Oleh : Mirawati Uniang, Penulis, tinggal di Sumatera Barat
MENTERI Kesehatan Nafisah Mboy pernah menuai kritik pedas mengenai gagasannya untuk mengkampanyekan pemakaian kondom. Hal tersebut terjadi, sesaat setelah pelantikan dirinya sebagai Menkes pada Juni 2012 kamaren. Heboh dan mengundang polemik berbagai kalangan, akhirnya Nafsiyah mengklarifikasi bahwa ia tidak bermaksud mengkampanyekan kondom tapi menghimbau atau mendorong penggunaan kondom, terutama di kalangan terbatas (baca: seks beresiko). Muncul pertanyaan, apa sih bedanya, mendorong atau menghimbau dengan kampanye? Bukankah esensinya adalah sama, menyuruh/mengajak baik secara persuasif maupun represif agar orang menggunakan kondom?
Kampanye liberal ala menkes ini bergulir seperti bola panas. Sempat menghilang, kini sepertinya gagasan tersebut akan diaplikasikan oleh masyarakat Bali. Provinsi Bali mungkin menjadi daerah pertama yang akan menerapkan kampanye liberal kondom. Seperti dikutip dari laman Merdeka.com, Komisi Penanggulangan HIV/Aids Provinsi Bali, mendorong kesadaran kaum perempuan memakai kondom untuk mengurangi resiko terkena penyakit menular seksual.
Dikatakan Koordinator Layanan, Dukungan dan Pengobatan (CST) KPA Bali Prof Dr Tuti Parwati, di Denpasar baru-baru ini, bahwa perlu adanya kesadaran untuk memakai kondom khusus perempuan. Tuti menyebut kaum perempuan rentan tertular HIV/AIDS di tengah kondisi masyarakat yang seringkali tidak mengakui keberadaan lokalisasi, padahal sesungguhnya ada.
Kampanye kondom? Mendengarnya saja membuat kita prihatin. Inilah produk liberal kapitalis yang tersistematis, perlahan namun pasti akan merusak generasi muda kita. Bagaimana pun juga, meski Menkes Nafsiyah Mboi mengatakan, bahwa kampanye ditujukan untuk seks beresiko. Kenyataannya, seks beresiko itu meliputi semua kalangan, tak terkecuali remaja. Latar belakang kampanye kondom juga tak terlepas dari tingginya grafik aborsi yang dilakukan remaja di negeri ini. Kementerian Kesehatan mencatat 2 juta kasus aborsi setiap tahunnya. Sekali lagi, pelakunya kebanyakan adalah remaja dengan kasus kehamilan yang tak diinginkan.
Berkaca dari fakta tersebut, kepada siapa sebenarnya kampanye kondom tersebut ditujukan? Tak bisa disangkal lagi, yang menjadi target utama adalah para remaja yang notabene merupakan estafet penerus kepemimpinan negeri ini. Masih segar dalam ingatan kita, menyusupnya kondom dalam bingkisan/parcel valentine day bulan Februari lalu. Valentine day – sebuah budaya yuhudi kafir – yang diasosiasikan sebagai hari kasih sayang, bertukar kado dan melakukan hubungan badan (free sex) turut menjadi bagian dari gaya hidup remaja, termasuk generasi muda Islam. Kehidupan remaja yang semakin permisif semakin menjadi-jadi dengan adanya momen Valentine day’s yang seolah menjadi ajang “penghalalan” hubungan seks.
Masih di tahun 2012, Amerika Serikat yang menjadi icon kebebasan tanpa batas juga dihebohkan dengan kabar kondom di sebuah sekolah mewah di Washington DC, tempat dimana putri Barack Obama bersekolah.Konon, Email sekolah tersebut dibajak kemudian dikirimkan ke seluruh orangtua murid yang isinya mengabarkan adanya voucher yang bisa ditukarkan dengan kondom pada acara akhir tahun sekolah.
Apapun alasannya, kampanye kondom yang digaungkan oleh Menkes Nafsiyah Mboy adalah sebuah program ngawur, tidak bermoral dan mencederai nilai-nilai luhur yang dianut bangsa ini, apalagi keluhuran ajaran Islam. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Isra’ ayat 32, yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”
Perlahan tapi pasti, akses menuju kehancuran moral yang didahului dengan propaganda penggunaan kondom di kalangan terbatas, kian mendekati kenyataan. Lambat laun, free sex, sammen leven, kumpul kebo atau apapun namanya akan menjadi hal yang biasa di negeri ini. Orang tak perlu lagi merasa malu, risih atau terhina ketika mempertontonkan maksiat di depan publik. Tak perlu merasa cemas, takut atau khawatir akan tertular penyakit kelamin dan berganti-ganti pasangan, karena ada kondom sebagai benteng pertahanan. Para remaja juga merasa safety melakukan hubungan badan karena adanya kondom gratis dari pemerintah, tidak panik jika terjadi kehamilan di luar nikah dan lain sebagainya.
Anak-anak pun dari usia dini sudah diperkenalkan dengan yang namanya alat kontrasepsi alias kondom. Revolusi teknologi yang maha dasyat pun turut memudahkan mereka mengakses berbagai informasi termasuk tontotan porno yang belum layak dikonsumsi seusia mereka. Entah apa jadinya negeri ini sepuluh atau tigapuluh tahun mendatang. Hari ini, ketika kampanye kondom terus digagas dan diupayakan, di saat yang bersamaan, kita pun disuguhi pemandangan para elit yang terlilit skandal asmara terlarang.
Sebagai penyelenggara negara, pemerintah justru berada di pihak yang melegalkan alias memberi peluang. Ini salah satu bentuk kegagalan pemerintah. Pemerintah bukan hanya melakukan pembiaran demi pembiaran berlangsungnya berbagai praktek asusila dan prostitusi di negeri ini, tapi ikut memfasilitasi. Tak tanggung-tanggung, tahun 2012 pemerintah menggelontorkan dana sebesar 25 miliyar rupiah untuk membeli kondom sebanyak 415 ribu gros. Kondom tersebut akan dibagikan secara gratis. Sebuah ironi yang membuat kita tercengang. Dana yang sedemikian besar hanya dihambur-hamburkan untuk sebuah program yang jauh dari kata bermanfaat.
Dalih pemerintah untuk menyelamatkan mereka yang memiliki seks beresiko dengan pemberian kondom gratis, hanyalah akal-akalan semata. Jika pemerintah serius ingin membenahi moral generasi muda ini dari kehancuran, maka kampanye pemakaian kondom bukan jawabannya. Program itu hanya akan menjadi solusi instan dan temporary, menyelesaikan masalah di permukaan saja. Lalu menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks. Entah, kalau negara ini akan dijadikan negara bar-bar tanpa aturan, sebuah negara sekuler-liberal. [] (IP)
0 Response to "Kampanye Amoral Via Kondom"
Posting Komentar