Liberalisasi Energi : Motif di Balik Kenaikan Tarif Dasar Listrik !

Oleh : Muh Ishak (LM HTI)
Meskipun memiliki pengaruh yang positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, pemerintah ngotot untuk terus mengurangi alokasi subsidi energi pada APBN termasuk di dalamnya subsidi listrik. Oleh karena itu, sejak pada bulan Juli tahun 2010, pemerintah telah melakukan penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) rata-rata sebesar 10 persen. Kemudian pada tahun 2012 Pemerintah bersama DPR sepakat untuk menaikkan tarif dasar listrik untuk pelanggan dengan daya diatas 450-900 VA  sebesar 15 persen yang dilakukan secara bertahap.
Memang secara nominal anggaran subsidi listrik yang dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2012 subsidi listrik yang dialokasikan dalam APBNP 2012 sebesar Rp 64,9 triliun. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan subsidi listrik pada APBN 2007 yang hanya sebesar Rp31,8 triliun, yang berarti naik sebesar 49 persen.  Namun demikian, jika dilihat dari persentase belanja subsidi tersebut terhadap total belanja APBN maka anggaran tersebut tidak mengalami peningkatan–kecuali pada 2008 yang mencapai delapan persen– yaitu sebesar lima persen pada 2007 hingga 2012.  Bahkan jika dihitung dari persentasenya terhadap PDB maka subsidi tersebut justru menunjukkan penurunan. Pada tahun 2007 besarnya hanya 0,8 persen PDB dan pada 2012  turun menjadi  0,5  persen PDB.
Alasan yang kerap dikemukakan pemerintah untuk menjustiifikasi kenaikan harga listrik adalah selama ini subsidi listrik tidak tepat sasaran dimana kebanyakan penggunanya adalah orang yang kaya. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya benar.Sebab selama ini sebagian besar subsidi masih dinikmati oleh kelompok rumah tangga kecil dan menengah. Pada tahun 2011 misalnya golongan rumah tangga masih mendapatkan subsidi terbesar yakni Rp50 triliun atau 54 persen dari total subsidi listrik dan disusul oleh golongan industri sebesar Rp28.2 triliun atau sebesar 30 persen. Adapun subsidi untuk golongan bangunan pemerintah dan sosial masing-masing sebesar Rp3,1 triliun dan Rp2,8 triliun. Adapaun penerima terbesar subsidi menurut golongan tarif  yaitu: Rumah Tangga Kecil  (450 VA) sebanyak 20,8 juta pelanggan, industri menengah (>200 VA) sebanyak 9,9 juta pelanggan dan Rumah Tangga Kecil (900 VA) sebanyak 15,9 juta pelanggan. Berdasarkan data tersebut jelas bahwa sebagian besar subsidi jatuh ke tangan rumah tangga. Kalaupun ada subsidi yang diterima oleh sektor bisnis dan industri, maka sesunggguhnya hal tersebut pada akhirnya juga dinikmati oleh rakyat dengan tersedianya barang dan jasa yang lebih murah. Apalagi saat ini di tengah merosotnya daya saing bisnis dan industri Indonesia dibandingkan dengan produk-produk impor—yang banyak didukung oleh pemerintah di negara asalnya seperti subsidi kredit, energi dll—intervensi pemerintah mutlak diperlukan bukan malah berlepas tangan.
Alasan lain yang juga digunakan pemerintah untuk menaikkan harga listrik adalah harga jual listrik PLN kepada konsumen lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN. Memang kenyataannya harga listrik Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand. Meskipun demikian, harga itu masih lebih murah dibandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina dan Brunai Darussalam. Namun jika harga tersebut diukur berdasarkan daya beli penduduk melalui pendekatan PDB perkapita, maka beban yang ditanggung oleh konsumen di Indonesia masih lebih besar dibandingkan dengan konsumen di negara-negara yang listriknya murah tersebut. Sebagai contoh harga listrik per kwh di Indonesia dan Malaysia untuk rumah tangga masing-masing sebesar 8,2 dan 9,9 sen dolar. Namun demikian PDB perkapita Malaysia yang mencapai US$16,200 jauh di atas Indonesia yang hanya US$4,700.
