Dalam situs resminya National Disaster Risk Reduction and Management Council (NDRRMC) milik pemerintah Filipina merilis laporan terbaru 31 Maret 2013 yang diberitakan banyak media, bahwa terdapat 944 kepala keluarga atau 4983 jiwa telah mengungsi dari Sabah ke wilayah Basilan, Sulu and Tawi-Tawi (Basulta) di Filipina. Dari 4983 jiwa tersebut sejumlah 2080 jiwa adalah anak-anak selebihnya adalah orang dewasa.
Sebelumnya The Phillipine Star tanggal 11 Maret memberitakan bahwa perempuan hamil dan anak-anak Muslim Filipina yang telah lama tinggal di Sabah juga diburu dan dibunuh oleh militer Malaysia karena dianggap bagian dari suku Tausug, dimana kebanyakan dari suku Tausug adalah anggota Kesultanan Sulu. Begitu pula harian Indonesia, Republika, yang melaporkan seorang bocah berusia belasan tahun tewas setelah ditembak Polisi Malaysia 10 Maret lalu namun ditanggapi enteng oleh Komisaris Polisi wilayah Sabah, Datuk Hamza Taib, dengan menyatakan bahwa bocah tersebut sama saja dengan teroris.
Konflik bersenjata di Lahad Datu, Sabah jelas juga mengorbankan anak-anak dan kaum Muslimah. Hal ini terjadi karena Malaysia membenarkan tindakannya mengerahkan ribuan pasukan dengan pesawat jet tempurnya untuk memburu loyalis Kesultanan Sulu, karena menganggap kesultanan Sulu telah menginvasi Sabah wilayah territorial Malaysia sejak pertengahan Februari lalu. Sementara bagi Sultan Sulu, Jamalul Kiram III pendaratannya di Lahad Datu merupakan bagian dari upaya kesultanan Sulu untuk mengklaim kembali Sabah, karena merasa dikhianati dan ditinggalkan dalam proses perdamaian antara pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF).
Fakta jatuhnya banyak korban dari kalangan lemah ini jelas memperlihatkan wajah Malaysia sebenarnya yang menunjukkan bahwa darah kaum muslimin tidak berarti apa-apa bagi mereka jika dibandingkan dengan batasan territorial negaranya yang diterobos oleh kaum Muslim Sulu, bahkan Malaysia tidak segan mengorbankan darah kaum Muslimah dan anak-anak sekalipun. Ironis, karena selama ini Malaysia kerap memerankan diri sebagai negeri Muslim yang vokal menyuarakan kepentingan umat Islam termasuk Palestina dan muslim minoritas di Asia Tenggara.
Nasionalisme Yang Merusak
Krisis Sabah ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari penindasan Muslim minoritas di Asia Tenggara dan sejarah panjang kolonialisme Barat di kawasan ini. Kolonialisme Barat di Asia Tenggara telah mewariskan perpecahan umat Islam, penindasan minoritas umat dan penjajahan sumberdaya alam melalui pengkhianatan para pemimpin Muslim di kawasan ini, sehingga kesatuan umat Islam di Nusantara terlerai satu per satu akibat nasionalisme dan kemerdekaan negara-bangsa pada pertengahan abad ke-20. Adalah Protokol Madrid tahun 1885 yang merampas Sabah dari kesultanan Sulu dan diserahkan pada kerajaan Inggris untuk menjadi bagian protectorat atau daerah jajahannya. Lalu Inggris memerdekakan Malaysia dan menyerahkan Sabah ke Malaysia melalui komisi Cobbold 1963, meski Malaysia tetap harus membayar uang sewa kepada Sultan Sulu sebanyak US$ 1.500 (Rp 14,5 juta) per tahun untuk tanah seluas 7.300 hektare di Sabah hingga saat ini. Walhasil, sengketa antara Malaysia dengan Kesultanan Sulu atas Sabah hari ini tidak bisa lepas dari desain imperialis Inggris kala itu.
