Tidak membedakan antara imamah secara umum dan imamah ‘uzhma’ secara khusus, yaitu khilafah, juga antara imam secara umum dan imam a’zham secara khusus, yaitu khalifah.
Idrus Ramli (dan kelompok leberal yang lain) berkata:
“Pandangan yang menyatakan bahwa yang diwajibkan dalam Islam adalah mengangkat seorang pemimpin tanpa harus bernama khilafah, lebih kuat dalilnya dari pada pandangan HTI yang mengharuskan kepemimpinan harus bernama khilafah, berdasarkan beberapa alasan….
Kedua, dalam sekian banyak hadits juga dikemukakan bahwa umat Islam harus tunduk patuh terhadap pemimpin mereka, selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Dalam hadits-hadits tersebut juga diisyaratkan, bahwa kepemimpinan yang harus ditaati tersebut bukan kepemimpinan khilafah, akan tetapi kepemimpinan yang sewenang-wenang atau kerajaan.
Ketiga, dalam ktab-kitab fikih juga dikemukakan bahwa yag diwajibkan itu memang mengangkat seorang imam, yaitu seorang pemimpin secara umum, tanpa harus bernama khilafah. Hal ini sebagaimana diketahui dengan membaca kitab-kitab fikih. Memang DPP HTI mengutif pernyataan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz XXI/26, bahwa khilafah, imamah dan imarah itu termasuk kosa kata yangmutaradif (sinonim). Tetapi ada dua hal yang tidak dipahami oleh HTI; 1) istilah mutaradif tersebut bersifat kebahasaan (lughawi) saja, sementara dalam segi aplikasi para ulama, ketiga kosa kata tersebut memiliki konotasi yang berbeda. Setiap khalifah pasti dikatakan imam, tetapi imam belum tentu khilafah, sebagaimana dapat dipahami dari keterangan kitab al-Majmu’ secara lengkap, dan bukan sepotong”. (Jurus Ampuh Membungkam HTI, hal. 1-4).
SANGGAHAN:
Pertama, terkait definisi mutarodif (sinonim), Imam Ali al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifatnya mendefinisikan demikian:
المترادف : ما كان معناه واحداً ، وأسماؤه كثيرة ، وهو ضد المشترك أخذاً من الترادف الذي هو ركوب أحد خلف آخر . كان المعنى مركوب ، واللفظين راكبان عليه كالليث والأسد .
“Mutarodif (sinonim), ialah suatu kata (term) yang maknanya satu meskipun namanya banyak. Mutarodif adalah lawan dari musytarok (satu kata yang memiliki sejumlah makna seperti ‘ayn), karena diambil dari kata taroduf (berturut-turut / berurutan), yaitu naiknya seseorang dibelakang yang lain. Seakan-akan makna itu kendaraan, sedang dua katanya naik di atasnya, seperti kata al-layts dan al-asad (sama-sama bermakna singa / leo)”.
Dan contoh dari definisi mutarodif yang lain dan yang terkait pada pembahasan ini adalah kata (term) khilafah dan imamah yang memiliki makna satu, yaitu kepemimpinan umum (tunggal) bagi seluruh kaum muslim di dunia, bukan sembarang kepemimpinan. Jadi terkait definisi sebenarnya tidak ada masalah. Dan dalam hal ini, Saikh Taqiyyuddin an-Nabhani menegaskan:
الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم، وهي عينها الإمامة، فالإمامة والخلافة بمعنى واحد. وقد وردت الأحاديث الصحيحة بهاتين الكلمتين بمعنى واحد، ولم يرد لأي منهما معنى يخالف معنى الأخرى في أي نص شرعي، أي لا في الكتاب ولا في السنّة لأنهما وحدهما النصوص الشرعية. ولا يجب أن يلتزم هذا اللفظ أي الإمامة أو الخلافة، وإنما يلتزم مدلوله.
