Oleh Hanif Kristianto
Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur
Sungguh berat melalui tahun ini. Penguasa berebut jatah kursi untuk kembali ke pucuk pimpinan negeri. Semua berlomba, seolah menjadi penguasa dan elite politik merupakan kemakmuran diri. Tak pelak, rakyat seolah dilupakan sejenak. Meskipun sebelumnya diajak berpesta pora atas nama demokrasi.
Kini rakyat menaggih janji. Kepada mereka yang mengaku politisi. Benarkah perubahan yang lebih baik terwujud di hari nanti? Atau justru kembali ke jurang kehinaan dan terlupakan oleh kepentingan pribadi politisi? Ke mana janji itu? Bukankah sebuah kemunafikan, jika semua tidak menepati? Tidakkah mereka takut, jika nanti dimintai pertanggungjawaban di hari pembalasan?
Rakyat sering berharap kepada orang-orang yang masih bernurani. Kehidupan yang jauh dari pemahaman politik, mengakibatkan rakyat tak pernah berpikir: apakah benar sistem demokrasi membawa kemakmuran dan kemaslahatan? Rakyat masih terpesona dengan popularitas, elektabilitas, dan matrealitas. Rakyat mengabaikan moralitas dan integritas. Wajarlah dalam sistem demokrasi mengagungkan kebebasan. Bebas memilih, bersikap, dan apa pun. Maka semakin absurd jika demokrasi akan menjadikan kehidupan lebih baik. Bisa jadi lebih baik bagi pribadi elite penguasa. Sebaliknya bencana bagi umat manusia.
Pra dan pasca pemilu 2014 seyogyanya menjadi hikmah dan perenungan. Bagi insan berakal dan berhati nurani. Semua dapat dijadikan pelajaran berharga dan penting untuk menata kehidupan ke depan. Pra pemilu 2014, rakyat disuguhi sebuah parodi caleg dan capres. Berbagai iklan dan media sosial dijadikan sarana mendekat kepada rakyat. Tiba-tiba saja, mereka bak orang terdekat dengan rakyat. Hal ini dikarenakan ada keinginan mendulang dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Konsolidasi dan silaturahim kerap menyasar basis massa suatu organisasi. Wajar, jika selama ini mereka memanfaatkan orang berpengaruh di masyarakat. Tidak jarang para tokoh tidak mengatahu tak-tik politisi berakal bulus. Mereka dimanfaatkan demi suatu kepentingan dan kerakusan jabatan.
Sistem pemilu 2014 betul-betul maha berat. Bagaimana tidak, UU Pemilu mengamanatkan untuk ikut dalam pesta demokrasi, semua harus mengeluarkan dana. Tak penting sumber dana itu dari mana. Ada uang semua mesin jalan. Standar kesuksesan peserta seolah dihitung dari uang. Tidak ada uang, jangan coba cari peruntungan. Rakyat pun kian pragmatis dan amnesia. Di tengah himpitan ekonomi dan kejumudan berpikir, uang jadi hal penting. Tak jarang suara mereka terbeli dengan istilah politik uang dan serangan fajar. Pasca mereka memilih ternyata yang dipilih tak sesuai harapan, rakyat seperti kesetanan. Mereka lupa jika awalanya telah disuapi dengan uang peruntungan. Amensia rakyat ini berlangsung terus menerus dan terjadi di pemilu yang ada.
Pemilu 2014 masih menyisakan masalah. Mulai peserta pemilu, pemilih, hingga petugas pemilu. Misalnya, banyaknya protes ketidakberterimaan oleh caleg karena suaranya dimanipulasi. Saksi dan pengurus partai pun menolak rekapitulasi. Sebagaimana yang terjadi di Jember dan daerah lainnya. Dugaan suap dan gratifikasi kepada panitia pemilu dari caleg seorang pengusaha di Pasuruan. Belum lagi penolakan dari masyrakat atas perekrutan anggota KPU di beberapa daerah, seperti di Lamongan dan Madura. Tragisnya, seorang pemuda yang mencalonkan diri jadi caleg, dengan bangga meminjam uang Rp 600 juta kepada renternir (lintah darat). Alih-alih mendapat peruntungan, justru buntung dan kian malang. Caleg gagal, rela jual ginjal. Itulah gambaran keadaan dia sekarang untuk menutupi hutang.
