Inilah Realitas #Demokrasi. 1 April, Tarif #Listrik Kembali Naik
JAKARTA, KOMPAS.com - PT PLN berencana menaikkan kembali tarif tenaga listrik sebesar 4,3 persen per 1 April 2013. Hal ini sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik secara bertahap sepanjang tahun ini demi menekan subsidi listrik.
Direktur Utama PT PLN Nur Pamudji menyampaikan hal itu seusai menghadiri seminar bertema ”Gas untuk Energi Masa Depan” yang diprakarsai Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR, Rabu (27/3/2013), di Gedung DPR, Jakarta.
Menurut Nur Pamudji, per 1 April 2013, PLN akan menaikkan lagi tarif listrik 4,3 persen untuk semua golongan pelanggan, kecuali kelompok pelanggan 450 volt ampere (VA) dan 900 VA. Hal ini sesuai dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik rata-rata 15 persen secara bertahap per triwulan pada tahun ini. Sebelumnya PLN telah menaikkan tarif listrik 4,3 persen pada 1 Januari lalu.
*****
Mengapa pemerintah berulang kali melakukan kebijakan yang tidak melayani ini?
Seperti yang sudah-sudah, beban subsidi adalah alasan yang dikemukakan pemerintah mengapa diterapkan kebijakan kenaikkan TDL. Bila dicermati lebih dalam, apa yang dikemukakan pemerintah tersebut, tak lain dan tak bukan merupakan manifestasi dari prinsip berfikir sekuler kapitalistik. Prinsip berfikir ini kemudian dijadikan landasan berfikir dan berkebijakan dalam pengelolaan energi. Yakni prinsip bahwa harta milik umum, khususnya listrik harus dikomersialkan sekalipun kepada masyarakat. Demikianlah yang dicanangkan GATS (General Agreemant Trade and Services).
Lebih jauh lagi, sebelum kebijakan kenaikan TDL, prinsip kapitalisme/liberalisme dalam pengelolaan listrik telah diterapkan pemerintah melalui kebijakan unbundling (pemecahan) PLN baik secara vertikal (pembangkit sampai dengan ritail) maupun horizontal (berdasarkan geografis), sehingga korporasi leluasa memperdagangkan hajat hidup masyarakat yang satu ini dari hulu (pembangkit) sampai ke hilir (ritail). Hal inilah yang ditengarai menjadi pemicu besarnya biaya produksi listrik.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan serupa dalam berbagai sektor lainnya. Dalam sektor migas dan batu bara, misalnya, mengakibatkan PLN harus membeli BBM dengan harga mahal. Di samping itu, sekalipun sudah nyata bahwa penggunaan gas nyata-nyata menjadikan biaya produksi listrik jauh lebih murah, namun di tengah kelimpahan potensi sumber daya gas, pemerintah lebih mengutamakan kemauan korporasi. Yaitu mengekspor gas bumi ke China selama bertahun-tahun yang dipatok dengan harga hanya US$ 4 per mmbtu (million metric british thermal unit) dan ke Malaysia 3-6,5 dolar AS per mmbtu, sementara harga jual gas di dalam negeri sekarang sebesar US$ 6-10 per mmbtu, itupun dengan pasokan yang terbatas.
Hanya saja penting disadari, pengelolaan energi yang berorientasi melayani kepentingan korporasi tersebut adalah niscaya dalam sistem politik demokrasi. Karena sistem politik ini sesungguhnya terpancar dari ideologi sekuleris kapitalistik itu sendiri. Dimana kewenangan membuat aturan kehidupan, dalam hal ini pengelolaan layanan energi diserahkan pada hawa nafsu manusia, ini di satu sisi. Di sisi lain, secara langsung maupun tidak langsung (melalui LSM seperti USAID, lembaga internasional seperti Bank dunia) korporasi adalah pihak yang memiliki kontribusi besar, khususnya dana dalam pembuatan aturan tersebut.
Akibatnya, kentingan korporasi menempati kedudukan istimewa dalam aturan-aturan tersebut. Negara sah-sah saja memperdagangkan hajat hidup masyarakat, bahkan ini dinilai penting. Dikarenakan dalam angan-angannya,komersialisasi akan mewujudkan atmosfir kinerja positif dan kreatif , padahal yang terjadi justru sebaliknya. Terkait pengelolaan ketenagalistrikan, kebijakan liberal kapitalistik tersebut telah dilegalkan oleh UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.
Celakanya lagi, sistem politik demokrasi yang menjadi kekuasaan sebagai objek bisnis dan biaya politik yang mahal, telah menciptakan iklim kerakusan dan arogansi di kalangan penguasa dan aparatnya. Tidak heran bila penguasa dan aparatnya sulit berempati terhadap penderitaan masyarakat. Disamping itu yang tak kalah bermasalah lagi adalah kompetensi kepemimpinan yang dimiliki. Kondisi ini diperburuk oleh hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akibatnya, korupsi terus merajalela, inefisiensi kerja terus berlangsung di tubuh PLN. Inilah realitas demokrasi. Masihkah berharap pada demokrasi? [] (Lajnah Mashlahiyyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
JAKARTA, KOMPAS.com - PT PLN berencana menaikkan kembali tarif tenaga listrik sebesar 4,3 persen per 1 April 2013. Hal ini sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik secara bertahap sepanjang tahun ini demi menekan subsidi listrik.