“Khilafah ialah kepemimpinan umum bagi semua kaum muslim di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah sendiri adalah imamah. Jadi imamah dan khilafah itu satu makna. Benar-benar telah datang sejumlah hadits shahih terkait dua kata itu dengan satu makna, dan tidak datang bagi setiap satu dari keduanya makna yang berbeda dengan makna yang lainnya, dalam nash syara’ manapun, yakni tidak datang dalam Alqur’an dan tidsak pula dalam Assunnah, karena hanya keduanya itu yang dianggap sebagai nash syara’. Dan tidak wajib terikat dengan kata(term)nya, yakni imamah atau khilafah, tetapi hanya wajib terikat dengan maknanya (yaitu kepemimpinan umum bagi semua kaum muslim di dunia…)”. (Taqiyyuddin an-Nabhani, Al-Khilafah, hal. 1).
Kedua, terkait term Imamah (atau imam) yang dikehendaki oleh para ulama Ahlussunnah Waljama’ah.
Sesungguhnya term imamah yang dikehendaki oleh para ulama Ahlussunnah Waljama’ah dalam pembahasan mereka, dalam bab imamah, adalah al-imamah al-kubro’ (kepemimpinan agung / besar / sentral), yaitu khilafah. Bukan imamah dalam pengertian umum yang mencakup semua pemimpin suatu negara yang berjumlah banyak, seperti presiden dan raja. Apalagi pemimpin partai politik, organisasi atau asosiasi. Sekarang perhatikan berbagai pernyataan ulama terkait imamah ‘uzhma’:
1-Syaikh Ahmad bin Abdullah Qalqasyandi menyatakan:
الباب الأول بعد المقدمة في وجوب الإمامة لمن يقوم بها وبيان شروط الإمامة التي لا تصح دونها والطرق التي تنعقد بها وما يلزم الخليفة للرعبة وما يلزم الرعية للخليفة وما ينعزل به الخليفة ويخرج به عن الإمامة وفيه ستة فصول.
الفصل الأول وفي وجوب عقد الإمامة لمن يقوم بها…
“Bab pertama setelah muqadimah, terkait wajibnya imamah bagi orang yang melaksanakannya, dan menjelaskan syarat-syarat sahnya imamah, metode pengangkatannya, kewajiban khalifah terhadap rakyatnya, kewajiban rakyat terhadap khalifah, perkara yang menyebabkan terpecatnya khalifah dan mengeluarkannya dari imamah. Bab ini memuat enam pasal.
Pasal pertama, terkait wajibnya akad imamah bagi orang yang melaksanakannya…”. (Ahmad bin Abdullah Qalqasyandi, Maatsirul Inafah fi Ma’alimil Khilafah, 1/16, Dar al-Nasyr, Kuwait, 1985, cet. II, tahqiq; Abdus Satar Ahmad Faroj).
Dan pernyataannya:
الخاتمة فيما يختص بالإمام الأعظم المعتضد بالله خليفة العصر
“Penutup; terkait hal-hal tertentu yang menjadi keistimewaan Imam A’zham al-Mu’tadhid Billah Khalifah pada masanya…”. (Ibid, 1/532).
Dalam pernyataan Syaikh Ahmad bin Abdullah al-Qalqasyandi di atas, beliau telah mengumpulkan term imamah, khalifah dan imam a’zham. Ini menunjukkan bahwa imamah dan khilafah adalah satu makna, dan imam a’zham dan khalifah juga satu makna. Karena ketika disebut term imamah maka meniscayakan adanya imam, dan ketika disebut term khalifah juga meniscayakan adanya khilafah. Dan ini sudah terlalu jelas bagi siapa saja yang paham bahasa Arab.
2-Syaikh Muhammad al-Khathib al-Syarbini menyatakan:
وَلَوْ نَذَرَ أَنْ يَعْبُدَ اللَّهَ تَعَالَى بِعِبَادَةٍ لَا يُشْرِكُهُ فِيهَا أَحَدٌ ، فَقِيلَ : يَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَحْدَهُ ، وَقِيلَ يُصَلِّي دَاخِلَ الْبَيْتِ وَحْدَهُ ، وَقِيلَ يَتَوَلَّى الْإِمَامَةَ الْعُظْمَى ، فَإِنَّ الْإِمَامَ لَا يَكُونُ إلَّا وَاحِدًا ، فَإِنْ انْفَرَدَ بِهَا وَاحِدٌ فَقَدْ قَامَ بِعِبَادَةٍ هِيَ أَعْظَمُ الْعِبَادَاتِ ،…
“Apabila ia nadzar akan beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak bersamaan dengan seorangpun, maka ada yang berkata: “Ia mengelilingi Baitullah sendirian (ketika tidak ada orang lain yang thawaf)”, ada yang berkata: “Ia shalat di dalam Baitullah sendirian”, dan ada yang berkata: “Ia melaksanakan imamah ‘uzhma’”, karena imam itu hanya satu, dimana ketika ada seorang yang menyendiri dengannya, maka ia benar-benar telah melaksanakan ibadah terbesar diantara ibadah terbesar yang lain… ”. (Syaikh Muhammad al-Khathib al-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfazhil Minhaj, 19/46, Darul Fikr, Beirut, Maktabah Syamilah).
