Oleh: Hafidz Abdurrahman
Banyak pihak yang sangsi, jika Khilafah berdiri di Suriah, negeri itu bisa bertahan dari gempuran musuh. Terlebih, jauh-jauh hari sebelum Khilafah berdiri di sana, pasukan koalisi yang dipimpin oleh AS, dengan kapal induknya, ditambah Rusia yang juga sudah menyiapkan kapal induknya, kini berada di perairan Suriah. Belum lagi, dengan kedok NATO, AS, Jerman, dan Belanda telah menyiapkan rudal patriotnya di perbatasan Turki dan Suriah. Ditambah lagi, pengkhianatan para penguasa dan antek-antek AS dan Inggris di beberapa negara ring Suriah, seperti Turki, Iran, Hizbullah di Libanon, Yordania, Qatar dan Saudi. Mungkinkah Khilafah yang baru berdiri di Suriah itu bisa bertahan, dan memenangkan “Perang Salib”?
Meski perlu dicatat, bahwa Khalifah kaum Muslim saat itu jauh lebih hebat daripada penulis, sehingga apa yang penulis tuangkan dalam tulisan ini sekadar serpihan-serpih an dari pembacaan terhadap situasi saat ini, karakter umat Islam di Suriah dan sejarah mereka dan umat Islam di masa lalu.
Situasi Saat Ini
Lambat tetapi pasti, pejuang Muslim (Mujahidin) di Suriah, dari berbagai faksi, telah berhasil menguasai sebagian besar wilayah Suriah, sehingga semakin hari kekuasaan Bashar semakin terdesak, dan membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Setiap saat, dia dan keluarganya terpaksa berpindah-pinda h tempat tidur. Kondisi ini tentu bukan hanya dialami oleh Bashar, tetapi juga AS dan sekutunya, termasuk para penguasa boneka di Timur Tengah. Inilah yang membuat AS dan sekutunya itu bekerja keras siang dan malam untuk mengaborsi Revolusi Islam di Suriah, agar gagal mewujudkan cita-citanya menegakkan Khilafah. Jika upaya ini gagal, maka AS dan sekutunya sudah menyiapkan skenario “Perang Salib” yang didukung pasukan koalisi dan antek-antek mereka di kawasan tersebut.
Saat ini, kapal induk AS USS Eisenhower dilaporkan sudah merapat di perairan Suriah, di Laut Mediterania. Kapal perang AS itu membawa delapan skuadron jet tempur pembom dan 8.000 prajurit. Jangkar kapal induk USS Eisenhower itu saat ini sudah ditancapkan di lepas pantai Suriah, bergabung dengan kapal perang USS Iwo Jima yang membawa 2.500 pasukan dengan perlengkapan perang penuh. Pengiriman kapal induk AS ini menyusul keputusan NATO, pada hari Selasa (4/12/2012) untuk menyebarkan sistem rudal Patriot di sepanjang perbatasan Turki dengan Suriah (Islam Times, 6/12/2012).
Bahkan, jauh sebelumnya, Juli 2012 yang lalu, kapal perang Rusia sudah melakukan konvoi di perarian Suriah (Kompas, 13/7/2012). Ditambah lagi, Rusia juga telah mengirimkan kapal induknya, Kuznetsov, ke Suriah (Siberian Light, 29/11/2011). Bahkan, menurut Global Security, kapal selam kelas Sierra II berukuran panjang 110,5-112,7 meter dengan lebar lambung 11,2-12,3 meter milik AL Rusia juga dideteksi telah masuk wilayah perairan Suriah (CNN, 7/11/2012).
Semuanya ini jelas-jelas menunjukkan ketakutan mereka yang luar biasa terhadap berdirinya Khilafah di Suriah. Jika mereka gagal menggagalkan berdirinya Khilafah, maka mereka sudah siap untuk menggempur Khilafah yang baru berdiri itu dari berbagai penjuru.
Karakter Umat Islam
Kaum Muslim di Suriah ini tidak bisa dipisahkan dari induk kaum Muslim di Syam, karena mereka adalah satu. Mereka disebut sebagai Syam ar-Rasul, wilayahnya disebut sebagai Shafwa Biladi-Llah. Keteguhan mereka telah dinyatakan oleh Nabi dalam hadits, bahkan mereka telah dijamin dan dilindungi oleh Allah, melalui lisan Nabi-Nya. Sampai Nabi bersabda, “Idza fasada Ahlu as-Syam la khaira fikum (Jika penduduk Syam telah rusak, maka tidak ada lagi kebaikan di tengah-tengah kalian).” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban).