Direktur Utama PT PLN Nur Pamudji menyampaikan hal itu seusai menghadiri seminar bertema ”Gas untuk Energi Masa Depan” yang diprakarsai Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR, Rabu (27/3/2013), di Gedung DPR, Jakarta.
Menurut Nur Pamudji, per 1 April 2013, PLN akan menaikkan lagi tarif listrik 4,3 persen untuk semua golongan pelanggan, kecuali kelompok pelanggan 450 volt ampere (VA) dan 900 VA. Hal ini sesuai dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik rata-rata 15 persen secara bertahap per triwulan pada tahun ini. Sebelumnya PLN telah menaikkan tarif listrik 4,3 persen pada 1 Januari lalu.
*****
Mengapa pemerintah berulang kali melakukan kebijakan yang tidak melayani ini?
Seperti yang sudah-sudah, beban subsidi adalah alasan yang dikemukakan pemerintah mengapa diterapkan kebijakan kenaikkan TDL. Bila dicermati lebih dalam, apa yang dikemukakan pemerintah tersebut, tak lain dan tak bukan merupakan manifestasi dari prinsip berfikir sekuler kapitalistik. Prinsip berfikir ini kemudian dijadikan landasan berfikir dan berkebijakan dalam pengelolaan energi. Yakni prinsip bahwa harta milik umum, khususnya listrik harus dikomersialkan sekalipun kepada masyarakat. Demikianlah yang dicanangkan GATS (General Agreemant Trade and Services).
Lebih jauh lagi, sebelum kebijakan kenaikan TDL, prinsip kapitalisme/liberalisme dalam pengelolaan listrik telah diterapkan pemerintah melalui kebijakan unbundling (pemecahan) PLN baik secara vertikal (pembangkit sampai dengan ritail) maupun horizontal (berdasarkan geografis), sehingga korporasi leluasa memperdagangkan hajat hidup masyarakat yang satu ini dari hulu (pembangkit) sampai ke hilir (ritail). Hal inilah yang ditengarai menjadi pemicu besarnya biaya produksi listrik.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan serupa dalam berbagai sektor lainnya. Dalam sektor migas dan batu bara, misalnya, mengakibatkan PLN harus membeli BBM dengan harga mahal. Di samping itu, sekalipun sudah nyata bahwa penggunaan gas nyata-nyata menjadikan biaya produksi listrik jauh lebih murah, namun di tengah kelimpahan potensi sumber daya gas, pemerintah lebih mengutamakan kemauan korporasi. Yaitu mengekspor gas bumi ke China selama bertahun-tahun yang dipatok dengan harga hanya US$ 4 per mmbtu (million metric british thermal unit) dan ke Malaysia 3-6,5 dolar AS per mmbtu, sementara harga jual gas di dalam negeri sekarang sebesar US$ 6-10 per mmbtu, itupun dengan pasokan yang terbatas.
Hanya saja penting disadari, pengelolaan energi yang berorientasi melayani kepentingan korporasi tersebut adalah niscaya dalam sistem politik demokrasi. Karena sistem politik ini sesungguhnya terpancar dari ideologi sekuleris kapitalistik itu sendiri. Dimana kewenangan membuat aturan kehidupan, dalam hal ini pengelolaan layanan energi diserahkan pada hawa nafsu manusia, ini di satu sisi. Di sisi lain, secara langsung maupun tidak langsung (melalui LSM seperti USAID, lembaga internasional seperti Bank dunia) korporasi adalah pihak yang memiliki kontribusi besar, khususnya dana dalam pembuatan aturan tersebut.
Akibatnya, kentingan korporasi menempati kedudukan istimewa dalam aturan-aturan tersebut. Negara sah-sah saja memperdagangkan hajat hidup masyarakat, bahkan ini dinilai penting. Dikarenakan dalam angan-angannya,komersialisasi akan mewujudkan atmosfir kinerja positif dan kreatif , padahal yang terjadi justru sebaliknya. Terkait pengelolaan ketenagalistrikan, kebijakan liberal kapitalistik tersebut telah dilegalkan oleh UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.
Celakanya lagi, sistem politik demokrasi yang menjadi kekuasaan sebagai objek bisnis dan biaya politik yang mahal, telah menciptakan iklim kerakusan dan arogansi di kalangan penguasa dan aparatnya. Tidak heran bila penguasa dan aparatnya sulit berempati terhadap penderitaan masyarakat. Disamping itu yang tak kalah bermasalah lagi adalah kompetensi kepemimpinan yang dimiliki. Kondisi ini diperburuk oleh hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akibatnya, korupsi terus merajalela, inefisiensi kerja terus berlangsung di tubuh PLN. Inilah realitas demokrasi. Masihkah berharap pada demokrasi? [] (Lajnah Mashlahiyyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
0 Response to "1 April Tarif Listrik Naik, Bukti Penguasa adalah Penghianat"
Posting Komentar