Islam dan Upaya Mewujudkan Generasi Emas
Oleh: Farhan Akbar Muttaqi
(Aktivis Kajian Islam Mahasiswa UPI Bandung)
Sebuah Negara, tentu membutuhkan SDM (sumber daya manusia) dengan karakter dan kualitas yang mumpuni. Karena dengan hal tersebut, proses pembangunan yang dilakukan Negara tak hanya berjalan, akan tetapi juga berkembang. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara pengembangan SDM dengan pembangunan Negara. Kualitas SDM yang baik, akan membuat Negara semakin baik. Demikian pula sebaliknya.
Berangkat dari kualitas SDM Indonesia yang hingga memasuki awal abad 21 masih dalam taraf yang sangat rendah, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkannya. Sebagaimana diketahui, berdasarkan data terakhir dalam HDI (Human Development Index), Indonesia masih menduduki peringkat 121 dunia dari sekitar 186 negara. Indonesia masih di bawah Negara seperti Suriname, Samoa atau Sri lanka (hdr.undp.org).
Meskipun demikian, optimisme tetap dibangun. Kemendikbud telah merancang sebuah grand design yang mencanangkan terwujudnya masa kebangkitan Indonesia yang disebut dengan Generasi Emas 2045. Dalam proyek tersebut, dicanangkan bahwa Indonesia yang kini terpuruk diharapkan mampu melejit menjadi bagian dari delapan Negara terbesar di jagad raya. (umk.ac.id,8/4/13)
Menyoal Upaya
Mencapai target besar, tentu membutuhkan upaya yang besar. Menetapkan target tanpa menata jalan untuk mewujudkannya, tentulah hanya akan membuat target tersebut berhenti sebatas target. Perlu ada upaya serius dan langkah yang tepat dalam meraihnya.
Berangkat dari target tersebut, Kemendikbud merintis langkahnya dengan merancang sekaligus menerapkan kurikulum baru yang dinamakan kurikulum 2013. Kurikulum tersebut hadir untuk menggantikan kurikulum lama yang dianggap kurang sesuai untuk mewujudkan proyek besar tersebut.Kurikulum 2013 dirancang untuk menguatkan pendidikan yang diharapkan mampu menghasilkan pribadi yang memiliki karakter positif, berbudaya kuat, dan juga kreatif.
Pendidikan karakter dapat dikatakan menjadi isu utama dalam kurikulum ini. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam tujuan kurikulum 2013, yakni mempersiapkan manusia Indonesia sehingga dapat menjadi pribadi dan warga Negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif dan afektif, serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Dalam aplikasinya, kurikulum ini tak lagi hanya bertumpu pada penilaian hasil. Lebih dari itu, meningkatkan perhatiannya pada penilaian proses peserta didik di dalam kelas. Sekolah yang di ujung tombaki oleh para guru, mesti mampu memantau sikap dan karakter siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Dengan demikian, siswa tak sekedar diukur prestasi akademiknya, tapi juga karakternya.
Lebih lanjut, Kemendikubud menyatakan bahwa pembuatan kurikulum 2013 menekankan penguatan kembali norma norma berbudaya seperti jujur, disiplin dan bertanggungjawab. Selain itu, juga nilai keilmuan dan kebangsaan (gelumbang.com,21/5/13).
Menyoal Pendidikan Karakter
Melihat konsepsi yang dibangun dalam Pendidikan Karakter yang hari ini berkembang, nampak bahwa pemaknaan karakter yang dibangun masih cenderung bertolak pada filsafat humanisme. Humanisme adalah aliran filsafat yang di antara idenya menekankan sebuah kepercayaan bahwa manusia memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengatur hidupnya sendiri.
Sementara itu, peran agama masih terlihat abu abu, bahkan terkesan hanya menjadi unsur simbolik belaka. Rujukan karakter positif masih mengacu pada budaya setempat atau nilai universal, bukan benar benar merujuk pada sumber Ilahiyah yang aplikatif dan praktis. Dengan kata lain, ukuran karakter yang digunakan masih identik dengan konsep sekularisme. Sikap sikap yang dianjurkan tak bertolak pada standar agama.