Pada pernyataan Syaikh Khathib di atas sangat jelas bahwa imam yang dimaksud adalah imam a’zham, yaitu khalifah, dimana jumlahnya hanya seorang. Indikasinya adalah kata imamah ‘uzhma yang jatuh sebelum kata imam.
3-Syaikh Muhammad bin Ahmad bin ‘Arofah al-Dasuqi al-Maliki menyatakan:
اعْلَمْ أَنَّ الْإِمَامَةَ الْعُظْمَى تَثْبُتُ بِأَحَدِ أُمُورٍ ثَلَاثَةٍ إمَّا بِإِيصَاءِ الْخَلِيفَةِ الْأَوَّلِ لِمُتَأَهِّلٍ لَهَا ، وَإِمَّا بِالتَّغَلُّبِ عَلَى النَّاسِ ؛ لِأَنَّ مَنْ اشْتَدَّتْ وَطْأَتُهُ بِالتَّغَلُّبِ وَجَبَتْ طَاعَتُهُ وَلَا يُرَاعَى فِي هَذَا شُرُوطُ الْإِمَامَةِ ؛ إذْ الْمَدَارُ عَلَى دَرْءِ الْمَفَاسِدِ وَارْتِكَابِ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ .
“Ketahuilah bahwa imamah ‘uzhma’ bisa tetap (sah) dengan salah satu dari tiga perkara; dengan wasiat dari khalifah pertama kepada seseorang yang layak mendapat imamah ‘uzhma; menguasai manusia secara paksa, karena orang yang tekanan kekuasaan secara paksanya kuat itu wajib ditaati, dan tidak perlu memperhatikan syarat-syarat imamahnya. Karena topiknya adalah menolak kerusakan dan menerjang bahaya yang paling ringan diantara dua bahaya”. (Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala Syarh al-Kabir, 18/277, fiqh madzhab Imam Malik).
Pada pernyataan al-Dasuqi diatas juga disebutkan dua kata yang saling terkait, yaitu imamah ‘uzhma dan khalifah, dimana dari keduanya juga memastikan adanya dua kata lain yang saling terkait, yaitu imam a’zham dan khilafah. Lalu empat kata itu dijodohkan menjadi imamah ‘uzhma dengan imam a’zham, dan khilafah dengan khalifah.
Dan dalam Hasyiyah Syibromulis atas Nihayatul Muhtaj juz 18, hal. 12, dijelaskan demikian:
(فَصْلٌ ) فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَأْتِي فِيهَا أَقْسَامُهُ الْآتِيَةُ مِنْ طَلَبٍ وَقَبُولٍ ، وَعَقَّبَ الْبُغَاةَ بِهَذَا ؛ لِأَنَّ الْبَغْيَ خُرُوجٌ عَلَى الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ الْقَائِمِ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا وَمِنْ ثَمَّ اُشْتُرِطَ فِيهِ مَا شُرِطَ فِي الْقَاضِي وَزِيَادَةٌ كَمَا قَالَ ( شَرْطُ الْإِمَامِ كَوْنُهُ مُسْلِمًا ) لِيُرَاعِيَ مَصْلَحَةَ الْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ ( مُكَلَّفًا ) ؛ لِأَنَّ غَيْرَهُ مُوَلًّى عَلَيْهِ فَلَا يَلِي أَمْرَ غَيْرِهِ . {حاشية الشبراملسي نهاية المحتاج (18 / 12)}.
