Banjir awal tahun di Ibu Kota Negara Jakarta kali ini sudah cukup membuat repot seluruh warganya. Banjir bahkan menerjang tempat-tempat penting di Jakarta. Mulai dari jalan-jalan protokol hingga pusat pemerintahan negara. Mulai dari rumah biasa hingga rumah mewah.
Hal ini tentu harus dipandang secara positif dengan dasar keimanan, bukan sekedar mencela apalagi menyalahkan.
Langkah efektif yang harus dilakukan oleh seluruh umat Islam saat ini adalah membantu korban, kemudian merencakan kembali kesiapan kita agar banjir itu tidak kembali terjadi. Tentu tidak cukup hanya dengan regulasi dan peralatan semata. Namun dibutuhkan cara pandang baru, cara berpikir berperilaku, kesadaran dan partisipasi setiap kaum Muslim, khususnya di Jakarta.
Bukan Salah Hujan
Sebagian sering berasumsi bahwa penyebab banjir awal tahun ini karena curah hujan tinggi melanda kawasan Jabodetabek. Tetapi faktanya tidak. Seperti dilaporkan oleh tempo.co. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan curah hujan harian tertinggi di Jakarta pada Selasa dan Rabu pagi hanya sekitar 100 milimeter.
Angka itu jauh lebih rendah dibanding rekor curah hujan tertinggi dalam satu hari yang terjadi pada Januari 2007 yang mencapai 340 milimeter. Curah hujan sepanjang Januari ini yang diprediksi 300-400 mm juga dianggap masih normal.
Curah hujan di kawasan Puncak juga lebih rendah dibandingkan lima tahun lalu. Pada 2007 lalu, curah hujan selama sebulan di kawasan Puncak bahkan bisa mencapai 640 mm, dengan curah hujan maksimum harian adalah 136 mm.
Sementara sekarang, hujan sepanjang tiga hari lalu jauh lebih sedikit. “Senin sebesar 22,6 mm, Selasa 74,2 mm, dan Rabu 61,4 mm,” kata Kepala Stasiun Klimatologi Kelas 1 Darmaga Bogor, Nuryadi, Rabu 16 Januari 2013.
Lantas, apa sebabnya? Menurut seorang ahli, hal tersebut dikarenakan daya serap kawasan Puncak yang semakin melemah.
Selain itu, keseimbangan ekologis kawasan Puncak pada awal tahun ini merosot hingga 50 persen dibanding pada 15 tahun sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa banjir di Jakarta adalah akibat debit Ciliwung meningkat drastis. Kenaikan debit Ciliwung ini terkait dengan rusaknya kawasan hulu sungai itu di Puncak.
Di pihak lain, para politisi saling mencaci dan mencela hujan dan banjir karena pemerintah atau gubernurnya. Lebih parah, ini juga ditambah lipuran media kita, jika dicermati, sesungguhnya tanpa terasa menghilangkan tauhid dan akidah kita secara pelan-pelan.
Lihatkan liputan berbagai media di kala musim hujan datang atau musibah banjir. Judul-judulnya selalu bernada ancaman, menakutkan dan bisa menjauhkan kita semua dari Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasulnya. Lihat cara media membuat judul-judul; “Ancaman Banjir Belum Berakhir”, “Hujan Lebat Masih Mengancam!”, “Urat Nadi Bisnis Tersumbat Banjir”.
Memang kelihatannya sederhana, namun ini sesungguhnya hal yang serius, menyangkut keimanan. Karena tidak ada setetes air hujan (termasuk banjir) yang membasahi bumi ini kecuali atas kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Apa yang terjadi dari ujung kaki hingga ujung langit, dari pagi hingga malam, gumpalan awan, petir, hujar deras, banjir bandang, tak terkecuali adalah karena kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Karenanya, menyalahkan alam, turunnya hujan, sama halnya menyalahkan apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita. Itulah tauhid.
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman;
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (QS: Al-A’raf [7]: 57).
Karenanya, jangan pernah sedikitpun menyalahkan alam, hujan atau banjir. Hujan itu sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh makhluk Allah. Tanpa hujan, kekeringan akan melanda dan tanaman akan mati. Jika Allah tak berkehendak, semua tak akan terjadi. Sebaliknya, jika Allah berkendak, maka semua juga pasti akan terjadi. Lantas, mengapa rahmat ini bisa menjadi bencana bagi manusia? Itulah masalahnya. Mengapa di antara kita justru tak berfikir ini?
Allah pasti tidak salah menurunkan hujan, sementara jika turun hujan dan berdampak menjadi musibah, mengapa kita tak berpikir?
Muhasabah, Sabar dan mencegahnya
Musibah selalu datang dan pergi, itulah sunnah hidup. Ada yang menghadapi dan menyikapinya secara arif, sehingga musibah itu mendatangkan berbagai kebaikan. Tapi tidak sedikit yang keliru menyikapinya, sehingga musibah justru semakin memperpanjang penderitaan.