Sekularisme, menurut Taqiyuddin An-Nabhani (2012:50), adalah ide yang memisahkan agama dari kehidupan, baik individu maupun bernegara. Menurut sekularisme, agama tak diperkenankan menjadi standar nilai dan hukum dalam ranah publik manusia. Agama hanya dijadikan ajaran spiritual dan simbolik saja, yang dinafikan sebagai sumber hukum bagi manusia dalam praktik ekonomi, politik, sosial-budaya, dan sebagainya.
Padahal, An-Nabhani menambahkan, akal manusia memiliki kemampuan yang terbatas dan tak mampu untuk menetapkan standar baik dan buruknya sendiri. Bila manusia memaksakan diri untuk menetapkan aturan, maka yang akan terjadi adalah munculnya beragam perbedaan, perselisihan, pertentangan dan kekacuan yang tak kunjung usai.
Realitaspun menunjukkan, sekularisme yang berdiri beriringan dengan zaman renaisance dan menghegemoni selepas jatuhnya Negara Khilafah pada tahun 1924 ini justru menimbulkan banyak masalah pelik dalam kehidupan manusia. Moral manusia rusak dan jatuh menuju tingkat yang memprihatinkan. Industrialisasi dan cepatnya perkembangan teknologi tak dapat menjadi alasan untuk mengatakan bahwa sekularisme dan berbagai ide derivatnya berhasil. Karena kerusakan dan kejahatan yang ditimbulkannya jauh lebih banyak.
Maka dari itu, karakter yang dimaksud mutlak bertolak pada standar agama. Pertanyaannya, agama yang mana? Tentu saja agama yang haq, yang memiliki Tuhan yang juga haq, yakni agama islam yang berasal Allah Swt. Karena sesungguhnya Allah Swt sebagai pencipta manusia dan alam semesta adalah Dzat yang paling mengetahui hakikat manusia, dan karenanya paling berhak mengatur kehidupannya secara kaffah.
Khilafah; Mercusuar Generasi Emas
Upaya untuk membentuk kepribadian unggul secara kolektif, sesungguhnya tak bisa dilakukan secara parsial. Manusia harus dipandang secara utuh. Harus dipahami, manusia adalah makhluk yang berinteraksi dengan kehidupan, alam semesta dan beragam dinamikanya. Karena itu, upaya untuk membangun generasi unggul tak boleh terbatas hanya dalam tataran sistem pendidikan formal sebagaimana yang kini dilakukan.
Masih banyak unsur lain yang tak kalah berpengaruh dalam pembentukan kepribadian manusia. Secara ringkas, unsur itu termuat dalam tiga elemen. Yakni keluarga, masyarakat, dan Negara.
Pertama;Dalam Islam, keluarga adalah benteng utama kepribadian setiap anak manusia. Islam memerintahkan setiap Ibu untuk menjadi ummun wa rabbatul bayt. Orangtua adalah pendidik utama bagi anaknya. Ia tak boleh menelantarkan dan mengabaikan anaknya. Fungsi tersebut hari ini hilang akibat masalah ekonomi yang memaksa seorang Ibu banyak keluar rumah, dan akibat streorip negatif yang diberikan sebagian kelompok masyarakat terhadap status ibu rumah tangga. Hal ini mestilah dirubah dan diperbaiki.
Kedua: Dalam Islam, masyarakat memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial. Islam menekankan pentingnya amar ma’ruf nahyi munkar sebagai sarana untuk mendorong setiap manusia untuk berkepribadian baik, dan mencegah manusia untuk berbuat buruk. Fungsi ini bukan hanya tanggung jawab para guru atau ustadz, melainkan setiap manusia yang telah menjadikan Islam sebagai agamanya. Tanpa ada batasan usia. Selama Ia berilmu, maka Ia layak untuk melakukannya.