Pemerintah juga berkilah bahwa dana alokasi subsidi listrik akan digunakan untuk belanja yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur dan anggaran yang pro rakyat miskin yang saat ini masih sangat kurang. Ini juga sulit dicerna akal sehat sebab hingga saat ini inefisiensi dalam belanja APBN masih sangat besar. Alokasi anggaran pemerintah termasuk anggaran infrastruktur setiap tahunnya misalnya, banyak yang tidak dapat diserap sehingga terpaksa dialihkan ke tahun berikutnya.Pada tahun 2012 saja, nilai Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) mencapai Rp34 triliun. Di daerah-daerah APBD banyak yang diendapkan dalam bentuk investasi dan deposito. Pemborosan anggaran lain misalnya pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan yang dulunya digunakan untuk mensubsidi bank-bank yang dijarah oleh pemiliknya. Pada tahun 2012 saja alokasi pembayaran tersebut mencapai RP11 triliun. Padahal obligasi-obligasi rekap tersebut baru jatuh tempo pada tahun 2020.
Motif Liberalisasi
Sesunggunya salah satu motif dari penaikan tarif listrik– sebagaimana halnya subsibdi BBM adalah upaya liberalisasi pemerintah untuk meliberalisasi sektor energi. Dalam Dokumen Blue Print Pengelolaan Energi Tahun 2010-2025 disebutkan bahwa salah satu tantangan pengembangan energi nasional adalah harga energi belum mencapai nilai keekonomiannya. Oleh karena itu, salah satu misi dari Kementerian ESDM adalah mendorong keekonomian harga energi dan mineral. Hal yang sama juga dinyatakan oleh sejumlah lembaga asing yang menjadi rujukan kebijakan ekonomi pemerintah seperti IMF[1], Bank Dunia[2], USAID[3] termasuk OECD[4] dalam berbagai dokumennya.
Padahal kebanyakan negara di dunia ini–termasuk negara-negara maju sekalipun– intervensi pemerintah dalam berbagai bentuk seperti pemberian subsidi, pemotongan pajak dan kebijakan lainnya terus diberikan agar publik dapat menikmati energi listrik yang memadai karena diyakini ketersediaan energi tersebut merupakan salah satu sumber pendorong pertumbuhan ekonomi. Hasil studi Pfund dan Healey (2011) misalnya menunjukkan bahwa pemberian subsidi energi di AS  yang telah berlangsung sejak abad ke-19 terbukti dapat memacu pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.  Selain itu, dukungan pemerintah di negara itu juga telah mendorong terjadinya inovasi teknologi dalam penyediaan energi listrik sehingga memberikan dampak pada efisiensi biaya listrik per watt.
Inefisiensi & Upaya Liberalisasi
Secara definitif nilai subsidi listrik merupakan selisih antara Biaya Pokok Produksi dengan Harga Jual kepada Konsumen. Dengan demikian semakin besar selisih tersebut maka subsidi akan semakin besar baik karane BPP-nya yang tinggi atau harga jualnya yang terlalui rendah.  Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi BPP yaitu: (1) harga minyak mentah.  Hal ini karena sebagian dari sumber energi pembangkit listrik masih menggunakan BBM yang dihitung berdasarkan harga internasional dalam hal ini digunakan harga ICP yang merupakan harga rata-rata minyak mentah di Indonesia; (2) nilai tukar rupiah terhadap dollar. Indikator ini berpengaruh pada harga pembelian BBM dan bahan baku yang berasal dari impor;  (3) bauran energi (fuel mix). Energi yang digunakan pembangkit bermacam-macam seperti BBM, batu bara dan gas. Dengan harga yang berbeda-beda maka komposisi dari energi tersebut akan mempengaruhi biaya produksi.
