Demokrasi modern sekarang ini, kemunculannya dijadikan solusi atas problem dan penindasan akibat sistem monarkhi yang berlaku di Eropa. Raja atau kaesar dianggap sebagai wakil tuhan. Semua jenis kekuasaan ada di tangannya baik kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan yudikatif. Jadi kekuasaan raja atau kaesar bersifat absolut. Dia berada di atas hukum dan tidak ada yang bisa mengontrol atau mengoreksinya. Kekuasaan absolut itu akhirnya menjadi korup dan menindas.
Untuk itulah digagas sistem demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan sumber kekuasaan. Sebagai pemilik kedaulatan, rakyatlah yang berhak membuat hukum dan undang-undang. Karena rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, maka dibuatlah sistem perwakilan di mana rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat untuk menjalankan kekuasaan legislatif membuat hukum dan undang-undangan. Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif.
Sebagai sumber kekuasaan, rakyatlah yang memilih penguasa dan melimpahkan kekuasaan eksekutif kepadanya untuk menjalankan sistem, hukum, dan undang-undang buatan rakyat dan mengurus kehidupan rakyat. Hanya orang yang dipilih dan mendapat pelimpahan kekuasaan dari rakyat saja yang bisa menjadi penguasa. Semua praktek itu dilakukan melalui pemilu, baik untuk memilih kepada negara atau penguasa daerah.
Demokrasi Bertentangan dengan Islam
Demokrasi tak jarang disederhanakan sebagai pemilu atau pemilihan penguasa oleh rakyat. Karena itu, demokrasi dianggap sejalan dengan Islam, sebab Islam menentukan bahwa penguasa dipilih oleh rakyat. Namun demokrasi yang hakiki itu bukan hanya pemilu atau pemilihan penguasa. Demokrasi yang hakiki memiliki dua pilar. Pilar pertama, kedaulatan rakyat, artinya rakyatlah yang berhak membuat hukum dan undang-undang yang digunakan negara dan pemerintah untuk mengurus rakyat. Pilar kedua, rakyat pemilik dan sumber kekuasaan. Artinya, rakyatlah yang memiliki hak memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya dan memberhentikannya. Tanpa kedua pilar ini sekaligus, demokrasi tidak ada.
Mengenai pilar pertama yakni kedaulatan rakyat, demokrasi jelas bertentangan dengan Islam. Kedaulatan adalah hak membuat hukum. Itu artinya rakyatlah yang berhak menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh; memisahkan mana kebaikan dan mana keburukan, mana yang makruf dan mana yang mungkar, perbuatan mana yang terpuji dan mana yang tercela; dan mana yang halal dan yang haram. Sementara, dalam Islam semua itu adalah milik Allah saja, yakni milik syara’. Allah SWT berfirman:
] إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ [
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (TQS al-An’am [6]: 57)
Menyerahkan kedaulatan kepada rakyat, yakni kepada manusia,artinya menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia. Sementara Allah SWT justru memerintahkan untuk mengikuti hukum Allah tanpa mengikuti hawa nafsu manusia.
] وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ ...[
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (TQS al-Maidah [5]: 49)
Fakta riil kehidupan demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia, telah melahirkan berbagai kerusakan baik pada alam, manusia, maupun kehidupan itu sendiri. Allah SWT sudah menegaskan kepada kita bahwa mengikuti hawa nafsu manusia itu menjadi sumber kerusakan.
] وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ [
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. (TQS al-Mu’minun [23]: 71)
Selain menjadi sumber kerusakan, mengikuti hawa nafsu manusia, sebagaimana dalam demokrasi, juga tidak bisa mengantarkan pada tujuan mulia yang ingin dicapai setiap manusia. Sebab, Allah SWT menegaskan bahwa mengikuti hawa nafsu manusia merupakan jalan yang paling sesat.
] وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ [
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. (TQS al-Qashshash [28]:50).
Menyerahkan penentuan hukum yaitu halal dan haram kepada manusia, sama artinya merampas hak Allah dan membuat-buat kebohongan terhadap Allah. Hal itu akan melahirkan banyak kesusahan, sebab perilaku itu merupakan pangkal ketidakberuntungan.
] وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ [
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (TQS an-Nahl [16]: 116)
Demokrasi adalah menyerahkan hukum kepada rakyat di mana tolok ukurnya adalah suara mayoritas. Di mana ada suara mayoritas, di situ dianggap ada kebenaran. Sedangkan dalam Islam, kebenaran itu diputuskan oleh nas-nas syara’, bukan oleh jumlah suara atau kebanyakan manusia. Bahkan kadang kala kebanyakan manusia bersepakat atas kebatilan. Allah SWT berfirman:
] وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ [
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (TQS al-An’am [6]: 116)
Dari semua itu, jelaslah bahwa demokrasi bertentangan secara total dengan Islam. Ini tentang pilar pertama demokrasi yaitu kedaulatan rakyat. Adapun pilar kedua, kekuasaan milik rakyat, memang dalam Islam, kekuasaan dimiliki oleh rakyat. Rakyatlah yang berhak memilih penguasa dan melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dipilih rakyat sebagai penguasa itu. Meski secara global tampak sama, namun dalam filosofi dan rincian prakteknya, demokrasi berbeda, bahkan bertentangan dengan Islam.
Dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum yang dibuat oleh rakyat. Sementara dalam Islam, rakyat memilih penguasa untuk menerapkan hukum-hukum syara’. Sebab Islam memerintahkan kita semua untuk berhukum dan memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut hukum syara’ (QS al-Maidah [5]: 48, 49). Islam mengaitkan aktifitas menjadikan Rasul saw sebagai pemutus perkara yang terjadi di tengah manusia yaitu artinya berhukum kepada syara’ sebagai bukti keimanan (QS an-Nisa [4]: 65). Bahkan Allah SWT menetapkan siapa saja yang memutuskan perkara dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut selain hukum syara’ sebagai orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), fasik (QS al-Maidah [5]: 47), bahkan (QS al-Maidah [5]: 44). Karena itu, Allah menegaskan bahwa tidak ada pilihan bagi orang-orang yang beriman, kecuali tunduk kepada keputusan yakni hukum yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا﴾
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS al-Ahzab [33]: 36)
Semua itu menegaskan bahwa dalam Islam, penguasa dipilih oleh rakyat tidak lain adalah untuk menerapkan dan menjalankan hukum syara’, bukan hukum positif buatan manusia seperti dalam demokrasi. Jelas dalam filosofi pelaksanaan pilar kekuasaan milik rakyat ini, demokrasi bertentangan dengan Islam.
Sementara dalam rincian prakteknya, dalam demokrasi pelimpahan kekuasaan kepada penguasa dilakukan menurut teori kontrak sosial, sementara dalam Islam dilakukan melalui akad baiat dari rakyat kepada penguasa. Dalam demokrasi, penguasa “bekerja” kepada rakyat sehingga diberi gaji. Sedangkan dalam Islam, penguasa “mewakili” rakyat mengimplementasikan hukum syara’, dan kepadanya tidak diberi gaji melainkan tunjangan untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya secara makruf; sebab penguasa tersebut telah memberikan seluruh waktunya untuk mengurus rakyat.
Wahai Kaum Muslimin
Penjelasan singkat di atas sudah cukup bagi orang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah saw serta yakin kepada hari akhirat untuk mengetahui bahwa demokrasi bertentangan dengan Islam yang dianut dan diyakininya. Juga nyatalah bahwa demokrasi itu merupakan perampasan atas hak Allah, jalan paling sesat, menjadi biang kerusakan, dan pangkal ketidakberuntungan. Karena itu, demokrasi yang merupakan sistem dan hukum jahiliyah itu harus dicampakkan. Allah SWT berfirman:
﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِيَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50)
Wallâh a’lam bi ash-shawab. []
Komentar:
Partisipasi rakyat dalam pilkada kini cenderung menurun (lihat, Kompas, 28/5)
1. Hal itu karena tidak ada bukti yang sahih, bahwa pemilu bisa mengubah nasib rakyat. Juga, karena partai maupun calon-calon pemimpin yang tampil sebagai representasi rakyat sudah jatuh di mata rakyat, baik karena korupsi dan moral hazard yang lainnya.
2. Ini tambahan bukti bahwa demokrasi hanya memberi harapan kosong. Saatnya tinggalkan dan campakkan demokrasi.
0 Response to "Demokrasi Bertentangan dengan Islam, Harus Dicampakkan!"
Posting Komentar