Islam Menghapus Kekerasan Terhadap Anak


K. Arini Retnaningsih (Lajnah Tsaqofiyah MHTI)
 Seganas-ganas induk harimau, tidak akan memangsa anak sendiri.  Peribahasa ini rupanya tidak berlaku bagi manusia yang diciptakan Allah lebih sempurna daripada harimau.  Vicky (9 th) diikat lantas dibenamkan kepalanya ke dalam ember sampai tewas oleh ibunya sendiri.  Penyebabnya sepele, sang ibu malu karena alat kelaminnya justru mengecil setelah disunat.  AMH (2 th), bernasib serupa, menemui ajal dibenamkan ibu kandungnya  yang stress ke bak mandi sebuah puskesmas.
Tak hanya ibu, ayah juga bisa menjadi pelaku kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual seperti yang diungkap media belakangan ini.  Di Jakarta, RI (11 th), menjadi korban perkosaan ayahnya sendiri.  RI akhirnya harus kehilangan nyawa setelah menderita infeksi penyakit kelamin yang ditularkan sang ayah.  Ada juga PD (18 th), yang dipaksa melayani nafsu bejat ayah semenjak usianya 13 tahun, dan ZC (9 th) yang diperkosa ayah tirinya.
Kekerasan terhadap anak terjadi juga di lingkungan masyarakat terdekatnya dan sekolah.  Fahri (3.5 th) dibunuh lantas disemen tetangganya di Surabaya.  Di Medan, SN (4 th), diculik dan kemudian ditemukan telah mati dibunuh.  Pelaku ternyata juga tetangganya sendiri.  Keduanya menjadi korban dendam yang dipendam pelaku terhadap orangtuanya.  F (5 th), disodomi 2 tetangganya, salah satunya seorang polisi.  Di sekolah, ada kasus MA(15 th) yang dicabuli gurunya sendiri. Kasus terakhir adalah pemerkosaan terhadap anak kelas 6 SD oleh temannya dan seorang sopir angkot di Jakarta.
Semua kasus tersebut adalah yang terungkap di media massa.  Yang tidak terungkap, kemungkinan jauh lebih besar. Selama Januari hingga Februari 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerima 80 laporan kekerasan terhadap anak, 48 laporan diantaranya kekerasan seksual pada anak. Tahun 2012, Komnas PA menangani 2.637 kasus, 48 persennya adalah kekerasan seksual pada anak (Kompas, 28/02/2013).
Miris.  Di tengah kehidupan dunia yang katanya semakin modern, beradab dan demokratis, kejahatan terhadap anak malah semakin meningkat.  Padahal, berbagai hasil penelitian menyatakan, anak yang menjadi korban kekerasan di masa dewasanya berpotensi besar untuk menjadi pelaku kekerasan.  Artinya, bila saat ini korban semakin banyak, kelak pelaku juga akan semakin banyak, sehingga korban berikutnya semakin banyak, begitupun pelaku potensialnya.  Terus seperti itu, ibarat lingkaran setan.  Tanpa ada upaya untuk memutusnya, bagaimana masa depan bangsa yang penentunya adalah anak-anak kita?
Kekerasan pada Anak adalah Masalah Sistemik
 Banyak pihak yang mencoba menganalisis faktor penyebab maraknya kekerasan terhadap anak.  Menko Kesra Agung Laksono menuding kemiskinan, pola asuh, lingkungan baik keluarga, masyarakat, sekolah, budaya, lemahnya penegakan hukum serta kurangnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap anak (Menkokesra.com, 03/03/2013).
Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS Perlindungan Anak, pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah :
-          Kekerasan dalam rumah tangga, yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara  lainnya
-          Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi.
-          Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi.
-          Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.
-          Disamping itu, faktor penyebab kekerasan pada anak yakni terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan (Tempo, 2006).
Pembahasan faktor penyebab kekerasan terhadap anak selalu terhenti di sini.  Tidak ada upaya untuk menelaah lebih dalam, mengapa bisa terjadi kemiskinan, disfungsi keluarga, merebaknya tayangan merusak atau  buruknya implementasi hukum.  Padahal, faktor-faktor ini hakekatnya adalah akibat yang disebabkan oleh faktor lain.
Kemiskinan misalnya.  Diakui atau tidak, saat ini kita menerapkan system ekonomi kapitalis.  Dalam system ini, akses terhadap sumberdaya hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki modal.  Sedangkan orang yang tidak atau hanya sedikit memiliki modal, menjadi semakin miskin.  Kesenjangan semakin lebar antara yang miskin dan yang kaya.  Kondisi ini tidak jarang menciptakan stress di kalangan orangtua, yang kemudian melampiaskan kepada anak-anak dalam bentuk kekerasan.
Disfungsi keluarga juga hanya akibat.  Penerapan system kapitalis telah memerangkap para ibu dalam dunia kerja.  Entah karena membantu suami yang tidak cukup nafkahnya, atau terbujuk godaan untuk memiliki barang-barang mewah yang dipropagandakan sebagai sebuah kebutuhan.  Maka ibu menyerahkan pengasuhan pada orang lain atau mengabaikan anak.  Dari sini terjadi kekerasan terhadap anak oleh pengasuh, seperti beberapa waktu lalu bayi 5 bulan dibekap sampai tewas oleh pembantunya sendiri, atau pelecehan seksual oleh tetangga, atau pemerkosaan oleh ayah.