Wilayah ini dahulu dibebaskan oleh Abu Ubaidah al-Jarrah dan Khalid bin al-Walid pada tahun 14 H/637 M di masa Khalifah Umar bin al-Khatthab. Pernah menjadi ibukota Khilafah pada tahun 40-132 H/ 661-750 M. Dari sinilah, Muhammad bin al-Qasim at-Tsaqafi membebaskan India; Qutaibah bin Muslim al-Bahili membebaskan Samarkand; Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nushair membebaskan Spanyol; Maslamah bin Abdul Malik mengepung Konstantinopel. Semuanya di era Khilafah Umayyah.
Saat Perang Salib, wilayah ini berhasil dikuasai oleh tentara Salib, dan dibebaskan kembali oleh pasukan Nuruddin az-Zinki dan Shalahuddin al-Ayyubi, kemudian disatukan kembali dalam pelukan Khilafah. Setelah era Khilafah Utsmaniyyah, wilayah ini bergabung dengan Khilafah tahun 1516-1918 M, hingga jatuh ke tangan Prancis tahun 1920 M.
Keistimewaan penduduk Muslim Suriah, sebagai bagian dari Ahl as-Syam, yang dinyatakan dalam hadits Nabi di atas bisa dibuktikan dalam sejarah perjuangan rakyat Palestina, yang tidak pernah padam, sejak dimulainya pendudukan Israel tahun 1948 hingga saat ini. Kini gambaran itu juga tampak pada perjuangan Mujahidin Suriah, yang sudah memasuki 28 bulan perlawanan mereka untuk menggulingkan rezim kufur Bashar Assad, la’natu-Llah. Selain itu, darah sahabat agung, Abu Ubaidah, Khalid bin al-Walid dan lain-lain, juga darah ksatria agung, seperti Shalahuddin al-Ayubi dan lain-lain juga mengalir dalam diri mereka. Para pejuang Muslim Suriah dan Palestina saat ini adalah cucu-cucu Khalid bin al-Walid; cucu-cucu Abu Ubaidah al-Jarrah; cucu-cucu Shalahuddin al-Ayyubi, dan para ksatria agung di masa lalu. Inilah sejarah agung mereka. Hanya saja, sejarah itu ditutupi oleh penindasan rezim kufur yang ditanamkan di tengah-tengah mereka oleh kaum kafir penjajah.
Karena itu, kaum Muslim di Suriah, sebagaimana di Palestina, Yordania dan Libanon mempunyai potensi yang kuat dan mengakar dalam tubuh mereka darah-darah agung para sahabat dan ksatria agung di masa lalu. Potensi ini, ditambah dengan potensi keimanan yang kuat dalam diri mereka, menjadi pondasi yang kokoh bagi Khilafah di sana. Karena itu, meski secara fisik dan materi, saat ini wilayah tersebut porak-poranda akibat perang, tetapi dengan potensi yang mereka miliki itu, dengan cepat kerusakan tersebut akan bisa dipulihkan. Bahkan, kerusakan itu tidak menghalangi wilayah itu untuk menjadi ibukota Khilafah kembali. Inilah yang dinyatakan oleh Nabi, “Uqru dar al-Islam bi as-Syam (Pusat negara Islam itu ada di Syam).” (HR at-Thabrani)
Strategi Khilafah Menghadapi Musuh
Dengan potensi seperti ini, persyaratan dasar bagi tegaknya Khilafah di suatu wilayah bisa terpenuhi. Tinggal bagaimana Khilafah mempertahankan kekuasaannya dari gempuran musuh-musuh yang kini sudah siap menyongsong Perang Salib berikutnya itu? Dilihat dari peta wilayah, saat ini AS, Rusia dan sekutunya telah memarkir kapal induknya di perairan Suriah, berbatasan dengan Libanon. Di sebelah Libanon, ada Yordania. Di sebelahnya lagi ada Irak, berbatasan dengan Turki.
Dengan kondisi seperti ini, yang bisa dilakukan oleh Khilafah, tentu tidak mungkin melawan kekuatan AS, Rusia dan sekutunya itu sendiri, terlebih para penguasa wilayah di sekelilingnya adalah agen AS dan Inggris. Maka, Khilafah bisa menyatukan Yordania dan Libanon terlebih dulu. Caranya dengan memanfaatkan kekuatan dan pengaruh kaum Muslim, khususnya Hizbut Tahrir dan ahlu al-halli wa al-aqdi di kawasan tersebut. Ketika Suriah, Yordania dan Libanon berhasil disatukan, maka tidak mustahil Irak, Turki, Mesir dan Pakistan juga bisa. Khalifah juga akan menyerukan kepada seluruh kaum muslim di seluruh dunia untuk segera bergabung dengan Khilafah, dengan memberikan bai’at tha’at kepadanya. Setelah itu, mereka harus bahu-membahu memberikan bantuan yang dibutuhkan oleh Khilafah untuk melawan musuh-musuhnya. Karena Khilafah ini adalah negara mereka. Tentang strategi perang ini, Amir Hizbut Tahrir saat ini, al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rusythah telah mengulas dalam tulisannya di tahun 90-an abad lalu.
