Sen didorong hingga mati oleh seorang wanita yang “membenci Muslim”, saat fanatisme anti-Muslim di AS berubah menjadi bentuk kekerasan baru.
Pada malam tanggal 27 Desember, seorang imigran India di Amerika bernama Sunando Sen didorong oleh seorang wanita jatuh ke jalur kereta bawah tanah di New York City dan tergilas hingga tewas oleh sebuah kereta yang lewat. Sen telah tinggal lama di New York selama bertahun-tahun, dan setelah bertahun-tahun kerja keras dia baru saja berhasil mencapai tujuannya seumur hidup untuk membuka sebuah usaha kecil sendiri, yakni sebuah toko fotokopi di Upper Manhattan.
Teman sekamarnya, MD Khan mengatakan rasa kaget atas kematian temannya itu, yang dia gambarkan sebagai seorang pria yang lembut bicaranya dan suka begadang menonton acara komedi dan mendengarkan musik.
Keesokan harinya, NYPD mengumumkan penangkapan Erika Menendez, seorang wanita 31 tahun yang telah terlihat di rekaman CCTV pergi meninggalkan TKP setelah Sen didorong. Ketika ditahan dan dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi, Menendez mengaku membunuh Sen dan menyatakan motivasinya adalah keinginan untuk melakukan kekerasan terhadap umat Islam. Sebagaimana yang dia katakan kepada polisi:
“Saya mendorong seorang Muslim ke rel kereta api karena saya membenci Hindu dan Muslim … Sejak tahun 2001 ketika mereka meledakkan Twin Towers, saya telah memukuli mereka.”
Sunando Sen bukanlah seorang Muslim, namun seorang berkulit cokelat yang tinggal di Amerika Serikat, dimana dia menjadi target pembunuhan karena tindakan kebencian yang merupakan akibat kampanye berkelanjutan kefanatikan dan demonisasi terhadap umat Islam yang tinggal di Amerika.
Muslim-Amerika, serta umat Hindu, Sikh, dan lain-lain yang konon “terlihat sebagai muslim” telah dipermalukan, diserang dan dalam banyak kasus dibunuh oleh beberapa orang yang sering melakukan kekerasan karena para politisi dan media yang telah antusias terlibat dalam kampanye kebencian terhadap komunitas Muslim di negeri ini.
Meningkatnya Kekerasan Anti-Muslim
Serangan 11/9 telah meningkatkan kebencian dan kekerasan terhadap komunitas Muslim. Dalam sebulan terakhir, di New York saja, polisi telah menduga mengungkap kebencian rasial sebagai motif di balik bebeerapa tindak kejahatan.
Kejahatan ini termasuk serangkaian pembunuhan terhadap para penjaga toko asal Timur Tengah di Brooklyn, yang terakhir adalah pembunuhan atas seorang imigran Iran berusia 78-tahun bernama Rahmatollah Vahidipour, yang ditembak mati saat menutup butiknya.
Dalam minggu yang sama seorang Muslim lain dengan kejam dipukuli oleh dua pria yang didahului serangan terhadap mereka setelah bertanya apakah dia “seorang Hindu atau Muslim”, sementara seorang pria lain ditikam beberapa kali di luar sebuah masjid oleh para penyerang yang berteriak “Aku akan membunuhmu Muslim”, sambil berulang kali menghujamkan pisau ke tubuh korbannya.
Banyak dari insiden itu sejalan dengan statistik nasional yang menunjukkan meningkatnya kekerasan anti-Muslim hingga mendekati rekor tertinggi di Amerika, sebuah tren yang terjadi bersamaan dengan gencarnya kampanye menentang pembangunan masjid serta dorongan dari para politisi dan tokoh media tentang adanya tuduhan bahwa Muslim-Amerika akan mengganti konstitusi AS dan menerapkan hukum Islam di negara itu.