“(Fasal) terkait syarat-syaratnya Imam A’dzam dan metode pengangkatan Imamah. Imamah adalah fardhu kifayah seperti halnya pengadilan, maka bagian-bagiannya akan dijelaskan nanti, seperti permintaan dan penerimaan. Dan beliau telah mengakhiri bab bughat dengan fasal ini, karena bughat itu memberontak terhadap Imam A’zham yang melaksanakan khilafah nubuwwah dalam menjaga agama dan mengurusi dunia. Dengan demikian disyaratkan pada Imam A’zham perkara yang disyaratkan pada hakim …”. (Hasyiyah Syibromulis atas Nihayatul Muhtaj juz 18, hal. 12, Maktabah Syamilah).
Dan dalam Hasyiyah al-Jamal dijelaskan demikian:
فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ، وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ( شَرْطُ الْإِمَامِ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ ) بِأَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا حُرًّا مُكَلَّفًا عَدْلًا ذَكَرًا مُجْتَهِدًا ذَا رَأَى وَسَمْعٍ وَبَصَرٍ وَنُطْقٍ لِمَا يَأْتِي فِي بَابِ الْقَضَاءِ… … ، حاشية الجمل – (21 / 42)
( فَصْلٌ فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَقَّبَ الْبُغَاةَ بِهَذَا ؛ لِأَنَّ الْبَغْيَ خُرُوجٌ عَلَى الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ الْقَائِمِ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا وَمِنْ ثَمَّ اُشْتُرِطَ فِيهِ مَا اُشْتُرِطَ فِي الْقَاضِي وَزِيَادَةٌ ا هـ شَرْحُ م ر . ( قَوْلُهُ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ) ؛ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ لِلْأَمَةِ مِنْ إمَامِ يُقِيم الدِّينَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُومِينَ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا ا هـ شَرْحُ الرَّوْضِ . حاشية الجمل- (21 / 44)
“Terkait syarat-syarat imam a’zham dan menjelaskan metode legalitas imamah. Imamah adalah fardhu kifayah seperti pengadilan (Syaratnya Imam adalah layak bagi pengadilan) seperti harus muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, punya ide, penglihatan, pendengaran dan bisa bicara, sebagaimana datang dalam bab pengadilan…
(Fasal: Terkait syarat-syarat imam a’zham). Beliau telah mengakhiri bab bughat dengan fasal ini, karena bughat adalah tindakan memberontak terhadap imam a’zham yang sedang melaksanakan khilafah nubuwwah dalam menjaga agama dan mengurusi urusan dunia, dengan demikian disyaratkan pada imam a’zham perkara yang disyaratkan pada hakim dan ada tambahan”. Syarah MR
(Maksud perkataan penulis, imamah adalah fardhu kifayah seperti pengadilan), karena umat harus memiliki imam yang menegakkan agama, menolong sunnah, memberi keadilan kepada orang-orang yang teraniaya, menetapkan sejumlah hak dan meletakannya pada tempatnya”. Syarh al-Raudh. (Hasyiyah al-Jamal, juz 21, hal. 42-44, Maktabah Syamilah).
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Term imam a’zham itu dikaitkan dengan term imamah. Ini menunjukkan bahwa imamah di sini adalah imamah ‘uzhma, yaitu khilafah, karena imam a’zham sendiri adalah khalifah.
- Hukum imamah adalah fardhu kifayah seperti hukum pengadilan sehingga syarat-syarat imamah itu sama dengan syarat-syarat pengadilan, dan ada tambahan.
- Pungsi pokok imam a’zham adalah; 1) menjaga agama, dan 2) mengatur urusan dunia dengan agama. Sedang perinciannya sebagi berikut, 1) menegakkan agama, 2) menolong sunnah, 3) memberi keadilan kepada orang-orang yang teraniaya, dan 4) melaksanakan sejumlah hak dan meletakannya pada tempatnya.
Terkait kalimat terakhir;
لِأَنَّهُ لَا بُدَّ لِلْأَمَةِ مِنْ إمَامِ يُقِيم الدِّينَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُومِينَ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا
“karena umat harus memiliki imam yang menegakkan agama, menolong sunnah, memberi keadilan kepada orang-orang yang teraniaya, menetapkan sejumlah hak dan meletakannya pada tempatnya”.