Ketiga; Dalam Islam, Negara memiliki fungsi yang sangat penting. Negara adalah pihak yang paling berwenang dalam melegislasi aturan bagi setiap aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini, Negara mesti menjadikan islam sebagai sumber dalam setiap legislasi yang dilakukannya.
Dalam konteks ini, Negara bisa menetapkan sistem pendidikan yang benar benar Islami untuk kemudian mengarahkan peserta didik untuk memiliki kepribadian Islam. Negara juga bisa menetapkan aturan untuk melarang setiap konten merusak generasi muda sebagaimana yang bermunculan di media, seperti televisi maupun internet. Negara juga bisa mengembalikan fungsi sumber daya alam yang kini banyak dinikmati asing untuk modal menyejahterakannya rakyatnya. Sehingga pendidikan formal bisa diberikan secara gratis, dan tak ada lagi ibu yang memaksakan diri untuk meninggalkan anak anaknya demi sesuap nasi. Tak hanya itu, Negara juga berwenang untuk memberikan berbagai sanksi yang berdasarkan hukum Islam, sehingga ada efek jera bagi para pelanggar aturan.
Sesungguhnya, solusi di atas bukanlah hal yang baru dalam khazanah islam. Islam pernah melahirkan generasi emas secara simultan berabad-abad lamanya tatkala Negara Khilafah masih tegak berdiri. Saat itu, bermunculan para ilmuwan yang tak hanya pintar, namun juga memiliki keluhuran budi pekerti yang begitu memukau. Bahkan terkait hal ini, Obama dalam pidatonya di Universitas Al Azhar sendiri mengakui, ”Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad, dan membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa. Inovasi dalam masyarakat Muslimlah yang mengembangkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya.”
Sayangnya, sejak tahun 1924 telah runtuh. Karenanya, adalah tugas kita bersama untuk mengembalikannya. Dengan demikian, generasi emas tersebut dapat terwujud kembali. []
(Aktivis Kajian Islam Mahasiswa UPI Bandung)
Sebuah Negara, tentu membutuhkan SDM (sumber daya manusia) dengan karakter dan kualitas yang mumpuni. Karena dengan hal tersebut, proses pembangunan yang dilakukan Negara tak hanya berjalan, akan tetapi juga berkembang. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara pengembangan SDM dengan pembangunan Negara. Kualitas SDM yang baik, akan membuat Negara semakin baik. Demikian pula sebaliknya.
Berangkat dari kualitas SDM Indonesia yang hingga memasuki awal abad 21 masih dalam taraf yang sangat rendah, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkannya. Sebagaimana diketahui, berdasarkan data terakhir dalam HDI (Human Development Index), Indonesia masih menduduki peringkat 121 dunia dari sekitar 186 negara. Indonesia masih di bawah Negara seperti Suriname, Samoa atau Sri lanka (hdr.undp.org).
Meskipun demikian, optimisme tetap dibangun. Kemendikbud telah merancang sebuah grand design yang mencanangkan terwujudnya masa kebangkitan Indonesia yang disebut dengan Generasi Emas 2045. Dalam proyek tersebut, dicanangkan bahwa Indonesia yang kini terpuruk diharapkan mampu melejit menjadi bagian dari delapan Negara terbesar di jagad raya. (umk.ac.id,8/4/13)
Menyoal Upaya
Mencapai target besar, tentu membutuhkan upaya yang besar. Menetapkan target tanpa menata jalan untuk mewujudkannya, tentulah hanya akan membuat target tersebut berhenti sebatas target. Perlu ada upaya serius dan langkah yang tepat dalam meraihnya.
Berangkat dari target tersebut, Kemendikbud merintis langkahnya dengan merancang sekaligus menerapkan kurikulum baru yang dinamakan kurikulum 2013. Kurikulum tersebut hadir untuk menggantikan kurikulum lama yang dianggap kurang sesuai untuk mewujudkan proyek besar tersebut.Kurikulum 2013 dirancang untuk menguatkan pendidikan yang diharapkan mampu menghasilkan pribadi yang memiliki karakter positif, berbudaya kuat, dan juga kreatif.
