memenuhi hak-hak huruf ketika membacanya, menolak pena’wilan orang-orang yang menyimpang, membenarkan kandungannya, menegakkan hukum-hukum didalamnya, memahami ilmu-ilmu al-Qur’an dan ungkapan-ungkapannya, mengambil pelajaran dari berbagai kandungannya, mentafakuri keagungannya, beramal dengan ayat-ayat yang muhkam (jelas), dan diam terhadap ayat-ayat mutasyabbih (samar), membahas keumumannya, dan menyeru manusia untuk kembali padanya dan kepada apa yang telah kami sebutkan dalam memahami makna nasihatnya.”
Ketiga, Nasihat untuk Rasulullah SAW:
وأما النصيحة لرسوله صلى الله عليه وسلم: فتصديقه على الرسالة والإيمان بجميع ما جاء به، وطاعته في أمره ونهيه، ونصرته حيا وميتا، ومعاداة من عاداه وموالاة من والاه، وإعظام حقه وتوقيره، وإحياء طريقته وسنته، وإجابة دعوته ونشر سنته، ونفي التهمة عنها واستئثار علومها والتفقه في معانيها، والدعاء إليها والتلطف في تعليمها وإعظامها، وإجلالها والتأدب عند قراءتها، والإمساك عن الكلام فيها بغير علم، وإجلال أهلها لانتسابهم إليها، والتخلق بأخلاقه، والتأدب بآدابه، ومحبة أهل بيته، وأصحابه، ومجانبة من ابتدع في سنته أو تعرض لأحد من أصحابه ونحو ذلك.
“Adapun al-nashiihah untuk Rasulullah SAW: membenarkan risalah yang dibawanya, beriman terhadap apa-apa yang diembannya, ta’at terhadap perintah dan larangannya, menolong sunnahnya baik ketika beliau hidup maupun setelah wafatnya, memusuhi siapa yang dimusuhinya, menolong siapa yang menolongnya, mengagungkan hak dan martabatnya, menghidupkan metode dan sunnahnya, menyambut seruannya dan menyebarkan sunnahnya, menepis tuduhan buruk terhadapnya, menelusuri ilmu-ilmunya, memahami makna-maknanya, beradab dalam mengajarkannya serta mengagungkannya, memuliakannya serta beradab ketika membacanya, menahan diri dari mengatakan sesuatu tentangnya tanpa ilmu, memuliakan ahli ilmu al-Sunnah karena keterkaitan mereka terhadap ilmu ini, berakhlak dengan akhlak Rasulullah, beradab dengan adab-adab Rasulullah, mencintai keluarga Rasulullah, para sahabatnya, menjauhi berbuat bid’ah dalam sunnahnya, atau berpaling dari salah seorang sahabatnya, dan lain sebagainya.”
Keempat, Nasihat untuk Imam Kaum Muslimin:
وأما النصيحة لأئمة المسلمين: فمعاونتهم على الحق، وطاعتهم وأمرهم به وتنبيههم وتذكيرهم برفق ولطف، وإعلامهم بما غفلوا عنه، وتبليغهم من حقوق المسلمين، وترك الخروج عليهم بالسيف، وتأليف قلوب الناس لطاعتهم والصلاة خلفهم والجهاد معهم وأن يدعو لهم بالصلاح.
“Adapun nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin: mendukung mereka dalam kebenaran, menta’ati mereka, memerintahkan, memperingatkan dan mengingatkan mereka (ketika salah) dengan cara yang baik nan lembut, mengingatkan mereka dari kelalaiannya, menyampaikan hak-hak kaum muslimin kepada mereka, meninggalkan perbuatan memisahkan diri dari jama’ah dengan mengangkat pedang (memberontak), memikat hati masyarakat untuk mena’ati mereka, shalat di belakang mereka (bermakmum kepadanya-pen.), berjihad bersama mereka dan menyeru mereka untuk senantiasa melakukan perbaikan.”
