Jakarta - Setelah melalui seleksi yang dilakukan, akhirnya Komisi Pemlihan Umum (KPU) mengumumkan partai-partai yang berhak dan tak berhak ikut dalam Pemilu 2014. Ada 16 partai yang lolos seleksi, dan ada 18 partai yang tak lolos. Dengan hasil yang demikian maka dalam pemilu yang akan datang jumlah peserta tidak terlalu banyak dibanding dengan Pemilu 1955, Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009.
Enam belas partai sepertinya tidak akan membuat repot pelaksana Pemilu dan tak membuat bingung rakyat dalam memilih, sehingga suara yang hilang pun akan semakin tipis. Namun kalau kita cermati dari hasil seleksi yang dilakukan KPU menunjukkan bahwa partai yang lolos dan ikut dalam Pemilu 2014 adalah partai-partai itu-itu saja, alias loe lagi-loe lagi.
Dengan peserta pemilu itu-itu saja membuat kita pesimis bahwa akan terjadi perubahan di tahun 2014. Peserta Pemilu 2014 tidak beda jauh dengan peserta Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009. Lihat saja dalam pemilu yang akan datang ada Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, dan PKB. Partai-partai itu dalam pemilu sebelumnya juga telah hadir.
Partai-partai seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB, bisa lolos harus diakui karena berdiri sudah lama, memiliki jaringan yang mapan dari pusat hingga tingkat desa, memiliki sumber daya manusia atau pengurus yang terregenerasi, dan pastinya memiliki dana yang banyak sehingga mampu menjalankan operasional.
Sedang partai yang tak lolos bisa jadi keberadaannya kebalikan dari partai yang lolos, dana tidak ada, sumber daya manusia atau pengurus kurang, dan ada yang berdiri setahun yang lalu. Bagaimana bisa kokoh berdiri dari Sabang sampai Merauke kalau tidak ada duit untuk membentuk kepengurusan.
Hasil seleksi partai yang dilakukan oleh KPU membuat kita kecewa. Kita pesimis dengan wajah Indonesia di tahun 2014 akan berubah selama partai-partai yang lolos seleksi itu tidak mengubah perilakunya. Selama mereka hidup sebagai partai, kehadiran mereka seperti yang tidak kita harapkan, kehadiran mereka terkadang menambah keruwetan dan tidak menegakkan semangat reformasi. Semangat reformasi adalah semangat yang berupaya untuk mengikis korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Partai yang ada tidak mampu mengemban semangat reformasi sehingga semangat pemberantasan korupsi maju mundur dan tidak maksimal. Buktinya mereka hendak merevisi UU KPK meski akhirnya batal, ada pula dugaan anggota DPR memeras BUMN, dan banyak yang tertangkap tangan oleh KPK. Perilaku ini terkadang tidak hanya untuk kepentingan perorangan namun juga demi kepentingan keuangan partai. Ketika partai sebagai saluran aspirasi masyarakat tidak mampu melaksanakan semangat reformasi maka yang terjadi ya seperti saat ini, berita korupsi setiap saat muncul di televisi dengan pelaku anggota partai yang duduk di lembaga legeslatif atau eksekutif.
Lolosnya ke-16 partai dan tak lolosnya ke-18 partai dalam Pemilu 2014, sepertinya bukan karena secara administrasi dan di lapangan partai-partai itu memenuhi atau tidak syarat-syarat yang ditentukan, namun bisa jadi karena KPU ‘ditekan’ oleh partai-partai yang sekarang duduk di DPR. Tekanan dilakukan agar rivalitas dalam pemilu yang akan datang tidak berat.
Hadirnya banyak partai tentu akan menggerus suara-suara partai yang saat ini eksis. Bila suara yang ada tergerus ke partai-partai baru tentu mereka akan sulit lolos parlement threshold dan presiden threshold. Untuk mengamankan posisi partai dan calon presiden yang akan diusung, partai-partai yang ada sekarang menekan KPU agar tidak banyak meloloskan partai baru atau partai lama yang ingin ikut lagi dalam pemilu. Tekanan ini bisa jadi dalam bentuk agar KPU membuat aturan yang lebih berat, sulit, dan selektif.