Pendidikan karakter dapat dikatakan menjadi isu utama dalam kurikulum ini. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam tujuan kurikulum 2013, yakni mempersiapkan manusia Indonesia sehingga dapat menjadi pribadi dan warga Negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif dan afektif, serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Dalam aplikasinya, kurikulum ini tak lagi hanya bertumpu pada penilaian hasil. Lebih dari itu, meningkatkan perhatiannya pada penilaian proses peserta didik di dalam kelas. Sekolah yang di ujung tombaki oleh para guru, mesti mampu memantau sikap dan karakter siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Dengan demikian, siswa tak sekedar diukur prestasi akademiknya, tapi juga karakternya.
Lebih lanjut, Kemendikubud menyatakan bahwa pembuatan kurikulum 2013 menekankan penguatan kembali norma norma berbudaya seperti jujur, disiplin dan bertanggungjawab. Selain itu, juga nilai keilmuan dan kebangsaan (gelumbang.com,21/5/13).
Menyoal Pendidikan Karakter
Melihat konsepsi yang dibangun dalam Pendidikan Karakter yang hari ini berkembang, nampak bahwa pemaknaan karakter yang dibangun masih cenderung bertolak pada filsafat humanisme. Humanisme adalah aliran filsafat yang di antara idenya menekankan sebuah kepercayaan bahwa manusia memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengatur hidupnya sendiri.
Sementara itu, peran agama masih terlihat abu abu, bahkan terkesan hanya menjadi unsur simbolik belaka. Rujukan karakter positif masih mengacu pada budaya setempat atau nilai universal, bukan benar benar merujuk pada sumber Ilahiyah yang aplikatif dan praktis. Dengan kata lain, ukuran karakter yang digunakan masih identik dengan konsep sekularisme. Sikap sikap yang dianjurkan tak bertolak pada standar agama.
Sekularisme, menurut Taqiyuddin An-Nabhani (2012:50), adalah ide yang memisahkan agama dari kehidupan, baik individu maupun bernegara. Menurut sekularisme, agama tak diperkenankan menjadi standar nilai dan hukum dalam ranah publik manusia. Agama hanya dijadikan ajaran spiritual dan simbolik saja, yang dinafikan sebagai sumber hukum bagi manusia dalam praktik ekonomi, politik, sosial-budaya, dan sebagainya.
Padahal, An-Nabhani menambahkan, akal manusia memiliki kemampuan yang terbatas dan tak mampu untuk menetapkan standar baik dan buruknya sendiri. Bila manusia memaksakan diri untuk menetapkan aturan, maka yang akan terjadi adalah munculnya beragam perbedaan, perselisihan, pertentangan dan kekacuan yang tak kunjung usai.
Realitaspun menunjukkan, sekularisme yang berdiri beriringan dengan zaman renaisance dan menghegemoni selepas jatuhnya Negara Khilafah pada tahun 1924 ini justru menimbulkan banyak masalah pelik dalam kehidupan manusia. Moral manusia rusak dan jatuh menuju tingkat yang memprihatinkan. Industrialisasi dan cepatnya perkembangan teknologi tak dapat menjadi alasan untuk mengatakan bahwa sekularisme dan berbagai ide derivatnya berhasil. Karena kerusakan dan kejahatan yang ditimbulkannya jauh lebih banyak.
Maka dari itu, karakter yang dimaksud mutlak bertolak pada standar agama. Pertanyaannya, agama yang mana? Tentu saja agama yang haq, yang memiliki Tuhan yang juga haq, yakni agama islam yang berasal Allah Swt. Karena sesungguhnya Allah Swt sebagai pencipta manusia dan alam semesta adalah Dzat yang paling mengetahui hakikat manusia, dan karenanya paling berhak mengatur kehidupannya secara kaffah.