Kelima, Nasihat untuk Kaum Muslimin Secara Umum –Selain Penguasa-:
وأما نصيحة عامة المسلمين، وهم من عدا ولاة الأمر، فإرشادهم لمصالحهم في آخرتهم ودنياهم، وإعانتهم عليها، وستر عوراتهم وسد خلاتهم، ودفع المضار عنهم وجلب المنافع لهم، وأمرهم بالمعروف ونهيهم عن المنكر برفق وإخلاص، والشفقة عليهم وتوقير كبيرهم ورحمة صغيرهم، وتخولهم بالموعظة الحسنة وترك غشهم وحسدهم، وأن يحب لهم ما يحب لنفسه من الخير ويكره لهم ما يكره لنفسه من المكروه، والذب عن أموالهم وأعراضهم وغير ذلك من أحوالهم بالقول والفعل، وحثهم على التخلق بجميع ما ذكرناه من أنواع النصيحة. والله أعلم.
“Adapun nasihat untuk kaum muslimin pada umumnya –selain para penguasa-, yakni dengan menunjuki mereka kepada kemaslahatan diri di akhirat dan di dunia, menolong mereka untuk mewujudkannya, menasihati agar mereka menutupi ‘auratnya, menutupi ‘aib mereka, menyingkirkan bahaya dari mereka dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan bagi mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas, mengasihi mereka, menghormati orang tua dan mengasihi yang kecil di antara mereka, memikat hati mereka dengan nasihat yang baik serta menjauhi sifat culas dan dengki, mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan terjadi pada mereka sebagaimana ia benci jika hal itu terjadi padanya, membela harta, kehormatan dan lain sebagainya yang menjadi hak mereka dengan perkataan dan perbuatan dan mendorong mereka untuk bertingkahlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari beragam nasihat ini. Wallaahu A’lam.”
PASAL VII:
CELAAN ”OMDO” & FITNAH KEBEBASAN BERBICARA ALA DEMOKRASI
Demokrasi yang tegak dengan prinsip-prinsip kebebasannya, diantaranya kebebasan berbicara/ berpendapat bertentangan dengan syari’at Allah yang mewajibkan menjaga lisan dan berbuat sesuai dengan Islam, maka janganlah terpedaya dengan fitnah Demokrasi dengan prinsip kebebasannya yang batil. Ingat pesan yang mulia dari Rasulullaah SAW:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)
Hadits shahih yang mulia di atas telah meletakkan prinsip yang agung dalam berbicara. Tuntutan perintah dalam hadits ini hukumnya wajib, karena mengandung indikasi yang tegas “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” terhadap kata-kata perintah “maka berkatalah yang baik atau diam.”
Kalimat “Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir” merupakan indikasi yang menunjukkan hukum wajib. Al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil menjelaskan:
إذا كان الطلب مقترنًا بالإيمان أو ما يقوم مقامه كأن يكون متبوعًا بـ (من كان يرجو الله واليوم الآخر) فإنها قرينة على الوجوب
“Jika adanya tuntutan tersebut disertai keterangan iman atau yang semakna dengannya. Misalnya kalimat (Barangsiapa yang mengharapkan rahmat Allah dan (tibanya) hari Akhir) maka sesungguhnya kalimat tersebut mengindikasikan hukum wajib.”[23]
Lafazh “qul” dan “liyashmut” pun termasuk bentuk mufrad yang memberikan arti perintah. Kata “liyashmut” merupakan kata kerja mudhaari’ (sekarang atau yang akan datang) yang disertai laam al-amr (laam perintah). Al-Syaikh ‘Atha’ bin Khalil ketika menjelaskan berbagai ungkapan yang bermakna perintah mengutarakan:
الفعل المضارع المقترن بلام الأمر (ليفعل)
“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai huruf laam perintah.”[24]
Sama halnya dengan penjelasan Syaikh al-‘Utsaimin ketika menjelaskan shiyaghul amri (lafazh-lafazh perintah), diantaranya:
المضارع المقرون بلام الأمر
“Kata kerja al-mudhaari’ yang disertai laam perintah.”[25]
Lebih menariknya, al-Hafizh al-Nawawi menjelaskan hadits di atas:
فمعناه أنه إذا أراد أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه، واجبا أو مندوبا فليتكلم . وإن لم يظهر له أنه خير يثاب عليه، فليمسك عن الكلام سواء ظهر له أنه حرام أو مكروه أو مباح مستوي الطرفين . فعلى هذا يكون الكلام المباح مأمورا بتركه مندوبا إلى الإمساك عنه مخافة من انجراره إلى المحرم أو المكروه . وهذا يقع في العادة كثيرا أو غالبا
“Maknanya adalah jika seseorang ingin mengatakan sesuatu, jika didalamnya mengandung kebaikan dan ganjaran pahala, sama saja apakah wajib atau sunnah untuk diungkapkan maka ungkapkanlah. Jika belum jelas kebaikan perkataan tersebut diganjar dengan pahala maka ia harus menahan diri darinya, sama saja apakah jelas hukumnya haram, makruh atau mubah. Dan dalam hal ini perkataan yang mubah dianjurkan untuk ditinggalkan, disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena khawatir perkataan ini berubah menjadi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan. Dan kasus kesalahan seperti ini banyak terjadi.”
Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied (w. 702 H) menjelaskan hadits ini:
قوله: “من كان يؤمن بالله واليوم الآخر” يعني من كان يؤمن الإيمان الكامل المنجي من عذاب الله الموصل إلى رضوان الله “فليقل خيراً أو ليصمت” لأنّ من آمن بالله حق إيمانه خاف وعيده ورجا ثوابه واجتهد في فعل ما أمر به وترك ما نهي عنه وأهم ما عليه من ذلك: ضبط جوارحه التي هي رعاياه وهو مسئول عنها كما قال تعالى: {إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً}. وقال تعالى: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ}.
“Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir” yakni barangsiapa yang beriman dengan keimanan yang sempurna terlindung dari ‘adzab Allah dan menyampaikan kepada keridhaan-Nya “maka berkatalah yang baik atau diam” karena barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka di antara tuntutan keimanannya adalah merasa takut terhadap peringatan-Nya, mengharapkan pahala dari-Nya, dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan segala hal yang diperintahkan Allah kepadanya dan meninggalkan segala hal yang dilarang-Nya, dan diantara hal yang paling penting: menjaga apa yang ada pada dirinya yang mesti dijaga (dari kemaksiatan-pen.) dan ia bertanggungjawab terhadap itu semua sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.”[26] Dan firman Allah SWT: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir[27].”[28]
Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied pun menegaskan:
وآفات اللسان كثيرة، ولذلك قال النبي صلى الله عليه وسلم: “هل يكب الناس في النار على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم”. وقال: “كل كلام ابن آدم عليه إلا ذكر الله تعالى وأمر بمعروف ونهي عن منكر”. فمن علم ذلك وآمن به حق إيمانه اتقى الله في لسانه فلا يتكلم إلا بخير أو يسكت.
“Dan bahaya lisan itu banyak sekali, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah manusia dijatuhkan ke dalam neraka di atas hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka”[29] dan sabdanya: “Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya (tidak berguna baginya) kecuali berdzikir kepada Allah dan perkataan yang memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran”[30] Maka siapa saja yang mengetahui hal ini dan beriman terhadapnya maka diantara tuntutan keimanannya bertakwa kepada Allah dalam menjaga lisannya, dan tidaklah ia berkata-kata kecuali perkataan baik atau diam.”[31]
Lebih jelasnya, penulis nukil hadits-hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi:
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Tidaklah manusia itu dijatuhkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan akibat lisan-lisan mereka.” (HR. al-Tirmidzi, Ahmad & Ibn Majah. Ini lafazh al-Tirmidzi. Imam al-Tirmidzi menuturkan: “Hadits ini hasan shahih”)
كُلُّ كَلَامِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لَا لَهُ إِلَّا أَمْرٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ أَوْ ذِكْرُ اللَّهِ
“Setiap perkataan anak cucu Adam itu membahayakannya, tidak berguna baginya kecuali perkataan menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran, atau berdzikir kepada Allah.” (HR. al-Tirmidzi & Ibn Majah. Imam al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Muhammad bin Yazid bin Khunais”)
Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied lebih jauh lagi menjelaskan:
وقال بعضهم في معنى هذا الحديث: إذا أراد الإنسان أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيراً محققاً يثاب عليه فليتكلم وإلا فليمسك عن الكلام سواء ظهر أنه حرام أو مكروه أو مباح، فعلى هذا يكون الكلام المباح مأموراً بتركه مندوباً إلى الإمساك عنه مخافة أن ينجر إلى المحرم أو المكروه
“Sebagian ulama berkata dalam menjelaskan hadits ini: “Jika manusia ingin mengatakan suatu perkataan yang mengandung kebaikan memperoleh pahala maka katakanlah, jika selainnya maka ia harus menahan diri darinya sama saja apakah perkataan yang diharamkan, makruh atau mubah. Oleh karena itu, perkataan mubah diperintahkan untuk ditinggalkan, disukai agar menahan diri darinya, lebih ringan daripada peringatan untuk meninggalkan perkataan yang diharamkan atau dihukumi makruh.”
