KH.Cholil Ridwan menyatakan bahwa perang melawan teror ditujukan memang kepada Islam. Hal tersebut tersirat dari pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat George W Bush ketika menyikapi serangan 11 September 2001 terhadap menara kembar World Trade Center.
“Bush pernah kelepasan ngomong bahwa perang melawan teror itu sebuah Crusade war atau perang Salib,” Kata Ketua BKPPSI ini pada Diskusi Publik “Memberantas Terorisme tanpa Teror dan Melanggar HAM” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jl.Menteng
Pria yang juga Ketua Umum MUI Pusat ini pun meminta agar umat Islam memahami kenyataan bahwa perang melawan teror merupakan kelanjutan perang salib.
“Jadi, umat Isam perlu menyadari hal tersebut (Perang Salib),” tambahnya.
Kiyai Cholil juga mengkritisi penamaan Detasemen Khusus (Densus) 88 yang menurutnya penggunaan angka 88 merupakan simbol dari korban Bom Bali I asal Australia sebanyak 88 jiwa. Sehingga terkesan kebijakan Densus merupakan kepanjangan tangan asing.
“Kalau Densus tidak dibubarkan, maka namanya perlu diganti. Jangan seolah-oleh Densus menjalankan agenda asing,” kritiknya.
Dalam kesempatan itu, Kiyai Cholil meragukan bahwa peledakan Sari Club dan Paddi’S Club Cafe atau yang lebih dikenal sebagai peristiwa Bom Bali merupakan buah tangan dari trio Mujahid Imam Samudera dan Amrozi CS. Dilihat dari ledakan dan dampak ledakan kepada korban yang tidak biasa ia menilai ada rekayasa pihak asing dalam kejadian tersebut.
“Ledakan begitu besar dan korban yang terkena sampai tulangnya lunak, saya yakin itu bukan buatan Amrozi, tapi itu Micro nuklir buatan Amerika,” tegasnya.
Ia juga mengkritik sikap aparat dan pemerintah yang dirasa tidak adil kepada umat Islam. Terutama dalam tragedi Poso, dimana ratusan santri dan pengajar Pesantren Wali Songo dibantai namun sang pelaku tidak di cap sebagai teroris.
“Tindakan begitu keji tapi mereka tidak disebut teroris, berbeda jika yang melakukan kekerasan adalah umat Islam langsung dituduh teroris,” lontar Kiyai Cholil.
Kepada ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, kiyai Cholil meminta agar Muhammadiyah dapat membangun kembali pesantren Wali Songo yang kini tinggal puing-puing tersebut. Sebab, selain pesantren tersebut milik Muhammadiyah, pesantren Wali Songo dapat menjadi nilai pelajaran bagi generasi selanjutnya.
“Pesantren itu perlu dibangun sebagai tanda pernah terjadi kezaliman di sana,”Usulnya.
Dalam Diskusi publik tersebut, Selain dihadiri oleh Kiyai Cholil Ridwan sebagai undangan. Juga, dihadiri oleh beberapa pembicara seperti Ustadz Adnan Arsal dari Forum Perjuangan Umat Islam Poso, Siane Indriyani dari Komnas HAM, Slamet Effendy yusuf dari PBNU, Boy rafli Amar mewakili Polri, dan Din Syamsudin dari Muhammadiyah.[] (an-najah.net 11042013/www.bringislam.web.id)
“Bush pernah kelepasan ngomong bahwa perang melawan teror itu sebuah Crusade war atau perang Salib,” Kata Ketua BKPPSI ini pada Diskusi Publik “Memberantas Terorisme tanpa Teror dan Melanggar HAM” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jl.Menteng
Pria yang juga Ketua Umum MUI Pusat ini pun meminta agar umat Islam memahami kenyataan bahwa perang melawan teror merupakan kelanjutan perang salib.
“Jadi, umat Isam perlu menyadari hal tersebut (Perang Salib),” tambahnya.
Kiyai Cholil juga mengkritisi penamaan Detasemen Khusus (Densus) 88 yang menurutnya penggunaan angka 88 merupakan simbol dari korban Bom Bali I asal Australia sebanyak 88 jiwa. Sehingga terkesan kebijakan Densus merupakan kepanjangan tangan asing.
“Kalau Densus tidak dibubarkan, maka namanya perlu diganti. Jangan seolah-oleh Densus menjalankan agenda asing,” kritiknya.
Dalam kesempatan itu, Kiyai Cholil meragukan bahwa peledakan Sari Club dan Paddi’S Club Cafe atau yang lebih dikenal sebagai peristiwa Bom Bali merupakan buah tangan dari trio Mujahid Imam Samudera dan Amrozi CS. Dilihat dari ledakan dan dampak ledakan kepada korban yang tidak biasa ia menilai ada rekayasa pihak asing dalam kejadian tersebut.
“Ledakan begitu besar dan korban yang terkena sampai tulangnya lunak, saya yakin itu bukan buatan Amrozi, tapi itu Micro nuklir buatan Amerika,” tegasnya.
Ia juga mengkritik sikap aparat dan pemerintah yang dirasa tidak adil kepada umat Islam. Terutama dalam tragedi Poso, dimana ratusan santri dan pengajar Pesantren Wali Songo dibantai namun sang pelaku tidak di cap sebagai teroris.
“Tindakan begitu keji tapi mereka tidak disebut teroris, berbeda jika yang melakukan kekerasan adalah umat Islam langsung dituduh teroris,” lontar Kiyai Cholil.
Kepada ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, kiyai Cholil meminta agar Muhammadiyah dapat membangun kembali pesantren Wali Songo yang kini tinggal puing-puing tersebut. Sebab, selain pesantren tersebut milik Muhammadiyah, pesantren Wali Songo dapat menjadi nilai pelajaran bagi generasi selanjutnya.
“Pesantren itu perlu dibangun sebagai tanda pernah terjadi kezaliman di sana,”Usulnya.
Dalam Diskusi publik tersebut, Selain dihadiri oleh Kiyai Cholil Ridwan sebagai undangan. Juga, dihadiri oleh beberapa pembicara seperti Ustadz Adnan Arsal dari Forum Perjuangan Umat Islam Poso, Siane Indriyani dari Komnas HAM, Slamet Effendy yusuf dari PBNU, Boy rafli Amar mewakili Polri, dan Din Syamsudin dari Muhammadiyah.[] (an-najah.net 11042013/www.bringislam.web.id)
0 Response to "KH Cholil Ridwan: Perang Melawan Terorisme itu Perang Salib Kedua"
Posting Komentar