Pemilu AS juga menggunakan Muslim sebagai target yang mudah bagi para politisi agar terpilih. Satu contoh adalah yang dilakukan anggota parlemen asal Illinois dari Partai Republik Joe Walsh yang mengatakan di depan kerumunan massa pendukungnya bahwa “Muslim setiap hari mencoba untuk membunuh orang Amerika”, dan membuat klaim tak berdasar bahwa Islam radikal telah “menyusup” di pinggiran kota Chicago dan bahwa umat Islam merencanakan serangan yang jauh lebih hebat dan akan “menjadikan serangan 11/9 terlihat seperti mainan anak-anak”.
Hanya beberapa hari kemudian, komunitas Muslim menerima konsekuensi retorikanya. Seorang pria melepaskan tembakan ke sebuah masjid di Illinois ketika dipadati oleh ratusan jamaah dalam bulan Ramadhan. Keesokan harinya, sebuah sebuah bom asam dilempar ke dalam jendela mesjid ketika para jamaah sedang berkumpul untuk shalat.
Meskipun terjadi serangan terhadap Muslim di Illinois setelah pernyataannya, Walsh menolak untuk meminta maaf atas retorikanya yang mengutuk kaum Muslim Amerika dan malah melipat gandakan tuduhannya terhadap mereka, yang merupakan cerminan yang umum dari retorika anti-Muslim oleh para tokoh politik Amerika saat ini.
Memang penggunaan kaum Muslim sebagai karung tinju oleh para politisi oportunistik yang mengkambing hitamkan kelompok minoritas telah menjadi hal yang biasa dari kehidupan politik Amerika yang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Seorang politisi anti-Muslim seperti Newt Gingrich memperingatkan adanya “jihad siluman ” dan plot jahat lainnya oleh Muslim di Amerika dalam beberapa tahun terakhir yang membantu memfasilitasi program keuangan Syariah di AS dan memelihara hubungan baik dengan para pemimpin Muslim terkemuka.
Politik Penuh Kebencian
Selain politik penuh kebencian itu, dalam beberapa tahun terakhir terlihat sebuah kelompok yang sangat terorganisir yang mensponsori dan mendanai para aktivis anti-Muslim di seluruh negeri.
Tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan ini adalah Pamela Geller dan Robert Spencer yang telah memimpin perang salib dalam menjelek-jelekkan umat Islam di seluruh negeri dan mengkampanyekan untuk mengecualikan mereka dari kehidupan publik dan menempatkan kaum Muslim Amerika dalam posisi kelima berbahaya dalam negara.
Pandangan mereka mendapatkan perhatian yang cukup popular berkat jaringan penyandang dana dan jaringan media yang telah berhasil membawa pesan-pesan mereka kepada penduduk di seluruh Amerika Serikat.
Dalam beberapa bulan terakhir, kontroversi yang luas meletus ketika orgnasisai Geller yang anti-Muslim mensponsori penempatan iklan Islamofobia di stasiun kereta bawah tanah utama di New York dan di kota-kota lain di seluruh negeri.
Beberapa iklan menggambarkan serangan 11/9 dengan ayat-ayat Quran, sementara yang lain menyebut kaum Muslim sebagai “biadab” dan mengajak orang untuk “melawan Jihad”. Kampanye itu telah ditentang oleh banyak komentator liberal, termasuk satu insiden dimana aktivis terkenal Mesir-Amerika, Mona Eltahawy, ditangkap karena berusaha menutupi iklan itu dengan cat semprot, namun gerakan itu terus berjalan di seluruh negeri untuk menyebarkan pesan itu.
Kebenaran yang menyedihkan adalah bahwa Sen kemungkinan tidak akan menjadi korban terakhir dari fenomena dari meningkatnya kekerasan terhadap Muslim di Amerika Serikat – namun satu-satunya pertanyaan saat ini adalah seberapa jauh Amerika akan melakukan tindakan kekerasan terhadap kaum Muslim sebelum memutuskan untuk menentang tindakan itu. (RZ/Sumber : www.aljazeera.com,31/12)
hizbut-tahrir
0 Response to "Kekerasan Anti-Muslim Menyebar Di Luar Kendali di Amerika"
Posting Komentar