Di sisi lain, hasil rekapitulasi pemilu 2014 diperkarakan di mahkamah konstitusi. Banyak partai yang tak puas, sehingga gugatan pun dipilih. Setelah pemilu legislatif usai. Rakyat ditinggal seorang diri. Elite partai ribut sendiri. Mereka lupa jika sebelumnya telah mengemis suara kepada rakyat negeri ini. Lantas, di mana arti demokrasi? Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat? Bagi para pejuang demokrasi, apakah ini yang engkau cari untuk sesuap nasi? Belum lagi, demokrasi sering dijadikan raja sanjungan untuk perbaikan negeri.
Masihkah percaya pada demokrasi? Bahkan ada yang coba bermain api untuk Islamisasi demokrasi. Katanya demokrasi sudah baik, yang tidak baik orangnya. Bukankah orang yang ada merupakan produk dari suatu sistem itu? Jika orang dalam sistem demokrasi buruk. Maka sistem demokrasi telah menghasilkan kerusakan dan merusak tatanan kehidupan.
Road Map Politik Islam
Tak banyak orang memahami politik Islam. Islam masih dipandang sebagai aturan dalam ranah ritual dan moral. Bahkan suatu keharaman membicarakan politik. Apalagi umat masih apriori dengan istilah politik. Hal ini terjadi akibat kemunduran taraf berpikir umat. Umat masih melihat dan menyamakan poltik Islam dengan politik demokrasi.
Anehnya, Islam juga dipolitisasi hanya sekadar untuk menarik massa dan suara. Umat pun semakin apriori dan ingin jauh dengan politik model politisasi agama. Belum lagi umat pun tidak memiliki road map jelas untuk mengganti model politisasi agama. Semangat umat masih berubah dan mudah lupa akan perjuangan mewujudkan politik Islam. Semisal pada pileg dan pilpres muncul isu yang membenturkan Islam dan kekufuran. Umat digiring pada pemahaman keliru. Padahal mereka dimanfaatkan lawan politik untuk meraup dukungan. Ibarat maju kena, mundur kena. Lagi-lagi umat diombang-ambing. Jika hal itu terjadi, maka demokrasi telah menjerat dan menjebak pemikiran umat Islam yang jernih.
Dengan demikian, umat harus sadar. Untuk menggantikan sistem demokrasi, dibutuhkan sebuah sistem yang sahih. Itulah Khilafah. Di tengah masyarakat masih terdapat perdebatan. Baik di kalangan internal umat Islam, maupun pesaing ideologi lainnya. Penolakan terjadi dengan mengatakan Khilafah romantisme sejarah. Gagasan absurd ingin mewujudkan sistem yang sudah kuno. Tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan yang prulal. Serta ungkapan nyinyir lainnya. Ungkapan itu muncul akibat teracuni oleh pemikiran barat. Barat ingin menjauhkan umat dari Islam sebagai ideologi.
Jika ungkapan perjuangan Khilafah merupakan romantisme sejarah, berarti umat ini sadar, kondisi saat ini sudah menyengsarakan hidup. Apakah salah seseorang mengingat masa romantisme mereka? Jika gagasan ini absurd, kenapa banyak orang yang mendukung dan berjuang mewujudkannya? Bahkan pemimpin dan politisi barat yang kufur pun meyakininya sebagai ancaman? Kalau tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan, apakah hal salah jika memperjuangakan Khilafah sebagai solusi alternatif? Bukankah krisis multidemensi Indonesia diakibatkan oleh penerapan sistem yang salah?