Banyak pihak yang sangsi, jika Khilafah berdiri di Suriah, negeri itu bisa bertahan dari gempuran musuh. Terlebih, jauh-jauh hari sebelum Khilafah berdiri di sana, pasukan koalisi yang dipimpin oleh AS, dengan kapal induknya, ditambah Rusia yang juga sudah menyiapkan kapal induknya, kini berada di perairan Suriah. Belum lagi, dengan kedok NATO, AS, Jerman, dan Belanda telah menyiapkan rudal patriotnya di perbatasan Turki dan Suriah. Ditambah lagi, pengkhianatan para penguasa dan antek-antek AS dan Inggris di beberapa negara ring Suriah, seperti Turki, Iran, Hizbullah di Libanon, Yordania, Qatar dan Saudi. Mungkinkah Khilafah yang baru berdiri di Suriah itu bisa bertahan, dan memenangkan “Perang Salib”?
Meski perlu dicatat, bahwa Khalifah kaum Muslim saat itu jauh lebih hebat daripada penulis, sehingga apa yang penulis tuangkan dalam tulisan ini sekadar serpihan-serpih
Situasi Saat Ini
Lambat tetapi pasti, pejuang Muslim (Mujahidin) di Suriah, dari berbagai faksi, telah berhasil menguasai sebagian besar wilayah Suriah, sehingga semakin hari kekuasaan Bashar semakin terdesak, dan membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Setiap saat, dia dan keluarganya terpaksa berpindah-pinda
Saat ini, kapal induk AS USS Eisenhower dilaporkan sudah merapat di perairan Suriah, di Laut Mediterania. Kapal perang AS itu membawa delapan skuadron jet tempur pembom dan 8.000 prajurit. Jangkar kapal induk USS Eisenhower itu saat ini sudah ditancapkan di lepas pantai Suriah, bergabung dengan kapal perang USS Iwo Jima yang membawa 2.500 pasukan dengan perlengkapan perang penuh. Pengiriman kapal induk AS ini menyusul keputusan NATO, pada hari Selasa (4/12/2012) untuk menyebarkan sistem rudal Patriot di sepanjang perbatasan Turki dengan Suriah (Islam Times, 6/12/2012).
Bahkan, jauh sebelumnya, Juli 2012 yang lalu, kapal perang Rusia sudah melakukan konvoi di perarian Suriah (Kompas, 13/7/2012). Ditambah lagi, Rusia juga telah mengirimkan kapal induknya, Kuznetsov, ke Suriah (Siberian Light, 29/11/2011). Bahkan, menurut Global Security, kapal selam kelas Sierra II berukuran panjang 110,5-112,7 meter dengan lebar lambung 11,2-12,3 meter milik AL Rusia juga dideteksi telah masuk wilayah perairan Suriah (CNN, 7/11/2012).
Semuanya ini jelas-jelas menunjukkan ketakutan mereka yang luar biasa terhadap berdirinya Khilafah di Suriah. Jika mereka gagal menggagalkan berdirinya Khilafah, maka mereka sudah siap untuk menggempur Khilafah yang baru berdiri itu dari berbagai penjuru.
Karakter Umat Islam
Kaum Muslim di Suriah ini tidak bisa dipisahkan dari induk kaum Muslim di Syam, karena mereka adalah satu. Mereka disebut sebagai Syam ar-Rasul, wilayahnya disebut sebagai Shafwa Biladi-Llah. Keteguhan mereka telah dinyatakan oleh Nabi dalam hadits, bahkan mereka telah dijamin dan dilindungi oleh Allah, melalui lisan Nabi-Nya. Sampai Nabi bersabda, “Idza fasada Ahlu as-Syam la khaira fikum (Jika penduduk Syam telah rusak, maka tidak ada lagi kebaikan di tengah-tengah kalian).” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibn Hibban).
Wilayah ini dahulu dibebaskan oleh Abu Ubaidah al-Jarrah dan Khalid bin al-Walid pada tahun 14 H/637 M di masa Khalifah Umar bin al-Khatthab. Pernah menjadi ibukota Khilafah pada tahun 40-132 H/
Saat Perang Salib, wilayah ini berhasil dikuasai oleh tentara Salib, dan dibebaskan kembali oleh pasukan Nuruddin az-Zinki dan Shalahuddin al-Ayyubi, kemudian disatukan kembali dalam pelukan Khilafah. Setelah era Khilafah Utsmaniyyah, wilayah ini bergabung dengan Khilafah tahun 1516-1918 M, hingga jatuh ke tangan Prancis tahun 1920 M.