Malaysia, sebagai salah satu negeri muslim mayoritas di kawasan ini nampaknya masih memerankan dengan baik peranannya sebagai sisa-sisa kolonial dari negara imperialis Barat. Malaysia jelas tidak rela memberikan sejengkal tanah Sabah pun kepada Filipina namun pada saat yang sama rela membiarkan tanah umat Islam di Mindanao dan Pattani dikuasai oleh kaum kaffir dan menutup mata terhadap penindasan minoritas Muslim disana yang mengorbankan lebih dari 120 ribu nyawa Muslim Moro di Filipina Selatan selama 40 tahun terakhir, dan sedikitnya 5500 nyawa Muslim Pattani di Thailand Selatan sejak 9 tahun silam. Malaysia tidak berbuat apapun untuk membebaskan tanah dan menjaga kehormatan umat Islam di Pattani, Sulu dan Mindanao kecuali dengan jalan diplomatik basa-basi yang sarat dengan akomodasi kepentingan asing. Kebalikannya justru Malaysia sekuat tenaga mengerahkan tujuh batalion pasukan tempur untuk mempertahankan tanah di Sabah bahkan mengorbankan kaum Muslimah dan anak-anak demi melawan ratusan kelompok sipil bersenjata alakadarnya yang sesungguhnya merupakan saudaranya se – Aqidah.
Nasionalisme adalah identitas palsu bagi umat Islam yang merupakan bagian dari strategi imperialis Barat untuk memecah-belah umat Islam melalui runtuhnya institusi Khilafah Ustmaniyah di Turki tahun 1924. Dan ikatan rusak inilah yang memproduksi ratusan penguasa boneka bagi umat Islam di Asia Tenggara dan seluruh dunia Muslim, termasuk pemerintah Malaysia yang tega memerangi saudara mereka sendiri kaum Muslim Sulu. Konsep kedaulatan teritorial dan pemujaan terhadap sistem negara-bangsa telah membutakan Malaysia dan mendorongnya menjalankan politik luar negeri rendahan yang hanya didasarkan oleh ikatan kepentingan semata, yakni kepentingan ekonomi dan politik murahan.
Drama kepalsuan itu terus berlanjut, Malaysia terus memainkan peran yang mencitrakan dirinya sebagai penjaga Islam dan pembela Muslim minoritas. Oktober tahun lalu Malaysia telah berperan memfasilitasi penandatanganan perjanjian damai di Filipina Selatan yang sudah diupayakan sejak 15 tahun lalu dan akan membentuk wilayah otonomi baru di kawasan selatan Filipina pada tahun 2016. Namun ternyata perjanjian damai ini justru menjadi racun perpecahan bagi umat Islam, memantik krisis Sabah yang menumpahkan darah umat. Ironisnya pada saat yang bersamaan dengan konflik di Sabah, Malaysia kembali memulai peran untuk menangani perdamaian Muslim minoritas di Thailand Selatan yang telah dimulai 28 Maret lalu. Sungguh sebuah peran yang hipokrit dan basa-basi yang dijalankan pemerintah Malaysia yang telah merobek persaudaraan umat Islam dengan menumpahkan darah saudaranya sendiri di Sabah.
Khilafah Akan Membebaskan dan Menyatukan Sabah dan Sulu
Islam mencela keras dan mengharamkan ashabiyah (fanatisme golongan) termasuk nasionalisme untuk digunakan sebagai identitas umat Islam, mengalahkan ikatan persaudaraan Islam (ukhuwah Islam). Allah SWT berfirman: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ… “Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara” (QS al-Hujurat [49] : 10). Islam mengajarkan bahwa ikatan terkuat bagi seorang Muslim itu adalah Aqidah Islam yang termanifestasi dalam ukhuwah Islamiyah, dan ikatan ini wajib diletakkan diatas suku bangsa, ras ataupun warna kulit.
