Soal Jawab: Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan
بسم الله الرحمن الرحيم
Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir terhadap Pertanyaan di Akun Facebook Beliau
Jawaban Pertanyaan Seputar Pakaian Syar’iy untuk Perempuan
Kepada Hassan Ali Ali
Pertanyaan:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Pertanyaan saya tentang hijab, apakah merupakan kewajiban, disertai dalil, atau dahulunya adat kebiasaaan dan diwajibkan untuk membedakan wanita merdeka dari hamba sahaya. (( jadi hijab pada asalnya adalah tasyri’ yang memiliki kandungan bersifat kelas yang tujuannya membedakan wanita merdeka dari hamba sahaya. Dan inilah yang dipahami oleh sahabat. Sebab dahulu Umar bin al-Khaththab (berkeliling di Madinah, maka ketika ia melihat hamba sahaya berhijab maka Umar memukulnya dengan cemetinya yang terkenal sehingga hijab pun jatuh dari kepala hamba sahaya itu, dan Umar berkata: “kenapa hamba sahaya menyerupai wanita merdeka?” Di akhir saya ingin katakan, pada zaman dimana tidak ada tetangga atau hamba sahaya, dan segala puji hanya bagi Allah, dan sebab diulurkannya jilbab telah gugur. Tidak ada sesuatu di dalam al-Quran dan as-Sunnah yang mengatakan bahwa hijab adalah fardhu karena jilbab itu menghalangi fitnah atau untuk menjaga kesucian diri. Orang yang mengatakan ini maka dia berdosa dan telah membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Perempuan yang mengenakan hijab disebabkan itu adalah bagian dari adat kebiasaan kaumnya atau masyarakatnya, mka ia tidak melakukan kesalahan, selama ia memahami bahwa memakai hijab bukan merupakan kewajiban dari Allah SWT… Akan tetapi perempuan yang mengenakan hijab dan menyerukannya dengan keyakinan bahwa Allah SWT telah memerintahkannya, tidak lain ia melakukan dosa besar sebab menyekutukan dalah hal hukum Allah dengan manusia yang mewajibkan undang-undang yang tidak didatangkan oleh Allah dan tidak pula oleh Rasul-Nya yang mulia, dan ia tersesat dari risalah al-Quran dan jalan yang lurus. Hijab bukan merupakan kewajiban islami akan tetapi merupakan adat kebiasaan kemasyarakatan yang ada sebelum Islam dan tidak ada hubunganya dengan agama-agama sama sekali. Dan diantara perkara paling berbahaya adalah mencampuradukkan antara adat kebiasaan dan ajaran-ajaran dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT di dalam kitab-Nya yang mulia sebab klaim bahwa suatu adat kebiasaan adalah berasal dari Allah adalah klaim dusta yang menyerupai kesyirikan kepada Allah dan kedustaan terhadap Allah azza wa jalla.))
Saya mohon komentar Anda terhadap ucapan ini. Semoga Allah memberikan keberkahan kepada Anda dan juga memberi petunjuk kepada kami dan Anda.
Jawab:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Pakaian syar’iy untuk perempuan itu dalil-dalil syara’nya jelas dan gamblang. Pakaian perempuan itu bukan dari sisi adat kebiasaan, sehingga jika masyarakat terbiasa dengannya maka dipakai, dan jika masyarakat tidak terbiasa dengannya maka tidak ada. Akan tetapi pakaian perempuan itu adalah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap perempuan:
Syara’ telah mewajibkan pakaian syar’iy tertentu kepada perempuan ketika keluar dari rumahnya ke kehidupan umum. Syara’ telah mewajibkan atas perempuan agar memiliki pakaian yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar ke pasar, atau berjalan di jalan umum. Syara’ mewajibkan atas perempuan agar ada jilbab, dengan maknanya yang syar’iy, yang ia kenakan di atas pakaiannya dan ia ulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Dan jika ia tidak memiliki jilbab, hendaknya ia meminjam jilbab dari tetangganya atau temannya atau kerabatnya. Jika ia tidak bisa meminjam atau tidak seorang pun meminjaminya maka ia tidak sah keluar tanpa mengenakan jilbab. Dan jika ia keluar tanpa mengenakan jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya maka ia berdosa, sebab ia meninggalkan kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah terhadapnya. Ini dari sisi pakaian bawah bagi perempuan. Sedangkan dari sisi pakaian atas maka ia harus mengenakan kerudung, atau yang menyerupai atau menduduki posisinya berupa pakaian yang menutupi seluruh kepala, seluruh leher dan bukaan pakaian di dada. Dan ini hendaknya disiapkan untuk keluar ke pasar, atau berjalan di jalan umum, artinya pakaian kehidupan umum dari atas. Jika ia memiliki kedua pakaian ini, ia boleh keluar dari rumahnya ke pasar atau berjalan di jalan umum, yakni keluar ke kehidupan umum. Jika ia tidak memiliki kedua pakaian ini, ia tidak sah untuk keluar, apapun keadaannya. Sebab perintah dengan kedua pakaian ini datang bersifat umum dan ia tetap berlaku umum dalam semua kondisi sebab tidak ada dalil yang mengkhususkannya sama sekali.