Misalnya, bila dulu mungkin hanya 70% kepengurusan di tingkat kabupaten-kota, sekarang harus menjadi 100%. Kalau secara adminsitrasi dan data di lapangan, pastinya hal yang demikian bisa dipenuhi oleh partai-partai lainnya, meski secara minim dan pas-pasan. Misalnya, Partai Damai Sejahtera (PDS) pada pemilu sebelumnya bisa lolos namun sekarang kok tidak, ini kan aneh. Demikian pula Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dulu bisa lolos sekarang kok tidak. Ini semua menjadikan tanda tanya bagi kita.
Rivalitas antarpartai sebenarnya tidak hanya saat seleksi di tingkat KPU, di antara partai yang ada pun sekarang berusaha untuk menghambat gerak dan kreatifitasnya. Ini terbukti dari pernah munculnya usulan parlement threshold mencapai 4%. Dengan usulan ini maka bisa jadi hanya akan ada 4 partai politik yang bisa bertahan di parlemen. Bila partai yang ada di parlemen jumlahnya sedikit, yang untung bukan rakyat, namun partai politik.
Perilaku partai politik di Indonesia lebih suka dekat kekuasaan daripada dekat rakyat sehingga membuat partai lebih suka mendukung kepentingan dan kebijakan pemerintah daripada memperjuangkan aspirasi rakyat. Secara jujur sebenarnya tidak ada partai yang mau menjadi oposisi sebab bagi partai politik menjadi oposisi disebut tidak akan memperoleh apa-apa. Partai politik lebih suka dekat kekuasaan karena sifat pragmatisnya, mendapat kekuasaan dan fasilitas lainnya.
Di tengah semakin tipisnya kepercayaan rakyat kepada partai yang saat ini duduk di DPR, seharusnya verifikasi partai yang dilakukan oleh KPU lebih terbuka. Dengan semakin banyaknya partai yang lolos bisa jadi pilihan rakyat akan semakin lepas dan bebas. Hadirnya partai baru diharapkan mampu menggusur partai lama yang tidak mengemban amanah reformasi. Namun harapan yang demikian sepertinya tertutup ketika hanya partai-partai itu saja yang lolos. Dengan demikian wajah Indonesia di tahun 2014 akan begini-begini saja.
*) Ardi Winangun, pengamat politik, tinggal di Matraman, Jakarta Timur
Enam belas partai sepertinya tidak akan membuat repot pelaksana Pemilu dan tak membuat bingung rakyat dalam memilih, sehingga suara yang hilang pun akan semakin tipis. Namun kalau kita cermati dari hasil seleksi yang dilakukan KPU menunjukkan bahwa partai yang lolos dan ikut dalam Pemilu 2014 adalah partai-partai itu-itu saja, alias loe lagi-loe lagi.
Dengan peserta pemilu itu-itu saja membuat kita pesimis bahwa akan terjadi perubahan di tahun 2014. Peserta Pemilu 2014 tidak beda jauh dengan peserta Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009. Lihat saja dalam pemilu yang akan datang ada Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, dan PKB. Partai-partai itu dalam pemilu sebelumnya juga telah hadir.
Partai-partai seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB, bisa lolos harus diakui karena berdiri sudah lama, memiliki jaringan yang mapan dari pusat hingga tingkat desa, memiliki sumber daya manusia atau pengurus yang terregenerasi, dan pastinya memiliki dana yang banyak sehingga mampu menjalankan operasional.
Sedang partai yang tak lolos bisa jadi keberadaannya kebalikan dari partai yang lolos, dana tidak ada, sumber daya manusia atau pengurus kurang, dan ada yang berdiri setahun yang lalu. Bagaimana bisa kokoh berdiri dari Sabang sampai Merauke kalau tidak ada duit untuk membentuk kepengurusan.