Redaksi seperti ini biasa dipakai oleh para ulama dengan konotasi yang sama juga, yaitu mengenai kewajiban mengangkat imam, yaitu imam a’zham, yaitu khalifah, bukan imam-imam yang lain, diantaranya adalah beberapa pernyataan ulama berikut:
اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الأمة واجب عليها الإنقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم حاشا النجدات من الخوارج فإنهم قالوا لا يلزم الناس فرض الإمامة وإنما عليهم أن يتعاطوا الحق بينهم …{ الملل والأهواء والنحل، الجزء الرابع، ص: 87}.
“Semua Ahlussunnah, semua Murjiah, semua Syiah dan semua Khawarij telah sepakat atas wajibnya imamah (khilafah), dan bahwa umat wajib tunduk kepada imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah pada mereka, dan yang memimpin mereka dengan hukum-hukum syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW, selain sekte Najdah dari Khawarij, karena mereka berkata, kewajiban imamah itu tidak mengikat manusia, dan manusia hanya wajib menjalankan hak di antara mereka…”.
Dan Sayyid Husain Afandi RH berkata:
اعلم أنه يجب على المسلمين شرعا نصب إمام يقوم بإقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيوش وأخذ الصدقات وقهر المتغلبة والمتلصصة وقطاع الطريق وتزويج الصغار والصغائر الذين لا أولياء لهم وقطع المنازعات الواقعة بين العباد وقبول الشهادات القائمة على الحقوق وإقامة الجمع والأعياد ولا يتم جميع ذلك بين المسلمين إلا بإمام … … وقد أجمعت الصحابة رضي الله تعالى عنهم على نصب الإمام بعد وفاته عليه الصلاة والسلام. قال أبو بكر رضي الله تعالى عنه: لا بد لهذا الأمر من يقوم به فانظروا وهاتوا آراءهم، فقالوا من كل جانب: صدقت صدقت, ولم يقل أحد منهم لا حاجة بنا إلى إمام. ويجب طاعة الإمام على جميع الرعايا ظاهرا وباطنا فيما لا يخالف الشرع الشريف لقوله تعالى: {أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم} وهم العلماء والأمراء ولقوله عليه الصلاة والسلام: من أطاع أميري فقد أطاعني ومن عصي أميري فقد عصاني. وفى صحيح البخاري عن النبي صلى الله عليه وسلم: من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله ومن يطع الأمير فقد أطاعني وإنما الإمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به …{الحصون الحميدية، ص: 189-190}.
“Ketahuilah bahwasanya secara syara’ wajib atas kaum muslim mengangkat imam yang menegakkan hudud, menutup benteng, mempersiapkan tentara, mengambil zakat, menundukkan pemberontak, penyamun dan begal, mengawinkan laki-laki dan perempuan kecil yang tidak memiliki wali, memutuskan persengketaan yang terjadi di antara manusia, menerima kesaksian yang berdiri di atas hak, menegakkan shalat jum’at dan shalat hari raya, dan semuanya itu tidak akan dapat sempurna di antara kaum muslim, kecuali dengan adanya imam (khalifah)…. … Dan sahabat RA benar-benar telah ijmak atas mengangkat imam setelah Nabi SAW wafat. Abu Bakar RA berkata: “Harus ada orang yang menegakkan perkara (agama) ini, maka berpikirlah dan keluarkan pendapat kalian!” Lalu dari setiap arah sahabat berkata: “Anda benar, anda benar!”, dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan, “Kami tidak membutuhkan imam!”. Dan semua rakyat wajib taat kepada imam, lahir dan batin, pada perkara yang tidak menyelahi syariat yang mulia, karena Allah berfirman: “Taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasulullah dan kepada ulil amri di antara kalian”, dan mereka adalah para ulama dan umara, dan karena Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang taat kepada amirku, maka ia taat kepadaku, dan barang siapa yang maksiat kepada amirku, maka ia maksiat kepadaku”. Dan dalam shahih al-Bukhari, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa taat kepadaku, maka ia taat kepada Allah, barang siapa maksiat kepadaku, maka ia maksiat kepada Allah, dan barang siapa taat kepada amir, maka ia taat kepadaku. Sesungguhnya imam adalah perisai yang diperangi dari belakangnya dan dibuat perlindungan…”.