Adapun dalil atas wajibnya kedua pakaian untuk kehidupan umum tersebut, adalah firman Allah SWT tentang pakaian dari atas:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (TQS an-Nur [24]: 31)
dan firman Allah SWT tentang pakaian bawah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)
Dan apa yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah bahwa ia berkata:
«أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، اَلْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَا الْحَيّضُ فَيَعْتَزلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ، وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا»
Rasulullah saw memerintahkan kami untuk mengeluarkan para perempuan di hari Idul Fitri dan Idul Adhha, para perempuan yang punya halangan, perempaun yang sedang haidh dan gadis-gadis yang dipingit. Adapun perempuan yang sedang haidh, mereka memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum Muslimin. Aku katakan: ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab. Rasul saw menjawab: “hendaknya saudaranya meminjaminya jilbab miliknya”. (HR Muslim)
Dalil-dalil ini jelas dalam dalalahnya atas pakaian perempuan di kehidupan umum. Jadi dalam dua ayat ini, Allah SWT telah mendeskripsikan pakaian yang Allah wajibkan atas perempuan agar ia kenakan di kehidupan umum dengan deskripsi yang dalam, sempurna dan menyeluruh. Allah SWT berfirman tentang pakaian perempuan dari atas:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (TQS an-Nur [24]: 31)
Yakni hendaknya mereka mengulurkan penutup kepala mereka di atas leher dan dada mereka, untuk menutupi apa yang tampak dari bukaan baju, dan bukaan baju dari leher dan dada. Dan Allah berfirman terkait pakaian perempuan dari bawah:
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)
Yakni hendaknya mereka menjulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka yang mereka kenakan di atas pakaian untuk keluar, hendaknya mereka julurkan ke bawah. Allah berfirman tentang tatacara umum yang berlaku atas pakaian ini:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. (TQS an-Nur [24]: 31)
Yakni hendaknya mereka tidak menampakkan anggota-anggota tubuh yang merupakan tempat perhiasan seperti kedua telinga, kedua lengan bawah, kedua betis dan selainnya kecuali apa yang bisa nampak di kehidupan umum ketika ayat ini turun, yakni pada masa Rasul saw, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Dan dengan deskripsi yang mendalam ini maka menjadi jelas sejelas-sejelasnya, apa pakaian perempuan di kehidupan umum dan apa yang wajib atas pakaian itu. Dan datang hadits Ummu ‘Athiiyah menjelaskan secara gamblang wajibnya perempuan memiliki jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar. Sebab Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah saw: “salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab”. Lalu Rasul saw menjawab: “hendaknya saudaranya meminjaminya dari jilbab punyanya”. Artinya ketika Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasul: jika ia tidak memiliki jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya untuk keluar, lalu Rasul saw memerintahkan agar saudarinya meminjaminya jilbab punyanya. Dan maknanya bahwa jika ia tidak dipinjami maka tidak sah/tidak boleh untuknya keluar. Dan ini adalah qarinah (indikasi) bahwa perintah dalam hadits ini adalah untuk menyatakan wajib. Artinya wajib perempuan mengenakan jilbab di atas pakaiannya jika ia ingin keluar. Dan jika ia tidak mengenakan jilbab maka ia tidak (boleh) keluar.
Dan dalam hal jilbab disyaratkan agar dijulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Sebab Allah SWT berfirman dalam ayat tersebut:
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzab [33]: 59)
Yakni hendaknya mereka menjulurkan jilbab mereka. Sebab kata “min” di sini bukan li at-tab’îdh (menyatakan sebagian) akan tetapi li al-bayân (untuk penjelasan). Artinya, hendaknya mereka menjulurkan jilbab hingga ke bawah. Dan karena diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasul saw bersabda:
«مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ»
“Siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak memandangnya pada Hari Kiamat”. Lalu Ummu Salamah berkata: “lalu bagaimana perempuan memperlakukan ujung pakaiannya”. Rasul menjawab: “hendaknya mereka menjulurkannya sejengkal”. Ummu Salamah berkata: “kalau begitu tersingkap kedua kaki mereka”. Rasulullah pun menjawab: “maka hendaknya mereka menjulurkannya sehasta, jangan mereka lebihkan atasnya”. (HR at-Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih)
Jadi hadits ini gamblang bahwa jilbab yang dikenakan di atas pakaian itu wajib dijulurkan ke bawah sampai menutupi kedua kaki. Jika kedua kaki ditutupi dengan sepatu atau kaos kaki, maka yang demikian itu belum cukup untuk tidak menjulur jilbab itu ke bawah hingga kedua kaki dalam bentuk yang menunjukkan adanya irkha’ (dijulurkan). Dan tidak harus jilbab itu menutupi kedua kaki dan kedua kaki itu tertutup. Akan tetapi disitu harus ada irkha’, yakni jilbab itu harus menjulur ke bawah hingga kedua kaki secara nyata yang darinya diketahui bahwa itu adalah pakaian kehidupan umum yang wajib dikenakan perempuan di kehidupan umum, dan di dalamnya tampak irkha’ yakni terpenuhi di dalamnya firman Allah: “yudnîna” yakni yurkhîna (hendaknya mereka menjulurkan).
Dan seperti yang Anda lihat, pakaian perempuan itu merupakan pakaian yang sudah dibatasi dengan pembatasan yang jelas dengan nas-nas yang gamblang (sharih) tidak ada kerancuan dan keraguan dalam dalalahnya sehingga Rasulullah saw ketika ditanya oleh Ummu ‘Athiyah tentang keluar jika perempuan tidak punya jilbab maka Rasulullah saw menjawabnya agar perempuan itu meminjam jilbab dari tetangganya atau ia tidak keluar. Dan ini adalah dalalah yang kuat yang menunjukkan wajibnya pakaian ini sebagai kewajiban syar’iy.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
1 Muharram 1435
4 November 2013
0 Response to "Pakaian Syar’i untuk Muslimah Seperti Apa?"
Posting Komentar