Allah SWT berfirman:مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50]: 18)
Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied menjelaskan ayat ini:
واختلف العلماء في أنه هل يكتب على الإنسان جميع ما يلفظ به وإن كان مباحاً أو لا يُكتب عليه إلا ما فيه الجزاء من ثواب أو عقاب. وإلى القول الثاني ذهب ابن عباس وغيره، فعلى هذا تكون الآية الكريمة مخصوصة أي: {مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ} يترتب عليه جزاء.
“Dan para ulama berbeda pendapat, apakah dituliskan (dihisab-pen.) seluruh perkataan manusia termasuk perkataan-perkataan yang mubah atau tidak dituliskan perkataannya kecuali perkataan yang mengandung balasan kebaikan atau siksa? Ibn ‘Abbas dan selainnya mengambil pendapat yang kedua. Oleh karena itu, ayat al-Qur’an yang mulia ini bersifat khusus: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” [32]
Al-Hafizh al-Nawawi bahkan menuliskan satu bab khusus tentang Hifzh al-Lisaan (menjaga lisan) dalam salah satu kitabnya -al-Adzkaar al-Nawawiyyah-, ia berkata:
اعلم أنه لكلّ مكلّف أن يحفظَ لسانَه عن جميع الكلام إلا كلاماً تظهرُ المصلحة فيه، ومتى استوى الكلامُ وتركُه في المصلحة، فالسنّة الإِمساك عنه، لأنه قد ينجرّ الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة
“Ketahuilah bahwa setiap mukallaf wajib menjaga lisannya dari setiap perkataan kecuali perkataan yang jelas mengandung kemaslahatan, dan ketika memutuskan untuk tidak berbicara karena lebih bermaslahat, maka disunnahkan untuk menahan diri darinya, karena terkadang ditemukan perkataan mubah mengantarkan kepada keharaman atau makruh, bahkan hal ini merupakan fenomena yang banyak terjadi atau sudah menjadi kebiasaan.”[33]
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim itu adalah ketika kaum muslimun selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Al-Bukhari & Abu Dawud)[34]
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda:
كُلُّ سُلَامَى عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ يُعِينُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ يُحَامِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ وَكُلُّ خَطْوَةٍ يَمْشِيهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ وَدَلُّ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ
“Pada setiap ruas tulang ada kewajiban shadaqah. Setiap hari dimana seseorang terbantu dengan tunggangannya yang mengangkat atau mengangkut barang-barangnya di atasnya adalah shadaqah. Ucapan yang baik adalah shadaqah dan setiap langkah yang dilakukan seseorang menuju shalat adalah shadaqah dan orang yang menunjuki jalan adalah shadaqah.” (HR. Al-Bukhari)
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan sebiji kurma, kalaulah tidak bisa, lakukanlah dengan ucapan yang baik.” (HR. Al-Bukhari)
Lantas, layakkah prinsip agung ajaran Allah dan Rasul-Nya di atas ditukar dengan paham kebebasan dalam Demokrasi? Maka ingatlah peringatan keras dari Allah SWT:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 85)
-{}-
والله أعلم بالصواب
[1] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[2] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya.