Dalam prakteknya dari total biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN, diketahui bahwa bahan bakar merupakan komponen yang paling dominan dengan porsi 56 persen disusul biaya pembelian tenaga listrik dan biaya usaha yang masing-masing sebesar 27 persen dan 16 persen.  Besarnya biaya bahan bakar terjadi akibat masih besarnya ketergantungan PLN pada penggunaan BBM yang dibeli dengan harga internasional baik dari dalam negeri maupun yang berasal dari impor. Bauran energi PLN  didominasi oleh batubara (43 persen), disusul oleh BBM (23 persen) dan gas alam (24 persen). Meskipun demikian, dari sisi biaya, pembelian BBM memberikan kontribusi 59 persen terhadap total biaya energi tersebut.
Harus diakui bahwa bauran energi PLN menunjukkan adanya tren penurunan penggunaan BBM dan peningkatan penggunaan batubara dan gas. Namun demkian dari tahun 2009-2011 penggunaan gas stagnan pada angka 24 persen.  Demikian pula halnya dengan penggunaan panas bumi dan air yang mengalami stagnasi sejak tahun 2006 hingga 2011.  Padahal sumber-sumber energi tersebut harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan BBM dan batubara. Gas misalnya harganya jauh lebih murah dibandingkan gas. Namun karena sebagian besar produksi gas domestik diekspor dengan kontrak-kontrak jangka panjang—sebagai konsekuensi liberalisasi di sektor migas–maka pasokan gas domestik termasuk untuk PLN sangat menjadi sangat terbatas. Pada laporan BPK terhadap Audit Subisidi Listrik Tahun 2010 antara lain disebutkan:
“PLN tidak dapat memenuhi kebutuhan gas untuk pembangkit sesuai dengan volume dan spesifikasi teknis yang dibutuhkan. Hal tersebut terjadi antara lain pada 8 unit pembangkit yang berbasis dual firing, sehingga harus dioperasikan dengan high speed diesel atau solar yang lebih mahal dari gas. Hal tersebut mengakibatkan PLN kehilangan kesempatan melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17.900.681,34 juta pada tahun 2009 dan Rp19.698.224,77 juta pada tahun 2010.  Hal tersebut disebabkan: (a) PLN terlambat mengupayakan pemenuhan gas untuk kebutuhan pembangkit; (b) Beberapa pemasok gas tidak dapat memenuhi pasokan sebagaimana kontrak yang telah ditandatangani; (c) Kementerian ESDM dan BPMIGAS belum optimal dalam menetapkan kebijakan dan mengupayakan pemenuhan gas bagi PLN.
Komponen lain yang menentukan besarnya subsidi adalah pembelian energi oleh PLN dari pihak swasta dengan harga pasar. Meskipin PLN merupakan istitusi yang bersifat monopolistik dalam penyediaan listrik namun BUMN tersebut belum mampu memproduksi sendiri seluruh kebutuhan publik sehingga masih bergantung pada pihak swasta yang diistilahkan dengan Independent Power Producer (IPP). Komponen penyewaan listrik dari pihak swasta menyumbang biaya sebesar 16 persen dari total biaya produksi pada tahun 2011.  Hingga akhir tahun 2011, sebanyak 28  IPP memasok listrik kepada PLN melalui Power Purchase Agreement (PPA). Dari produksi total PLN pada tahun 2011 sebesar 183.420,9 GWh, sebanyak 40.681,9  GWh  (22,2%) dibeli dari IPP.  Pemasok terbesar adalah PT Paiton Energy Company (9.415 GWh (23,1%) dan PT Jawa Power sebanyak 8.162 GWh (20%). Saat ini berdasarkan UU Kelistrikan dan UU Investasi, pemerintah terus mendorong pihak swasta berinvestasi dalam sektor hulu kelistrikan. Hasilnya kemudian dijual kepada PLN berdasarkan harga keekonomian. Sebab orientasi mereka adalah murni kepentingan bisnis yang mengejar laba. Inipula yang menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah berupaya untuk mencabut subsidi. Tujuannya agar PLN tidak perlu menanggung kerugian dari akibat menjual listrik lebih murah dibandingkan dengan harga belinya dari IPP. Disisi lain, dengan tidak adanya subsidi maka iklim investasi di sektor kelistrikan –khususnya disektor hilir–akan semakin kondusif bagi swasta.