Sayyid Muhammad Amin RH berkata:
واتفق الأئمة الأربعة على أن الإمامة فرض وأنه لا بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين, وعلى أنه لا يجوز أن يكون للمسلمين فى وقت واحد فى جميع الدنيا إمامان لا متفقان ولا مفترقان…{بلوغ المرام، ص:265، وانظر الميزان الكبرى فى باب حكم البغاة، ج 2، ص: 153}.
“Empat imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad) telah sepakat bahwa imamah (khilafah) adalah fadhu, dan bahwa kaum muslim wajib memiliki imam yang menegakkan syiar-syiar agama, memberi keadilan kepada orang-orang yang teraniaya dari orang-orang yang menganiaya, dan bahwa kaum muslim dalam satu masa di seluruh dunia tidak boleh memiliki dua orang imam, sama saja yang keduanya sepakat (rukun) atau yang keduanya berselisih…”.
Imam al-Qurthubi RH berkata:
ولا خلاف في وجوب ذلك بين الإمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم وكذلك كل من قال بقوله واتبعوه على رأيه ومذهبه {تفسير القرطبي، الجزء الأول فى تفسير الآية: إني جاعل فى الأرض خليفة}.
“Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat, dan tidak pula di antara para imam tentang kewajiban imamah, kecuali riwayat dari ‘Asham di mana dia telah tuli (asham) dari syariat, juga setiap orang yang berkata dengan perkataannya dan mengikuti pendapat dan madzhabnya”.
Jadi berbagai pernyataan ulama di atas, semuanya terkait imam a’zham, yaitu khalifah, bukan imam-imam yang lain seperti presiden atau raja. Ini sudah sangat jelas.
Dan untuk meneguhkan pernyataan di atas, di bawah saya tambahkan lagi pernyataan al-Ustadz Dr. Shalah al-Shawi dalam kitabnya, al-Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-‘Uzhmaa atau al-Wajiz fi Fiqh al-Khilafah, juz I, hal. 2:
الإمامة في اللغة: مصدر الفعل ( أم ) والإمام كل من اقتدي به، وقدم في أمر من الأمور، محقًا أو مبطلا. فالنبى صلى الله عليه وسلم إمام الأئمة، والخليفة إمام الرعية، والقرآن إمام المسلمين، وإمام كل شيء قيمته والمصلح له ، والإمامة إذا أطلقت حملت على الإمامة العظمى، فلا يوصف بها حينئذ إلا الخليفة، أما إذا أريد التقييد، فلابد من الإضافة المبينة للمراد ،كأن يقال: إمام المحدثين أو إمام الفقهاء، ونحوه .
“Imamah secara bahasa adalah mashdar (kata kerja) dari fi’il madhi “amma”, sedang imam adalah setiap orang yang dijadikan panutan dalam suatu perkara (urusan), sama saja dia orang yang benar maupun orang yang salah. Nabi SAW adalah imam bagi para imam, khalifah adalah imam bagi rakyat, al-Qur’an adalah imam bagi kaum muslim, dan imam bagi segala perkara adalah nilainya dan yang memperbaikinya. (Lihat: al-Ashfihani, al-Mufradat fi al-Gharib al-Qur’an, hal. 24; Ibn al-Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, juz I, hal. 28; al-Jauhari, al-Shihah, juz 5, hal. 1865). Ketika dikatakan imamah, konotasinya adalah imamah ‘uzhmaa (kepemimpinan agung), maka hanya diperuntukan bagi khalifah. Adapun ketika dibatasi, maka harus menjelaskan maksudnya, seperti dikatakan, imam al-muhadditsiin (imam ahli hadits), imam al-fuqaha’ (imam ahli fiqih), dll. (Ibnu Hazem, al-Fashl, juz 4, hal. 60).
Belum lagi ketika dikaitkan dengan hadits-hadits terkait khilafah dan khalifah, juga terkait imamah dan imam, maka semuanya lebih meneguhkan bahwa yang dikehendaki dengan imamah dan imam adalah khilafah dan khalifah.
(Farid M)
[www.bringislam.web.id]
0 Response to "Kesalahan Logika Idrus Ramli, ke 3 dari 17, Bantahan Buku Jurus Ampuh Membungkam Hizbut-Tahrir"
Posting Komentar