Bedanya, orang mukmin menghadapi musibah selalu dengan kaca-mata positif. Kita harus memandang musibah bukan sebagai kekejaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, seakan-akan Allah tidak memiliki kasih saying pada manusia. Datangnya musibah, justru agar membuatnya manusia menjadi sadar serta menyesali kekhilafannya. [baca juga: Bersyukur dan Berdoa: Adab Muslim Hadapi Musim Hujan!]
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS: Al-Fajr [89]: 16)
Salah satu cara menghadapi musibah ini adalah sikap ridha dan sabar. Terimalah musibah yang kita hadapi dengan hati yang ridha. Jikapun kita tidak ridha dengan apa yang terjadi, hal itu tidak akan bisa mengubah apa yang telah berlalu. Dengan keridhaan justru hati menjadi tenang, pikiran menjadi jernih dan lapang untuk menemukan solusi. Sehingga kita dapat bangkit dengan penuh ketegaran melewati musibah tersebut. Tentu bukan ridha, agar ketika musibah datangi lagi kita diam saja. Jelas tidak.
Karenanya, cara selanjutnya melihat musibah harusnya melakukan muhasabah (evaluasi) dan mengambil pelajaran. Karena musibah sebenarnya berfungsi untuk menyadarkan kita dari kesalahan-kesalahan memelihara alam selama ini. Sayang, banyak manusia tidak berfikir dan mengabaikannya.
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi [24]". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS: Al-Baqarah [2]: 11-12)
Maka, marilah kita mekukan muhasabah (evaluasi diri) mengapa musibah itu terjadi? Adakah itu merupakan ujian yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala untuk kita sebagai peningkatan kualitas keimanan? Atau musibah tersebut merupakan teguran atas kekeliruan kita dalam mengelola serta memanfaatkan sumber-sumber daya yang diamanahkan kepada kita? Atau adakah kesalahan dan dosa-dosa lain yang kita lakukan kepada Allah? Jika benar karena dosa-dosa besar, mari kita bertobat.
Muhasabah ini sangat penting agar kita menyadari titik kesalahan dan kekeliruan kita. Sehingga kita dapat bertindak lebih baik di masa-masa selanjutnya.*/Imam Nawawi hidayatullah.com
Hal ini tentu harus dipandang secara positif dengan dasar keimanan, bukan sekedar mencela apalagi menyalahkan.
Langkah efektif yang harus dilakukan oleh seluruh umat Islam saat ini adalah membantu korban, kemudian merencakan kembali kesiapan kita agar banjir itu tidak kembali terjadi. Tentu tidak cukup hanya dengan regulasi dan peralatan semata. Namun dibutuhkan cara pandang baru, cara berpikir berperilaku, kesadaran dan partisipasi setiap kaum Muslim, khususnya di Jakarta.
Bukan Salah Hujan
Sebagian sering berasumsi bahwa penyebab banjir awal tahun ini karena curah hujan tinggi melanda kawasan Jabodetabek. Tetapi faktanya tidak. Seperti dilaporkan oleh tempo.co. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan curah hujan harian tertinggi di Jakarta pada Selasa dan Rabu pagi hanya sekitar 100 milimeter.
Angka itu jauh lebih rendah dibanding rekor curah hujan tertinggi dalam satu hari yang terjadi pada Januari 2007 yang mencapai 340 milimeter. Curah hujan sepanjang Januari ini yang diprediksi 300-400 mm juga dianggap masih normal.
Curah hujan di kawasan Puncak juga lebih rendah dibandingkan lima tahun lalu. Pada 2007 lalu, curah hujan selama sebulan di kawasan Puncak bahkan bisa mencapai 640 mm, dengan curah hujan maksimum harian adalah 136 mm.
Sementara sekarang, hujan sepanjang tiga hari lalu jauh lebih sedikit. “Senin sebesar 22,6 mm, Selasa 74,2 mm, dan Rabu 61,4 mm,” kata Kepala Stasiun Klimatologi Kelas 1 Darmaga Bogor, Nuryadi, Rabu 16 Januari 2013.
Lantas, apa sebabnya? Menurut seorang ahli, hal tersebut dikarenakan daya serap kawasan Puncak yang semakin melemah.
Selain itu, keseimbangan ekologis kawasan Puncak pada awal tahun ini merosot hingga 50 persen dibanding pada 15 tahun sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa banjir di Jakarta adalah akibat debit Ciliwung meningkat drastis. Kenaikan debit Ciliwung ini terkait dengan rusaknya kawasan hulu sungai itu di Puncak.