Keistimewaan penduduk Muslim Suriah, sebagai bagian dari Ahl as-Syam, yang dinyatakan dalam hadits Nabi di atas bisa dibuktikan dalam sejarah perjuangan rakyat Palestina, yang tidak pernah padam, sejak dimulainya pendudukan Israel tahun 1948 hingga saat ini. Kini gambaran itu juga tampak pada perjuangan Mujahidin Suriah, yang sudah memasuki 28 bulan perlawanan mereka untuk menggulingkan rezim kufur Bashar Assad, la’natu-Llah. Selain itu, darah sahabat agung, Abu Ubaidah, Khalid bin al-Walid dan lain-lain, juga darah ksatria agung, seperti Shalahuddin al-Ayubi dan lain-lain juga mengalir dalam diri mereka. Para pejuang Muslim Suriah dan Palestina saat ini adalah cucu-cucu Khalid bin al-Walid; cucu-cucu Abu Ubaidah al-Jarrah; cucu-cucu Shalahuddin al-Ayyubi, dan para ksatria agung di masa lalu. Inilah sejarah agung mereka. Hanya saja, sejarah itu ditutupi oleh penindasan rezim kufur yang ditanamkan di tengah-tengah mereka oleh kaum kafir penjajah.
Karena itu, kaum Muslim di Suriah, sebagaimana di Palestina, Yordania dan Libanon mempunyai potensi yang kuat dan mengakar dalam tubuh mereka darah-darah agung para sahabat dan ksatria agung di masa lalu. Potensi ini, ditambah dengan potensi keimanan yang kuat dalam diri mereka, menjadi pondasi yang kokoh bagi Khilafah di sana. Karena itu, meski secara fisik dan materi, saat ini wilayah tersebut porak-poranda akibat perang, tetapi dengan potensi yang mereka miliki itu, dengan cepat kerusakan tersebut akan bisa dipulihkan. Bahkan, kerusakan itu tidak menghalangi wilayah itu untuk menjadi ibukota Khilafah kembali. Inilah yang dinyatakan oleh Nabi, “Uqru dar al-Islam bi as-Syam (Pusat negara Islam itu ada di Syam).” (HR at-Thabrani)
Strategi Khilafah Menghadapi Musuh
Dengan potensi seperti ini, persyaratan dasar bagi tegaknya Khilafah di suatu wilayah bisa terpenuhi. Tinggal bagaimana Khilafah mempertahankan kekuasaannya dari gempuran musuh-musuh yang kini sudah siap menyongsong Perang Salib berikutnya itu? Dilihat dari peta wilayah, saat ini AS, Rusia dan sekutunya telah memarkir kapal induknya di perairan Suriah, berbatasan dengan Libanon. Di sebelah Libanon, ada Yordania. Di sebelahnya lagi ada Irak, berbatasan dengan Turki.
Dengan kondisi seperti ini, yang bisa dilakukan oleh Khilafah, tentu tidak mungkin melawan kekuatan AS, Rusia dan sekutunya itu sendiri, terlebih para penguasa wilayah di sekelilingnya adalah agen AS dan Inggris. Maka, Khilafah bisa menyatukan Yordania dan Libanon terlebih dulu. Caranya dengan memanfaatkan kekuatan dan pengaruh kaum Muslim, khususnya Hizbut Tahrir dan ahlu al-halli wa al-aqdi di kawasan tersebut. Ketika Suriah, Yordania dan Libanon berhasil disatukan, maka tidak mustahil Irak, Turki, Mesir dan Pakistan juga bisa. Khalifah juga akan menyerukan kepada seluruh kaum muslim di seluruh dunia untuk segera bergabung dengan Khilafah, dengan memberikan bai’at tha’at kepadanya. Setelah itu, mereka harus bahu-membahu memberikan bantuan yang dibutuhkan oleh Khilafah untuk melawan musuh-musuhnya.
Jika ini terjadi, maka Perang Salib ini akan mengulangi peristiwa Perang Ahzab, di mana pasukan kaum Muslim yang dipimpin oleh Nabi SAW saat itu dikepung oleh pasukan koalisi yang terdiri dari kafir Quraisy, Yahudi dan munafik. Persis sama seperti saat ini. AS, Rusia dan sekutunya seperti kafir Quraisy saat itu, sementara Yahudi, sejak tahun 1948 sudah ditanamkan di wilayah itu, dan kaum munafik tampak para para penguasa Turki, Iran, Yordania, dan lain-lain. Dengan izin dan pertolongan Allah, pasukan koalisi kaum kafir, Yahudi dan munafik ini pun akan kembali dikalahkan oleh Jaisy Muhammad SAW (pasukan Muhammad saw), tentara Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah yang kedua. Wallahu a’lam.
0 Response to "Ketika Khilafah Berdiri di Suriah, Bagaimana Cara Khilafah Menghadapi Gempuran Musuh."
Posting Komentar