Pertempuran di Sabah antara militer Malaysia dengan pengikut kesultanan Sulu adalah termasuk pertempuran jahiliyah, sebagaimana kita temui dalam hadits berikut yang mencela keras pelaku ashobiyah sebagai jahiliyah :
Islam juga mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan politik (Khilafah). Haram bagi mereka terfragmentasi di bawah kepemimpinan politis yang lebih dari satu, apalagi harus hidup tertindas dibawah tirani mayoritas kaum kafir seperti Muslim Moro di Filipina dan Muslim Pattani di Thailand. Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya.“ (HR. Muslim no. 3444). Oleh karena itu Khilafah akan menyatukan wilayah Sabah dan kepulauan Sulu, kepulauan Indonesia, Malaysia dengan seluruh tanah kaum Muslimin di seluruh dunia. Khilafah juga akan membebaskan tanah kaum Muslimin di Myanmar, Filipina Selatan dan Thailand Selatan, serta akan menjadi perisai bagi kehormatan umat Islam termasuk kaum Muslimah dan anak-anak di seluruh wilayah negara Khilafah.
Khilafah dengan visi politik luar negerinya yang luhur tidak akan pernah membiarkan wilayah kaum Muslimin jatuh ke tangan kuffar melalui berbagai jerat perjanjian imperialis. Daulah Khilafah akan mengakhiri politik luar negeri negeri-negeri Muslim yang penuh dengan nuansa kelemahan dan ketertundukan ini akibat jerat nasionalisme dan pengkhianatan penguasa boneka Barat. Khilafah akan menggantinya dengan sebuah visi politik luar negeri yang berorientasi mulia untuk penyebaran dakwah Islam ke seluruh dunia dengan metode dakwah dan Jihad.
Fika M. Komara, M.Si
Member Of Central Media Office Hizb ut Tahrir
Sebelumnya The Phillipine Star tanggal 11 Maret memberitakan bahwa perempuan hamil dan anak-anak Muslim Filipina yang telah lama tinggal di Sabah juga diburu dan dibunuh oleh militer Malaysia karena dianggap bagian dari suku Tausug, dimana kebanyakan dari suku Tausug adalah anggota Kesultanan Sulu. Begitu pula harian Indonesia, Republika, yang melaporkan seorang bocah berusia belasan tahun tewas setelah ditembak Polisi Malaysia 10 Maret lalu namun ditanggapi enteng oleh Komisaris Polisi wilayah Sabah, Datuk Hamza Taib, dengan menyatakan bahwa bocah tersebut sama saja dengan teroris.
Konflik bersenjata di Lahad Datu, Sabah jelas juga mengorbankan anak-anak dan kaum Muslimah. Hal ini terjadi karena Malaysia membenarkan tindakannya mengerahkan ribuan pasukan dengan pesawat jet tempurnya untuk memburu loyalis Kesultanan Sulu, karena menganggap kesultanan Sulu telah menginvasi Sabah wilayah territorial Malaysia sejak pertengahan Februari lalu. Sementara bagi Sultan Sulu, Jamalul Kiram III pendaratannya di Lahad Datu merupakan bagian dari upaya kesultanan Sulu untuk mengklaim kembali Sabah, karena merasa dikhianati dan ditinggalkan dalam proses perdamaian antara pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF).
Fakta jatuhnya banyak korban dari kalangan lemah ini jelas memperlihatkan wajah Malaysia sebenarnya yang menunjukkan bahwa darah kaum muslimin tidak berarti apa-apa bagi mereka jika dibandingkan dengan batasan territorial negaranya yang diterobos oleh kaum Muslim Sulu, bahkan Malaysia tidak segan mengorbankan darah kaum Muslimah dan anak-anak sekalipun. Ironis, karena selama ini Malaysia kerap memerankan diri sebagai negeri Muslim yang vokal menyuarakan kepentingan umat Islam termasuk Palestina dan muslim minoritas di Asia Tenggara.