[3] Lihat: Fath al-Qadiir, al-Imam al-Syawkani
[4] Lihat: Tafsiir al-Thabari, Al-Hafizh Al-Imam al-Thabari.
[5] Lihat pula hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya.
[6] Lihat: Mirqaatu Shu’uud al-Tashdiiq Syarh Sullam al-Tawfiiq, al-Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Syafi’i.
[7] QS. Al-Hujuraat [49]: 7
[8] Lihat: al-Mu’jam al-Wasîth (h.3/cet. V), Maktabah al-Syuruuq al-Dawliyyah.
[9] Lihat: Tafsiir al-Jalalayn.
[10] QS. Shaad [38]: 73-74
[11] QS. Shaad [38]: 75
[12] QS. Shaad [38]: 76
[13] Lihat: Majma’ al-Bayân al-Hadîts: Qashash al-Anbiyâ’ fî al-Qur’ân al-Karîm, Syaikh Dr. Samih ‘Athif al-Zayn – Dar al-Kitab al-Lubnaaniy & Dar al-Kitaab al-Mishriy – Cet. VII: 1426 H/ 2005.
[14] Lihat: Imam al-Suyuthi, kitab al-Jami’, juz. I, hlm. 187, hadits no. 1246.
[15] Ibid, juz. II, hlm. 59, hadits no. 4747.
[16] Lihat penjelasan KH. Drs. Hafizh ‘Abdurrahman, MA dalam buku Islam Politik & Spiritual.
[17] Lihat: Tafsiir Ibnu Katsiir, I/391.
[18] Lihat: Min Ahkam al-Amr bi al-Ma’ruuf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, hlm. 24.
[19] Lihat: Imam al-Suyuthi, kitab al-Jami’, juz. I, hlm. 187, hadits no. 1246.
[20] Ibid, juz. II, hlm. 59, hadits no. 4747.
[21] Lihat: Aadab al-Dunyaa’ wad-Diin, Imam ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawaridi al-Syafi’iy (Imam al-Mawardi).
[22] Lihat: Diiwaan al-Imaam al-Syaafi’i, Qaafiyatul Hamzah, subjudul al-Hawaa’ wa al-‘Aql.
[23] Lihat: Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fii Ushûl al-Fiqh, Syaikh ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah – Dar al-Ummah: Beirut – Cet. III: 1421 H/ 2000.
[24] Lihat: Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Dirâsât fii Ushûl al-Fiqh, Syaikh ‘Atha’ bin Khalil.
[25] Lihat: Ushuul al-Fiqh, al-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin.
[26] Lihat: QS. Al-Israa’ [17]: 36
[27] Lihat: QS. Qaaf [50]: 18
[28] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.
[29] HR. Imam Ahmad (5/236 dan 237) dan al-Tirmidzi dalam al-Iman (no. 2616); hadits ini merupakan hadits shahih yang panjang. Adapun Imam al-Tirmidzi memandang bahwa hadits ini hasan shahih.
[30] HR. al-Tirmidzi dalam Al-Zuhd (no. 2412) dari Ummu Habibah r.a.. Abu ‘Isa (Imam al-Tirmidzi) berkata: “Hadits ini hasan gharib, tidak diketahui kecuali dari riwayat Muhammad bin Yazid bin Khunays.”
[31] Ibid
[32] Lihat: Syarh al-Arba’iin al-Nawawiyyah fii al-Ahaadiits al-Shahiihah al-Nawawiyyah, Imam Ibn Daqiiq al-‘Ied.
[33] Lihat: Al-Adzkâr Al-Muntakhabah Min Kalaam Sayyid Al-Abraar –Shallallaahu ‘Alayhi wa Sallam-, Al-Hafizh Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi (631-676 H) – Al-Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyyah: Mesir.
0 Response to " ”Syabab HT Omdo”?! Inilah Jawaban Al-Qur’an & Al-Sunnah (Jawaban Tuntas Syar’iyyah)"
Posting Komentar