Menjamurnya pornografi juga akibat. Kebebasan yang kebablasan dari cara hidup liberal telah menghalalkan berbagai sarana pemuasan nafsu, tanpa memandang lagi akibat yang ditimbulkan.
Begitu pula implementasi hukum yang lemah.  Hukum merupakan hasil penerapan demokrasi, yang penyusunannya diserahkan kepada pikiran dan akal manusia yang sifatnya terbatas.  Rasa iba manusia membuat hukum rajam, hukuman mati, atau hukuman di hadapan khalayak ditolak.  Akibatnya hukum menjadi mandul, tidak memiliki efek pencegahan, bahkan tidak membuat jera pelaku.
Dengan demikian, kasus kekerasan pada anak pada dasarnya penyebabnya adalah penerapan system yang rusak, system yang hanya melahirkan kerusakan dan kebobrokan di semua lini kehidupan.  Selayaknya system ini kita tinggalkan, berpindah pada system yang memuliakan generasi, yang telah terbukti saat diterapkan menghasilkan anak-anak berkualitas.  Sistem itu adalah Islam.
Islam Melindungi Anak
 Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki mekanisme untuk menjamin kesejahteraan anak.  Islam menganjurkan para ibu menyusui bayinya 2 tahun.  Untuk menyempurnakan penyusuan ini, ibu dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadan.  Ayah diperintahkan untuk mencukupi nafkah ibu yang menyusui, bahkan bila pun ibu dicerai saat menyusui, ayah wajib membayar upah penyusuan (QS. Al Baqarah : 234).  Ini bertujuan agar ibu tidak perlu bekerja saat menyusui sehingga mengganggu hak anak mendapat penyusuan yang sempurna.
Begitu pula Islam memerintahkan ayah menanggung nafkah anak, sekalipun anak diasuh oleh ibunya bila terjadi perceraian.  Ini memastikan anak mendapatkan kasih sayang, pengasuhan dan pendidikan dari orang yang paling tepat secara sempurna.
Islam juga melarang orangtua menyakiti anak saat mendidik mereka.  Kebolehan memukul anak hanya setelah anak berusia 10 tahun saat tidak mau diperintahkan untuk shalat.  Itupun hanya dengan pukulan ringan yang tidak berbekas, semata-mata bertujuan memberikan pendidikan, bukan menghukum apalagi pukulan penuh emosi yang menyakiti anak.
Secara sistem, penerapan Islam secara sempurna akan menjamin penghapusan tindak kekerasan terhadap anak.  Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiyah.  Islam juga merupakan aqidah siyasi, yaitu aqidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan.
Dalam masalah ekonomi, Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya.  Semua sumberdaya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara.  Negara berkewajiban mendistribusikan seluruh hasil kekayaan negara untuk kesejahteraan warganegara, baik untuk mencukupi kebutuhan pokok, kesehatan, maupun pendidikan.  Dengan jaminan seperti ini, maka tekanan ekonomi yang menjadi salah satu faktor pemicu kekerasan terhadap anak dapat dihilangkan.
Islam menghargai kebebasan, namun menjaga agar kebebasan tersebut bernilai positif untuk kehidupan.  Perempuan boleh beraktivitas di luar rumah, namun setelah tugasnya sebagai ibu dan pengatur rumahtangga ditunaikannya secara sempurna.  Mencari nafkah tidak diwajibkan atas mereka sehingga mereka bisa berkonsentrasi penuh mengurus dan menjaga anak-anak.
Media massa juga bebas menyebarkan berita.  Tetapi mereka terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga aqidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.
Penerapan sistem Islam juga menjaga suasana taqwa terus hidup di tengah masyarakat.  Negara berkewajiban membina warganegara sehingga ketaqwaan individu menjadi pilar bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam.  Individu bertaqwa tidak akan melakukan kekerasan terhadap anak-anak.  Masyarakat yang bertaqwa juga akan selalu mengontrol agar individu tidak melakukan pelanggaran.  Maka masyarakat menjadi pilar kedua dalam pelaksanaan hukum syara’.
Pilar ketiga adalah penegakan hukum oleh negara.  Negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap para penganiaya anak.  Pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam bila sudah menikah.  Penyodomi dibunuh.  Pembunuh anak akan diqishas, yakni balas bunuh, atau membayar diyat sebanyak 100 ekor unta yang bila dikonversi saat ini senilai kurang lebih 2 milyar rupiah.  Setiap anggota tubuh anak memiliki nilai diyat sama dengan orang dewasa.  Dalam sebuah hadist (HR An Nasa’iy), Rasulullah memerinci diyat bagi setiap anggota badan yang rusak dan juga penganiayaan.  Diantaranya satu mata 50 ekor unta, begitu juga bibir dan telinga.  Bahkan satu gigi pun dikenakan diyat 5 ekor unta atau sekitar 100 juta.  Termasuk juga melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai 1/3 dari 100 ekor unta, selain hukuman zina (Abdurrahman Al Maliki, 1990, hal 214-238). Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan penganiayaan terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan.
Penerapan hukum secara utuh ini akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak secara tuntas.  Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang dan calon generasi terbaik. []

0 Response to "Islam Menghapus Kekerasan Terhadap Anak"

Posting Komentar