Indonesian Resources Studies (Iress) desak Kementerian ESDM untuk segera menghentikan proses evaluasi kontrak karya (KK) Koba Tin yang saat ini sedang berlangsung.
“Karena hal tersebut hanya akal-akalan untuk memperpanjang kontrak kepada asing (Malaysia Smelting Corporation, MSC),” tegas Direktur Iress Marwan Batubara kepada mediaumat.com, Selasa (23/4) melalui surat elektronik.
Padahal, ungkap Marwan, perusahaan milik negara, PT Timah, dan juga BUMD provinsi Babel telah menyatakan siap dan mampu melanjutkan kegiatan penambangan di wilayah kerja (WK) Koba Tin tersebut.
Ia pun menyatakan, sikap pemerintah yang masih bersedia mengevaluasi KK Koba Tin sangat bertentangan dengan kepentingan strategis nasional dan merendahkan martabat bangsa. Jika dikelola oleh PT Timah bersama BUMD, seluruh keuntungan tambang akan dinikmati rakyat.
“Sementara, sepak terjang Koba Tin selama ini justru telah merugikan negara dan PT Timah. Koba Tin telah dengan sengaja melanggar dan melecehkan hukum Indonesia,” tudingnya.
Keuangan Buruk
Berdasarkan Laporan Keuangan Koba Tin yang diperoleh Iress dari Komisi VII DPR RI, ditemukan bahwa pada tahun 2009, 2011 dan 2012 Koba Tin mengalami kerugian cukup besar, yakni masing-masing US$ 6.084.919 US$ 6.290.379 dan US$ 40.910.000.
Iress pun setidaknya mencatat lima hal esensial dari Laporan Keuangan Koba Tin. Pertama, harga jual produk timah Koba Tin lebih rendah dibanding harga jual PT Timah. Kedua, terjadi kerugian hedging 5 tahun terakhir, antara US$ 743.000 hingga US$ 2.082.000.
Ketiga, tingginya biaya operasional dalam kurun lima tahun terakhir lebih besar dari 90% terhadap penjualan, dan dalam 2 tahun terakhir telah mengalami rugi operasi.
Keempat, tingginya biaya lain-lain, berupa pembebanan interest expense on advances ke MSC dan pembayaran bunga pinjaman berkisar USD 980 ribu (2011) dan USD 4,8 juta (2008).
Kelima, total aset turun dari US$ 110 juta (2008) menjadi US$ 78 juta (2012). Total utang meningkat dari US$ 56 juta (2008) menjadi US$ 74 juta, atau naik 33%. Sementara ekuitas turun dari US$ 54 juta (2008) menjadi US$ 3,9 juta (2012).
Dari lima catatan tersebut Iress menyimpulkan kondisi keuangan Koba Tin terus memburuk. “Maka ke depan penerimaan negara berupa pajak akan terus menurun atau hilang sama sekali! Selain itu, Koba Tin pun akan mengalami kesulitan memenuhi kewajiban keuangan, sehingga ujungnya penerimaan negara akan tidak optimal, dan negara pasti dirugikan!” tegasnya.
Berdasarkan Annual Report Koba Tin 2002, nilai penyertaan PT Timah di Koba Tin adalah Rp 65,54 miliar. Sedangkan pada Annual Report 2012, nilai tersebut menjadiNOL atau hilang sama sekali.
Hal ini menunjukkan bahwa akibat penyelewengan dan rekayasa manajemen Koba Tin, PT Timah telah kehilangan seluruh nilai investasinya di Koba Tin. “Dalam hal ini saham-saham yang dipegang oleh peserta Indonesia telah diperlakukan secara tidak adil dibanding saham yang dipegang oleh MSC,” ungkapnya.
Pelanggaran Hukum
Berdasarkan kajiannya, Iress menyebutkan setidaknya ada lima faktor kesengajaan dan rekayasa yang membuat buruknya kinerja keuangan Koba Tin yang berdampak pada besarnya kerugian yang dialami negara.
Pertama, melakukan transfer pricing berupa penjualan seluruh produk kepada MSC sebagai induk usaha dengan harga di bawah harga rata-rata jual PT Timah.
Kedua, membayar biaya-biaya untuk pembayaran di muka oleh MSC berupa: a)Management and marketing fee, antara US$ 360,000 hingga US$ 390,000 per tahun; b) “Forward Sales Contract” dalam 5 tahun terakhir antara USD 743 ribu hingga USD 2,082 Juta; c) Pembebanan biaya bunga “interest expense on advances” ke MSC dan pembayaran bunga pinjaman berkisar USD 980 ribu hingga USD 4,8 juta.
Ketiga, menyembunyikan informasi dan kebijakan manajemen kepada pihak Indonesia yang diwakili oleh Direksi dan Komisaris Koba Tin yang mewakili PT Timah.
Keempat, mengubah komposisi pemegang saham Bemban Corporation Ltd sebagai SPV pemilik Kajura tanpa sepengetahuan PT timah. Aksi korporasi MSC ini tidak sesuai etika dunia bisnis yang seyogyanya harus mendapat persetujuan pemegang saham minoritas.
Kelima, mengubah kepemilikan saham pengendali Koba Tin (pemegang saham tidak langsung) tanpa mendapat persetujuan tertulis dari Menteri terkait.
Memperhatikan berbagai penyelewengan di atas, Iress menyatakan jangankan memberi perpanjangan kontrak (direncanakan dalam bentuk IUP), membiarkan Koba Tin lolos dari audit investasi dan bebas dari proses hukum pun, sudah merupakan kerugian besar bagi negara.
“Pelecehan bagi sistem hukum dan martabat bangsa! Lantas mengapa pemerintah justru ingin memperpanjang kontrak Koba Tin melalui penerbitan IUP?” kecam Marwan.
Pemerintah saat ini telah memperpanjang sementara kontrak Koba Tin selama 3 bulan. Pemerintah pun membentuk tim “evaluasi” yang tujuan akhirnya memberi IUP kepada Koba Tin dengan komposisi pemegang saham nasional yang berbeda, namun masih menyertakan MSC.
Padahal pada 12 Juli 2012, Dirjen Minerba pernah menyatakan kontrak Koba Tin tidak akan diperpanjang. “Bagaimana mungkin pemerintah masih mencari-cari alasan dan justifikasi untuk memenuhi keinginan asing yang telah nyata melanggar hukum dan merugikan bangsa?” tanya Marwan.
Patut diduga sikap tidak amanah dan mengkhianat dari oknum pemerintah disebabkan oleh kepentingan untuk memperoleh rente! Rakyat memang harus berjuang untuk memperoleh haknya, karena ternyata pemerintah yang seharusnya memberi perlindungan dan menjaga hak rakyat, justru mengutamakan kepentingan asing, pemilik modal dan para konglomerat. “Tampaknya rakyat harus berjuang menghadapi pemerintahnya sendiri,” saran Marwan. (mediaumat.com, 23/4)
0 Response to "Evaluasi KK, Akal-akalan Perpanjang Kontrak Asing"
Posting Komentar