Khilafah; Mercusuar Generasi Emas
Upaya untuk membentuk kepribadian unggul secara kolektif, sesungguhnya tak bisa dilakukan secara parsial. Manusia harus dipandang secara utuh. Harus dipahami, manusia adalah makhluk yang berinteraksi dengan kehidupan, alam semesta dan beragam dinamikanya. Karena itu, upaya untuk membangun generasi unggul tak boleh terbatas hanya dalam tataran sistem pendidikan formal sebagaimana yang kini dilakukan.
Masih banyak unsur lain yang tak kalah berpengaruh dalam pembentukan kepribadian manusia. Secara ringkas, unsur itu termuat dalam tiga elemen. Yakni keluarga, masyarakat, dan Negara.
Pertama;Dalam Islam, keluarga adalah benteng utama kepribadian setiap anak manusia. Islam memerintahkan setiap Ibu untuk menjadi ummun wa rabbatul bayt. Orangtua adalah pendidik utama bagi anaknya. Ia tak boleh menelantarkan dan mengabaikan anaknya. Fungsi tersebut hari ini hilang akibat masalah ekonomi yang memaksa seorang Ibu banyak keluar rumah, dan akibat streorip negatif yang diberikan sebagian kelompok masyarakat terhadap status ibu rumah tangga. Hal ini mestilah dirubah dan diperbaiki.
Kedua: Dalam Islam, masyarakat memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial. Islam menekankan pentingnya amar ma’ruf nahyi munkar sebagai sarana untuk mendorong setiap manusia untuk berkepribadian baik, dan mencegah manusia untuk berbuat buruk. Fungsi ini bukan hanya tanggung jawab para guru atau ustadz, melainkan setiap manusia yang telah menjadikan Islam sebagai agamanya. Tanpa ada batasan usia. Selama Ia berilmu, maka Ia layak untuk melakukannya.
Ketiga; Dalam Islam, Negara memiliki fungsi yang sangat penting. Negara adalah pihak yang paling berwenang dalam melegislasi aturan bagi setiap aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini, Negara mesti menjadikan islam sebagai sumber dalam setiap legislasi yang dilakukannya.
Dalam konteks ini, Negara bisa menetapkan sistem pendidikan yang benar benar Islami untuk kemudian mengarahkan peserta didik untuk memiliki kepribadian Islam. Negara juga bisa menetapkan aturan untuk melarang setiap konten merusak generasi muda sebagaimana yang bermunculan di media, seperti televisi maupun internet. Negara juga bisa mengembalikan fungsi sumber daya alam yang kini banyak dinikmati asing untuk modal menyejahterakannya rakyatnya. Sehingga pendidikan formal bisa diberikan secara gratis, dan tak ada lagi ibu yang memaksakan diri untuk meninggalkan anak anaknya demi sesuap nasi. Tak hanya itu, Negara juga berwenang untuk memberikan berbagai sanksi yang berdasarkan hukum Islam, sehingga ada efek jera bagi para pelanggar aturan.
Sesungguhnya, solusi di atas bukanlah hal yang baru dalam khazanah islam. Islam pernah melahirkan generasi emas secara simultan berabad-abad lamanya tatkala Negara Khilafah masih tegak berdiri. Saat itu, bermunculan para ilmuwan yang tak hanya pintar, namun juga memiliki keluhuran budi pekerti yang begitu memukau. Bahkan terkait hal ini, Obama dalam pidatonya di Universitas Al Azhar sendiri mengakui, ”Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad, dan membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa. Inovasi dalam masyarakat Muslimlah yang mengembangkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya.”
Sayangnya, sejak tahun 1924 telah runtuh. Karenanya, adalah tugas kita bersama untuk mengembalikannya. Dengan demikian, generasi emas tersebut dapat terwujud kembali. []
0 Response to "Islam dan Upaya Mewujudkan Generasi Emas"
Posting Komentar