Nasionalisme Yang Merusak
Krisis Sabah ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari penindasan Muslim minoritas di Asia Tenggara dan sejarah panjang kolonialisme Barat di kawasan ini. Kolonialisme Barat di Asia Tenggara telah mewariskan perpecahan umat Islam, penindasan minoritas umat dan penjajahan sumberdaya alam melalui pengkhianatan para pemimpin Muslim di kawasan ini, sehingga kesatuan umat Islam di Nusantara terlerai satu per satu akibat nasionalisme dan kemerdekaan negara-bangsa pada pertengahan abad ke-20. Adalah Protokol Madrid tahun 1885 yang merampas Sabah dari kesultanan Sulu dan diserahkan pada kerajaan Inggris untuk menjadi bagian protectorat atau daerah jajahannya. Lalu Inggris memerdekakan Malaysia dan menyerahkan Sabah ke Malaysia melalui komisi Cobbold 1963, meski Malaysia tetap harus membayar uang sewa kepada Sultan Sulu sebanyak US$ 1.500 (Rp 14,5 juta) per tahun untuk tanah seluas 7.300 hektare di Sabah hingga saat ini. Walhasil, sengketa antara Malaysia dengan Kesultanan Sulu atas Sabah hari ini tidak bisa lepas dari desain imperialis Inggris kala itu.
Malaysia, sebagai salah satu negeri muslim mayoritas di kawasan ini nampaknya masih memerankan dengan baik peranannya sebagai sisa-sisa kolonial dari negara imperialis Barat. Malaysia jelas tidak rela memberikan sejengkal tanah Sabah pun kepada Filipina namun pada saat yang sama rela membiarkan tanah umat Islam di Mindanao dan Pattani dikuasai oleh kaum kaffir dan menutup mata terhadap penindasan minoritas Muslim disana yang mengorbankan lebih dari 120 ribu nyawa Muslim Moro di Filipina Selatan selama 40 tahun terakhir, dan sedikitnya 5500 nyawa Muslim Pattani di Thailand Selatan sejak 9 tahun silam. Malaysia tidak berbuat apapun untuk membebaskan tanah dan menjaga kehormatan umat Islam di Pattani, Sulu dan Mindanao kecuali dengan jalan diplomatik basa-basi yang sarat dengan akomodasi kepentingan asing. Kebalikannya justru Malaysia sekuat tenaga mengerahkan tujuh batalion pasukan tempur untuk mempertahankan tanah di Sabah bahkan mengorbankan kaum Muslimah dan anak-anak demi melawan ratusan kelompok sipil bersenjata alakadarnya yang sesungguhnya merupakan saudaranya se – Aqidah.
Nasionalisme adalah identitas palsu bagi umat Islam yang merupakan bagian dari strategi imperialis Barat untuk memecah-belah umat Islam melalui runtuhnya institusi Khilafah Ustmaniyah di Turki tahun 1924. Dan ikatan rusak inilah yang memproduksi ratusan penguasa boneka bagi umat Islam di Asia Tenggara dan seluruh dunia Muslim, termasuk pemerintah Malaysia yang tega memerangi saudara mereka sendiri kaum Muslim Sulu. Konsep kedaulatan teritorial dan pemujaan terhadap sistem negara-bangsa telah membutakan Malaysia dan mendorongnya menjalankan politik luar negeri rendahan yang hanya didasarkan oleh ikatan kepentingan semata, yakni kepentingan ekonomi dan politik murahan.