Ungkapan demikian tak sepatutnya disampaikan umat Islam. Kenapa mereka tidak mempersoalkan sistem atau ideologi selain Islam? Sementara apa solusi mereka untuk keluar dari krisis multidimensi ini? Jika mereka terus menyerang dan memojokan perjuangan Khilafah. Motif apa yang mereka lakukan? Benar-benar motif kepentingan pribadi untuk dikenal? Ataukah karena kedengkian? Padahal seharusnya mereka menolong dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana Islam telah mengajarkan pada umatnya.
Politik Islam dalam menegakan Khilafah harus dipetakan dengan baik. Karena Khilafah akan menggantikan sistem demokrasi mulai dari akarnya. Politik Islam bermakna mengurusi urusan umat. Kehidupan ini diatur dengan syariah Islam dalam aspek ibadah, akhlak, dan mua’amalah. Khilafah merupakan rumah besar umat manusia.
Khilafah
Alasan nyata mengganti demokrasi dengan Khilafah bukanlah isapan jempol. Praktik demokrasi dengan bersandar pada sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) menyisakan persolan. Pemimpin yang korup. Sistem yang berbelit. Bertumpu pada korporasi. Tak jarang penuh janji dan ilusi. Bahkan tak segan melakukan kebohongan pada rakyat. Serta menistakan rakyat sebagai pihak yang wajib diurusi. Belum lagi demokrasi digunakan sebagai alat intervensi politik oleh negara kapitalis demokrasi ke negeri kaum muslim. Intervensi melalui lembaga internasional. Sementara itu, rakyat dikibuli dengan lipstik demokrasi yang seolah elok.
Demokrasi tidak untuk umat Islam. Fakta sudah jelas, kegagalan FIS di Aljazair. Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Partai-partai Islam di Indonesia. Hal itu bisa menjadi contoh bahwa demokrasi hanya menjebak mereka. Mereka dihibur untuk bisa mewujudkan cita-cita di parlemen dan pemerintahan. Apa daya, mereka tak bisa berkutik hanya karena ancaman permanen, disintegrasi, dan koalisi yang ilusi. Lantas bagi orang-orang yang ikhlas berjuang, jangan sampai niat anda terbelokan karena mengikuti aturan demokrasi. Selayaknya buat cara-cara baru dan menjauh dari demokrasi. Sekeras apa pun usaha, demokrasi tidak akan menerima kehadiran Islam. Maka tak layak menyamakan demokrasi dengan Islam. Apalagi menganggap demokrasi itu islami.
Kembali kepada Khilafah merupakan tuntutan iman dan panggilan seruan Allah. Sistem Khilafah inilah pernah diterapkan dari masa Rasulullah Saw hingga kekhilafah terkahir di Turki Utsmani. Sistem ini telah memberikan kemaslahatan bagi semua rakyat. Bahkan khilafah sebagai solusi untuk menepis keraguan umat selama ini. Umat masih bertanya siapa Khalifahnya? Padahal inti dari pertanyaan itu adalah apa kontribusi yang dapat diberikan untuk penegakan Khilafah.
Untuk meninggalkan demokrasi menuju Khilafah, perlua ada langkah strategis. Langkah ini bersumber dari perbuatan Rasulullah Saw. Thoriqoh yang ditempuh:
- Langkah dakwah yang hukumnya wajib
- Rasul melaksanakannya terus menerus, meskipun ada rintangan berat
- Bersifat baku (tetap)
- Tidak berubah sepanjang masa.
Untuk langkah yang bersifat mubah, tidak tetap, dan mengikuti jaman dan tempatnya disebut uslub. Hal ini bisa diadakan dengan konfrensi, tabligh akbar, diskusi publik, dan lainnya. Bisa berupa dokusinema, gagasan tulisan, dll. Tujuannya untuk menyampaikan Islam agar lebih mudah dipahami dan sampai kepada umat.
