Malam menjelang pelaksanaan Muktamar Khilafah di Gelora 10 November Surabaya panitia memberi tahu bahwa tiket sudah sold out, dan dengan sangat terpaksa pemesanan tiket ditutup beberapa hari sebelum acara. Bukan karena tidak ada yang berminat membeli, tapi panitia kuatir tidak mampu melayani peserta dengan baik, karena keterbatasan daya tampung stadion.
Keesokan paginya (Ahad, 26/5), saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Gelora 10 November benar-benar penuh sesak dengan kaum muslimin dari berbagai daerah di Jawa Timur, dan ada juga beberapa orang sengaja datang dari luar Jawa. Pengorbanan mereka sungguh besar. Masuk ke stadion ini harus membeli tiket yang dananya memang diperlukan panitia untuk penyelengaraan kegiatam. Datang ke Surabaya juga dengan biaya sendiri, ada yang naik motor, nyewa angkot, nyarter mobil atau bis, dan tak sedikit yang naik pesawat.
Di tengah acara, panitia mendapat kabar, bahwa bis-bis kembali berdatangan dan ribuan peserta nisa tertahan di luar nggak bisa masuk stadion. Masya Alloh. Sedikit panik, tentu saja. Saya mendekat dan menyimak bagaimana panitia inti yang berada di tengah stadion harus berdiskusi dan memutuskan secara cepat, di mana ribuan peserta nisa yang baru datang ini akan dimasukkan? Lha wong seluruh area kursi di tribun sudah dijejali nisa, sementara area tengah-tengah lapangan ditempati peserta rijal yang lesehan dengan terpal plastik? Tak ada lagi ruangan yang tersisa untuk ribuan nisa yang datang terlambat (kalau nggak salah delegasi nisa Jember ya)
Panitia akhirnya menempuh strategi mengulur waktu. Run down acara diubah mendadak. Tim nasyid diperintahkan tampil (lagi) dengan irama menghentak. Tujuan utamanya ya memberi waktu agar peserta yang masih di luar sedikit demi sedikit bisa masuk stadion, karena kami kasihan masa jauh-jauh datang ke Surabaya tapi acara sudah bubaran. Begitulah penjelasannya, mengapa tiba-tiba ada nasyid tambahan menjelang pidato politik.
Saya belum tahu, berapa orang yang akhirnya bisa menyusup masuk dan berapa banyak yang masih tertahan di luar stadion. Yang jelas, stadion besar ini memang rasanya jadi sempit saja.
Akhirnya, pidato politik oleh ketua DPP HTI Ustadz Rokhmat S. Labib benar-benar menutup Muktamar Khilafah dengan spektakuler. Seruan beliau "al-ummah turid khilafah islamiyah" disambut peserta dengan mengepalkan tangan di udara sambil meneriakkan takbir dan mengibar-ngibarkan benedara al-liwa dan ar-raya. Allohu Akbar...
Inilah momentum yang membangkitan semangat para pejuang syariah dan khilafah, yang hadir di Surabaya dan yang menyaksikan lewat live streaming. Juga sekaligus menggetarkan musuh-musuh Islam dan mereka yang kuatir khilafah bakal tegak.
Nahnu nurid khilafah islamiyah....
Nahnu nurid khilafah islamiyah....
Nahnu nurid khilafah islamiyah....
Kita mengingingkan khilafah.
Dan, insya Alloh, sebentar lagi apa yang kita inginkan segera dikabulkan Alloh. M Ihsan [Abdul Djalil/GM]
Keesokan paginya (Ahad, 26/5), saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Gelora 10 November benar-benar penuh sesak dengan kaum muslimin dari berbagai daerah di Jawa Timur, dan ada juga beberapa orang sengaja datang dari luar Jawa. Pengorbanan mereka sungguh besar. Masuk ke stadion ini harus membeli tiket yang dananya memang diperlukan panitia untuk penyelengaraan kegiatam. Datang ke Surabaya juga dengan biaya sendiri, ada yang naik motor, nyewa angkot, nyarter mobil atau bis, dan tak sedikit yang naik pesawat.
Di tengah acara, panitia mendapat kabar, bahwa bis-bis kembali berdatangan dan ribuan peserta nisa tertahan di luar nggak bisa masuk stadion. Masya Alloh. Sedikit panik, tentu saja. Saya mendekat dan menyimak bagaimana panitia inti yang berada di tengah stadion harus berdiskusi dan memutuskan secara cepat, di mana ribuan peserta nisa yang baru datang ini akan dimasukkan? Lha wong seluruh area kursi di tribun sudah dijejali nisa, sementara area tengah-tengah lapangan ditempati peserta rijal yang lesehan dengan terpal plastik? Tak ada lagi ruangan yang tersisa untuk ribuan nisa yang datang terlambat (kalau nggak salah delegasi nisa Jember ya)
Panitia akhirnya menempuh strategi mengulur waktu. Run down acara diubah mendadak. Tim nasyid diperintahkan tampil (lagi) dengan irama menghentak. Tujuan utamanya ya memberi waktu agar peserta yang masih di luar sedikit demi sedikit bisa masuk stadion, karena kami kasihan masa jauh-jauh datang ke Surabaya tapi acara sudah bubaran. Begitulah penjelasannya, mengapa tiba-tiba ada nasyid tambahan menjelang pidato politik.
Saya belum tahu, berapa orang yang akhirnya bisa menyusup masuk dan berapa banyak yang masih tertahan di luar stadion. Yang jelas, stadion besar ini memang rasanya jadi sempit saja.
Akhirnya, pidato politik oleh ketua DPP HTI Ustadz Rokhmat S. Labib benar-benar menutup Muktamar Khilafah dengan spektakuler. Seruan beliau "al-ummah turid khilafah islamiyah" disambut peserta dengan mengepalkan tangan di udara sambil meneriakkan takbir dan mengibar-ngibarkan benedara al-liwa dan ar-raya. Allohu Akbar...
Inilah momentum yang membangkitan semangat para pejuang syariah dan khilafah, yang hadir di Surabaya dan yang menyaksikan lewat live streaming. Juga sekaligus menggetarkan musuh-musuh Islam dan mereka yang kuatir khilafah bakal tegak.
Nahnu nurid khilafah islamiyah....
Nahnu nurid khilafah islamiyah....
Nahnu nurid khilafah islamiyah....
Kita mengingingkan khilafah.
Dan, insya Alloh, sebentar lagi apa yang kita inginkan segera dikabulkan Alloh. M Ihsan [Abdul Djalil/GM]
0 Response to "Muktamar Khilafah JATIM 2013: "Al-ummah Turid Khilafah Islamiyah""
Posting Komentar