Faktor lain yang mempengaruhi besarnya subsidi adalah inefisiensi biaya usaha PLN.Semakin efisien PLN dalam menjalankan usahanya maka biaya produksi listrik akan semakin murah dan sebaliknya. Biaya usaha sendiri mencakup biaya pemeliharaan,  biaya kepegawaian, biaya penyusutan, biaya administrasi   dan  beban bunga pinjaman. Berdasarkan laporan keuangan PLN tahun 2011, total biaya tersebut mencapai Rp43 triliun atau 22 persen dari total biaya usaha PLN. Upaya untuk menekan biaya usaha ini memang terus dilakukan PLN. Meskipun demikian pada faktanya—merujuk pada laporan-laporan BPK masih banyak inefisiensi usaha dalam BUMN tersebut. Bahkan jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan listrik dikawasan Asia yang menjadi peer PLN seperti KEPCO (Korsel), TNB (Malaysia),  HKE (Hongkong) dan CLP (Hongkong) maka PLN masih relatif kalah efisien dibandingkan dengan pembangkit listrik di Asia yang menjadi peer-nya.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi nilai subsidi adalah masih besarnya susut jaringan PLN. Secara teknis susut jaringan terdiri dari susut transmisi dan susut distribusi. Untuk susut transmisi disebabkan oleh susut teknik. Sementara untuk susut distribusi terdiri dari susut teknik dan non teknik. Penyebab susut teknik penyebabnya bervariasi antara lain gangguan jaringan distribusi dan sifat material.Sementara penyebab susut non teknik terdiri terdiri faktor internal yaitu administrasi usaha langganan yang tidak memadai dan pencatatan dan pengukuran yang tidak akurat. Selain itu susut non teknik juga diakibatkan oleh faktor eksternal yaitu penggunaan listrik secara ilegal. Berdasarkan data PLN tahun 2012, susut jaringan mencapai 8,5 persen yang berasal dari susut distribsi yang bersifat teknik (5,83%), susut transmisi teknik (2,1%) dan susut distribusi non teknis (0,57%). Berdasarkan keterangan PLN penyebab utama susut jaringan distrbusi yang bersifat teknik disebabkan oleh jaringan dan perlengkapan PLN yang sudah tua.
Berdasarkan hal di atas, jelas bahwa upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi dengan menaikkan harga jual jelas merupakan tindakan yang dzalim sebab kesalahan pemerintah ditimpakan kepada rakyatnya. Pasalnya sebagian besar penyebab membengkaknya subsidi listrik akibat kesahalan pemerintah sendiri baik akaibat pengelolan enegeri yang berpihak kepada swasta/asing dan inefisiensi ditubuh PLN sendiri. Lebih dari itu, upaya pencabutan subsidi listrik merupakan upaya sistematas pemerintah untuk memuluskan langkah liberalisasi di sektor kelistrikan. Dengan demikian semakin banyak pihak swasta yang dapat terlibat dalam bisnis kelistrikan dan peran pemerintah menjadi lebih minimal.