Drama kepalsuan itu terus berlanjut, Malaysia terus memainkan peran yang mencitrakan dirinya sebagai penjaga Islam dan pembela Muslim minoritas. Oktober tahun lalu Malaysia telah berperan memfasilitasi penandatanganan perjanjian damai di Filipina Selatan yang sudah diupayakan sejak 15 tahun lalu dan akan membentuk wilayah otonomi baru di kawasan selatan Filipina pada tahun 2016. Namun ternyata perjanjian damai ini justru menjadi racun perpecahan bagi umat Islam, memantik krisis Sabah yang menumpahkan darah umat. Ironisnya pada saat yang bersamaan dengan konflik di Sabah, Malaysia kembali memulai peran untuk menangani perdamaian Muslim minoritas di Thailand Selatan yang telah dimulai 28 Maret lalu. Sungguh sebuah peran yang hipokrit dan basa-basi yang dijalankan pemerintah Malaysia yang telah merobek persaudaraan umat Islam dengan menumpahkan darah saudaranya sendiri di Sabah.
Khilafah Akan Membebaskan dan Menyatukan Sabah dan Sulu
Islam mencela keras dan mengharamkan ashabiyah (fanatisme golongan) termasuk nasionalisme untuk digunakan sebagai identitas umat Islam, mengalahkan ikatan persaudaraan Islam (ukhuwah Islam). Allah SWT berfirman: إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ… “Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara” (QS al-Hujurat [49] : 10). Islam mengajarkan bahwa ikatan terkuat bagi seorang Muslim itu adalah Aqidah Islam yang termanifestasi dalam ukhuwah Islamiyah, dan ikatan ini wajib diletakkan diatas suku bangsa, ras ataupun warna kulit.
Pertempuran di Sabah antara militer Malaysia dengan pengikut kesultanan Sulu adalah termasuk pertempuran jahiliyah, sebagaimana kita temui dalam hadits berikut yang mencela keras pelaku ashobiyah sebagai jahiliyah :
وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
Nabi Saw bersabda: “Dan barangsiapa mati di bawah bendera fanatisme golongan, dia marah karena fanatisme golongan atau karena ingin memenangkan bangsanya kemudian dia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah. (HR. Muslim no. 3525)Islam juga mewajibkan umatnya untuk hidup di bawah satu kepemimpinan politik (Khilafah). Haram bagi mereka terfragmentasi di bawah kepemimpinan politis yang lebih dari satu, apalagi harus hidup tertindas dibawah tirani mayoritas kaum kafir seperti Muslim Moro di Filipina dan Muslim Pattani di Thailand. Rasulullah SAW pernah bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya.“ (HR. Muslim no. 3444). Oleh karena itu Khilafah akan menyatukan wilayah Sabah dan kepulauan Sulu, kepulauan Indonesia, Malaysia dengan seluruh tanah kaum Muslimin di seluruh dunia. Khilafah juga akan membebaskan tanah kaum Muslimin di Myanmar, Filipina Selatan dan Thailand Selatan, serta akan menjadi perisai bagi kehormatan umat Islam termasuk kaum Muslimah dan anak-anak di seluruh wilayah negara Khilafah.
Khilafah dengan visi politik luar negerinya yang luhur tidak akan pernah membiarkan wilayah kaum Muslimin jatuh ke tangan kuffar melalui berbagai jerat perjanjian imperialis. Daulah Khilafah akan mengakhiri politik luar negeri negeri-negeri Muslim yang penuh dengan nuansa kelemahan dan ketertundukan ini akibat jerat nasionalisme dan pengkhianatan penguasa boneka Barat. Khilafah akan menggantinya dengan sebuah visi politik luar negeri yang berorientasi mulia untuk penyebaran dakwah Islam ke seluruh dunia dengan metode dakwah dan Jihad.
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌۭ فِى ٱلْأَرْضِ وَفَسَادٌۭ كَبِيرٌۭ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” QS. al-Anfal (8) : 73Fika M. Komara, M.Si
Member Of Central Media Office Hizb ut Tahrir
0 Response to "Sebarkan... Nasionalisme Buta Malaysia Telah Menumpahkan Darah Muslimah dan Anak-Anak Muslim di Sabah"
Posting Komentar