1. Marhalah tatsqif wa takwin.
- Tahap Pembinaan dan Pembentukan
- Pembinaan kader dakwah dan pembentukan kerangka gerakan
2. Marhalah tafa’ul wal kifah.
- Tahap Interaksi dan Perjuangan
- Berinteraksi di tengah masyarakat dan melakukan perjuangan politik
- Melakukan thalabun nushroh
3. Marhalah tathbiq ahkamul Islam.
- Tahap Penerapan Hukum-hukum Islam
- Menerapkan hukum Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah dan jihad ke luar negeri
Langkah praktisnya menegakan khilafah dengan amal jama’i. Seharusnya ada sekelompok jamaah yang menyiapkan road map dan fokus pada penegakan Khilafah (Al Imron:104). Syarat jamaahnya berideologi Islam, berdiri di atas asas islam, mengadopsi pemikiran dan prangkat sistem Islam, berpijak pada metode perjuangan Rasulullah, berjuang untuk melangsungkan kehidupan Islam dengan motode menegakan Khilafah dan mengembalikan pemerintahan beradasar dari syariah Allah.
Langkah teknis perubahan harus ada arah yang jelas. Harus ada konsep jelas dan kesadaran umat. Begitu pula ada dorongan dari kekuatan politik. Sehingga pemimpin sebagai lokomotif mampu menangkap sinyal yang diberikan dari kalangan bawah. Untuk menggeerakan lokomotif perubahan maka harus besar, benar, dan berkualitas. Hal itu ditandai dengan manajemen aman, efektif, efisien, barisan mutu, dan da’i yang berkualitas. Lokomitif ini didukung oleh kesadaran umat. Umat yang siap berjuang, rela berkorban, dan turut serta meraih target perubahan. Diperlukan pula dukungan dari kekuatan politik yang ada di tengah masyarakat. Kekuatan ini mendorong agar bermasyarakat dan bernegara diatur syari’ah. Ketika tiga komponen tadi sudah terakumulasi. Maka pengangkatan khalifah untuk memberikan amanah menerapkan syariah secara kaffah dalam kehidupan.
Hal yang tidak boleh dilupakan, dibalik semua itu ada kekuatan yang siap menyokong yaitu militer. Militer selama ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari umat. Karena hakikatnya, militer yang akan mengendalikan keamanan dan merekayasa sosial perubahan. Tentu cara yang digunakan dengan kedamaian dan tanpa penumpahan darah. Perubahan tidak meniru model di Mesir dengan kudeta. Karena militer saat ini di beberapa negara masih dikangkangi kepentingan asing. Begitu pula pasca penggulingan PM Thailand, AS akan mengurangi bantuan militer. Militer Mesir pun mendapat bantuan dari AS untuk menjaga kepentingan Israel. Bisa dipastikan jika kondisi militer seperti itu, perubahan kepada kemaslahatan umat tidak terwujud. Oleh karena itu, hendaknya militer diberikan pemahaman bahwa merekalah yang dapat menolong agama ini. Hal ini merupakan tanggung jawab mereka kepada Allah swt. Jangan sampai—sebagaimana perubahan yang dipimpin oleh militer selama ini—hanya dijadikan batu loncatan menjadi penguasa. Sementara ketika berkuasa mereka diktator dan mementingkan pribadi. Bukankah kepemimpinan Muamar Qadafi, Basar Al Ashad, Soeharto, Husni Mubarok bisa dijadikan pelajaran dan contoh? Ya mereka tidak lagi mengambil islam sebagai aturan bernegara. Karena mereka melayani kepentingan tuannya untuk melanggengkan demokrasi berkarakter merusak dan menjajah.
Maka pertanyaan bagi orang-orang berfikir, setelah demokrasi terkuak keboborokannya. Apakah masih terjadi perdebatan untuk memeperbaikinya? Sementara kerusakan demi kerusakan terus terjadi. Lantas sistem apa sebagai pengganti? Khilafahlah pilihan bagi semua! Tentunya bagi orang yang serius berfikir untuk kemaslahatan umat. Saatnya Khilafah menggantikan demokrasi! Saatnya militer yang ikhlas memberikan dukungan dan melindungi orang-orang yang berjuang menegakan Khilafah. Kubur demokrasi karena hakikatnya sudah mati. Wallahu a’lam bissawab. [www.al-khilafah.org]
0 Response to "Demokrasi Mati, Khilafah Jadi Solusi"
Posting Komentar