Perspektif Islam
Kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi dengan segala macam alasannya, jelas tidak dapat dipisahkan dari paradigma dan sistem kapitalisme yang dianut oleh negara ini dalam penyediaan pelayanan publik. Padahal sistem kapitalisme sendiri dalam kenyataannya telah banyak menimbulkan penderitaan bagi ummat manusia termasuk di negara ini. Dalam pandangan Islam sistem tersebut bertentangan dengan aqidah Islam karena sistem tersebut berlandaskan pada sekularisme dimana urusan kenegaraan termasuk bidang ekonomi dipisahkan dari agama. Berbeda dengan Islam yang mengharuskan seluruh aspek kenegaraan wajib diatur berdasarkan syariat Islam.
Islam telah menegaskan bahwa listrik yang digunakan untuk keperluan bahan bakar masuk dalam kategori ’api’ (nâr) yang digolongkan sebagai barang milik publik dan bukan milik pribadi atau negara. Termasuk dalam kategori tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya Ditambah lagi, sebagian besar sumber energi dalam memproduksi listrik saat ini merupakan barang-barang tambang yang juga merupakan barang publik seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Rasulullah saw bersabda:
”Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan. (HR. Muslim dan Abu Daud)
Di samping itu, pengelolaan barang publik hanya diwakilkan kepada khalifah untuk dikelola demi kemaslahatan rakyat dan tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh swasta baik domestik ataupun asing. Adapaun mekanisme distribusinya sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad dan pendapat khalifah. Dengan demikian, listrik sebagaimana halnya barang publik laiinya seperti air didistribusikan sesuai dengan kebutuhan rakyat tanpa ada yang diistimewakan atau dikecualikan. Barang publik juga dapat dijual dengan harga pasar seperti minyak bumi dan logam. Meski demikian harga penjualannya dikembalikan kepada rakyat tanpa ada yang dikecualikan. Di Baitul Mal, dana tersebut disimpan dalam pos harta milik umum dimana khalifah sama sekali tidak diperkenankan menggunakannya untuk kegiatan negara. (al-Maliky: 41: 1965).
Dengan menerapkan konsep Islam sebenarnya harga listrik di Indonesia tidak perlu dinaikkan bahwa sangat mungkin untuk digratiskan secara proporsional kepada seluruh rakyat. Meski demikian hal tersebut tidak mungkin terlaksana selama sistem ekonomi negara ini menganut sistem ekonomi kapitalisme. Oleh karena itu penerapan syariah Islam secara menyeluruh melalui penegakan sistem Khilafah menjadi sebuah keharusan sehingga sistem Islam dapat ditegakkan secara menyeluruh termasuk dalam pengelolaan listrik. Wallahu a’lam bisshawab.
Referensi:
Al-Maliki, Abdurrahman, 1963, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutsla, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir
BPK, Subsidi Listrik Tahun Anggaran 2010 pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)
Departemen ESDM, 2009, Blue Print Pengelolaan Energi Tahun 2010-2025,http://libraryesdm.com/media/pdfori/4a.%20Blueprint%20Pengelolaan%20Energi%20Nasional%202010-2025.pdf
Laporan Keuangan PLN 2011, http://www.pln.co.id/dataweb/lapkeu/tahunan/FS2011.pdf
Nancy Pfund and Ben Headley, What Would Jefferson Do? The Historical Role of Federal Subsidies  in Shaping America’s Energy Future, September 2011,http://i.bnet.com/blogs/dbl_energy_subsidies_paper.pdf
Setyo Anggoro, PT PLN: Kebijakan dan Subsidi Listrik, disampaikan pada workshop DPR 8 Mei 2012

[1] http://www.imf.org/external/np/exr/facts/asia.pdf
[2]http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1106130305439/Electricity-for-All-Options-for-Increasing-Access-in-Indonesia.pdf
[3]http://indonesia.usaid.gov/documents/document/Document/400/USAID_Indonesia_Energy_Assessment
[4] http://www.oecd.org/eco/surveys/2012%20Indonesia%20Overview%20Bahasa.pdf
 

0 Response to "Liberalisasi Energi : Motif di Balik Kenaikan Tarif Dasar Listrik !"

Posting Komentar