Hasil seleksi partai yang dilakukan oleh KPU membuat kita kecewa. Kita pesimis dengan wajah Indonesia di tahun 2014 akan berubah selama partai-partai yang lolos seleksi itu tidak mengubah perilakunya. Selama mereka hidup sebagai partai, kehadiran mereka seperti yang tidak kita harapkan, kehadiran mereka terkadang menambah keruwetan dan tidak menegakkan semangat reformasi. Semangat reformasi adalah semangat yang berupaya untuk mengikis korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Partai yang ada tidak mampu mengemban semangat reformasi sehingga semangat pemberantasan korupsi maju mundur dan tidak maksimal. Buktinya mereka hendak merevisi UU KPK meski akhirnya batal, ada pula dugaan anggota DPR memeras BUMN, dan banyak yang tertangkap tangan oleh KPK. Perilaku ini terkadang tidak hanya untuk kepentingan perorangan namun juga demi kepentingan keuangan partai. Ketika partai sebagai saluran aspirasi masyarakat tidak mampu melaksanakan semangat reformasi maka yang terjadi ya seperti saat ini, berita korupsi setiap saat muncul di televisi dengan pelaku anggota partai yang duduk di lembaga legeslatif atau eksekutif.
Lolosnya ke-16 partai dan tak lolosnya ke-18 partai dalam Pemilu 2014, sepertinya bukan karena secara administrasi dan di lapangan partai-partai itu memenuhi atau tidak syarat-syarat yang ditentukan, namun bisa jadi karena KPU ‘ditekan’ oleh partai-partai yang sekarang duduk di DPR. Tekanan dilakukan agar rivalitas dalam pemilu yang akan datang tidak berat.
Hadirnya banyak partai tentu akan menggerus suara-suara partai yang saat ini eksis. Bila suara yang ada tergerus ke partai-partai baru tentu mereka akan sulit lolos parlement threshold dan presiden threshold. Untuk mengamankan posisi partai dan calon presiden yang akan diusung, partai-partai yang ada sekarang menekan KPU agar tidak banyak meloloskan partai baru atau partai lama yang ingin ikut lagi dalam pemilu. Tekanan ini bisa jadi dalam bentuk agar KPU membuat aturan yang lebih berat, sulit, dan selektif.
Misalnya, bila dulu mungkin hanya 70% kepengurusan di tingkat kabupaten-kota, sekarang harus menjadi 100%. Kalau secara adminsitrasi dan data di lapangan, pastinya hal yang demikian bisa dipenuhi oleh partai-partai lainnya, meski secara minim dan pas-pasan. Misalnya, Partai Damai Sejahtera (PDS) pada pemilu sebelumnya bisa lolos namun sekarang kok tidak, ini kan aneh. Demikian pula Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dulu bisa lolos sekarang kok tidak. Ini semua menjadikan tanda tanya bagi kita.
Rivalitas antarpartai sebenarnya tidak hanya saat seleksi di tingkat KPU, di antara partai yang ada pun sekarang berusaha untuk menghambat gerak dan kreatifitasnya. Ini terbukti dari pernah munculnya usulan parlement threshold mencapai 4%. Dengan usulan ini maka bisa jadi hanya akan ada 4 partai politik yang bisa bertahan di parlemen. Bila partai yang ada di parlemen jumlahnya sedikit, yang untung bukan rakyat, namun partai politik.
Perilaku partai politik di Indonesia lebih suka dekat kekuasaan daripada dekat rakyat sehingga membuat partai lebih suka mendukung kepentingan dan kebijakan pemerintah daripada memperjuangkan aspirasi rakyat. Secara jujur sebenarnya tidak ada partai yang mau menjadi oposisi sebab bagi partai politik menjadi oposisi disebut tidak akan memperoleh apa-apa. Partai politik lebih suka dekat kekuasaan karena sifat pragmatisnya, mendapat kekuasaan dan fasilitas lainnya.
Di tengah semakin tipisnya kepercayaan rakyat kepada partai yang saat ini duduk di DPR, seharusnya verifikasi partai yang dilakukan oleh KPU lebih terbuka. Dengan semakin banyaknya partai yang lolos bisa jadi pilihan rakyat akan semakin lepas dan bebas. Hadirnya partai baru diharapkan mampu menggusur partai lama yang tidak mengemban amanah reformasi. Namun harapan yang demikian sepertinya tertutup ketika hanya partai-partai itu saja yang lolos. Dengan demikian wajah Indonesia di tahun 2014 akan begini-begini saja.
*) Ardi Winangun, pengamat politik, tinggal di Matraman, Jakarta Timur
detiknews
0 Response to "Partai Loe Lagi-Loe Lagi "
Posting Komentar