Di pihak lain, para politisi saling mencaci dan mencela hujan dan banjir karena pemerintah atau gubernurnya. Lebih parah, ini juga ditambah lipuran media kita, jika dicermati, sesungguhnya tanpa terasa menghilangkan tauhid dan akidah kita secara pelan-pelan.
Lihatkan liputan berbagai media di kala musim hujan datang atau musibah banjir. Judul-judulnya selalu bernada ancaman, menakutkan dan bisa menjauhkan kita semua dari Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasulnya. Lihat cara media membuat judul-judul; “Ancaman Banjir Belum Berakhir”, “Hujan Lebat Masih Mengancam!”, “Urat Nadi Bisnis Tersumbat Banjir”.
Memang kelihatannya sederhana, namun ini sesungguhnya hal yang serius, menyangkut keimanan. Karena tidak ada setetes air hujan (termasuk banjir) yang membasahi bumi ini kecuali atas kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Apa yang terjadi dari ujung kaki hingga ujung langit, dari pagi hingga malam, gumpalan awan, petir, hujar deras, banjir bandang, tak terkecuali adalah karena kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Karenanya, menyalahkan alam, turunnya hujan, sama halnya menyalahkan apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita. Itulah tauhid.
Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman;
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَاباً ثِقَالاً سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ الْمَاء فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْموْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (QS: Al-A’raf [7]: 57).
Karenanya, jangan pernah sedikitpun menyalahkan alam, hujan atau banjir. Hujan itu sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup seluruh makhluk Allah. Tanpa hujan, kekeringan akan melanda dan tanaman akan mati. Jika Allah tak berkehendak, semua tak akan terjadi. Sebaliknya, jika Allah berkendak, maka semua juga pasti akan terjadi. Lantas, mengapa rahmat ini bisa menjadi bencana bagi manusia? Itulah masalahnya. Mengapa di antara kita justru tak berfikir ini?
Allah pasti tidak salah menurunkan hujan, sementara jika turun hujan dan berdampak menjadi musibah, mengapa kita tak berpikir?
Muhasabah, Sabar dan mencegahnya
Musibah selalu datang dan pergi, itulah sunnah hidup. Ada yang menghadapi dan menyikapinya secara arif, sehingga musibah itu mendatangkan berbagai kebaikan. Tapi tidak sedikit yang keliru menyikapinya, sehingga musibah justru semakin memperpanjang penderitaan.
Bedanya, orang mukmin menghadapi musibah selalu dengan kaca-mata positif. Kita harus memandang musibah bukan sebagai kekejaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, seakan-akan Allah tidak memiliki kasih saying pada manusia. Datangnya musibah, justru agar membuatnya manusia menjadi sadar serta menyesali kekhilafannya. [baca juga: Bersyukur dan Berdoa: Adab Muslim Hadapi Musim Hujan!]
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS: Al-Fajr [89]: 16)
Salah satu cara menghadapi musibah ini adalah sikap ridha dan sabar. Terimalah musibah yang kita hadapi dengan hati yang ridha. Jikapun kita tidak ridha dengan apa yang terjadi, hal itu tidak akan bisa mengubah apa yang telah berlalu. Dengan keridhaan justru hati menjadi tenang, pikiran menjadi jernih dan lapang untuk menemukan solusi. Sehingga kita dapat bangkit dengan penuh ketegaran melewati musibah tersebut. Tentu bukan ridha, agar ketika musibah datangi lagi kita diam saja. Jelas tidak.
Karenanya, cara selanjutnya melihat musibah harusnya melakukan muhasabah (evaluasi) dan mengambil pelajaran. Karena musibah sebenarnya berfungsi untuk menyadarkan kita dari kesalahan-kesalahan memelihara alam selama ini. Sayang, banyak manusia tidak berfikir dan mengabaikannya.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ قَالُواْ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَـكِن لاَّ يَشْعُرُونَ
أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَـكِن لاَّ يَشْعُرُونَ
“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi [24]". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS: Al-Baqarah [2]: 11-12)
Maka, marilah kita mekukan muhasabah (evaluasi diri) mengapa musibah itu terjadi? Adakah itu merupakan ujian yang diberikan Allah Subhanahu Wata’ala untuk kita sebagai peningkatan kualitas keimanan? Atau musibah tersebut merupakan teguran atas kekeliruan kita dalam mengelola serta memanfaatkan sumber-sumber daya yang diamanahkan kepada kita? Atau adakah kesalahan dan dosa-dosa lain yang kita lakukan kepada Allah? Jika benar karena dosa-dosa besar, mari kita bertobat.
Muhasabah ini sangat penting agar kita menyadari titik kesalahan dan kekeliruan kita. Sehingga kita dapat bertindak lebih baik di masa-masa selanjutnya.*/Imam Nawawi hidayatullah.com
0 Response to "Jangan Pernah Lagi Salahkan Hujan, Sungai atau Alam! "
Posting Komentar