Oleh : Abu Nasir, Ketua DPD Hizbut Tahrir Indonesia Kotawaringin Barat, Kalteng
Ibukota negara, Jakarta dibuat tak berdaya karena terendam banjir  dalam dua pekan terakhir. Padahal,  tingginya curah hujan penyebab  banjir kali ini hanya sekitar separuh dari curah hujan saat banjir besar  pada 2007. Tapi dampak yang ditimbulkan sangat dahsyat yakni  menenggelamkan banyak kawasan dan menjadikan aktivitas pemerintahan  serta ekonomi di Jakarta lumpuh total. Tak berlebihan jika Gubernur DKI  Joko Widodo  menyatakan kondisi Jakarta dalam status darurat banjir.Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 15 orang  meninggal dunia dalam bencana banjir kali ini. Di balik itu, bencana  banjir yang menimpa ibukota menghangatkan kembali wacana pemindahan  ibukota negara ke luar Jakarta. Salah satu alternatif yang dipilih  adalah Kota Palangkaraya sebagaimana yang pernah diusulkan Presiden RI  pertama Soekarno. Alasannya logis, Jakarta sudah tak mampu lagi  menampung beban sebagai pusat pemerintahan sekaligus bisnis dan ekonomi.
Selain banjir, masyarakat Jakarta setiap hari harus berjibaku  dengan kemacetan di jalan raya. Menurut pengamat kebijakan publik UI  Andrinof A. Chaniago, kerugian akibat macet mencapai lebih dari 45  triliun setiap tahunnya.  Belum lagi persoalan kesehatan, akses  pendidikan dan pemukiman padat yang menambah ruwetnya persoalan kota  yang dulunya bernama Batavia ini.
Pada sisi lain, posisi Kota Palangkaraya memiliki daya tarik  sebagai calon ibukota negara karena wilayah yang luas, jumlah penduduk  yang masih minim dan bebas gempa. Sah sah saja jika ibukota negara  pindah ke Palangkaraya atau daerah lain yang dianggap strategis. Namun,  tidak otomatis masalah banjir dan persoalan kota Jakarta akan lenyap  seiring dengan pemindahan Ibukota. Dan sangat mungkin masalah yang sama  akan kembali muncul pada wilayah ibukota yang baru, termasuk  Palangkaraya. Sebab, persoalan banjir dan masalah publik pada umumnya  bukan sekedar dipicu aspek teknis semata seperti pembuatan banjir kanal  timur yang belum tuntas, gorong gorong terlalu sempit dan lain  sebagainya. Tapi, berulangnya bencana banjir berakar persoalan sistemik  yang menjadikan permasalahan Kota Jakarta dan Indonesia pada umumnya  tidak pernah tuntas. Persoalan sistemik itu terletak pada ideologi  kapitalisme sekuler (pemisahan agama dari kehidupan)  yang menjadi  mindset (pola pikir) dan pola sikap para penguasa (pemimpin) mulai dari  pusat hingga ke kabupaten/kota.
Dari sisi pola pikir, para pemimpin didorong menjadi penguasa yang  haus kekuasaan dan menjadikan jabatan sebagai alat meraih  keuntungan  materi dengan menghalalkan segala cara. Mindset ini kemudian menular  pada pola sikap dalam bentuk kebijakan sekuler dan korupsi kekuasaan   berupa penerbitan undang undang /  izin  usaha demi melayani para  kapitalis (pemodal/orang kaya) tentunya dengan kompensasi materi yang  berlimpah. Sehingga, berbagai regulasi yang dijalankan untuk menjaga  kemaslahatan dan kesejahteraan bagi masyarakat menjadi tumpul dan  berhenti para secarik kertas karena sudah diintervensi oleh kepentingan  para pemimpin baik secara legal maupun illegal.
Sebagai contoh, dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 56 situ di  Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan  Bekasi  telah menghilang. Yang  tersisa pun mengalami pendangkalan dan kerusakan parah karena diabaikan  oleh pemda. Sedangkan luas total situ di Jabodatabek berkurang drastis  yaitu 2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya  1.462,78 hektare untuk 184 situ. Banjir di Jakarta ternyata bukan  lantaran curah hujan yang amat tinggi. Air bah yang datang lebih  disebabkan oleh kawasan resapan di Bogor yang rusak dan sungai-sungai  yang menyempit.  Sementara itu, kawasan puncak, Bogor yang menjadi area  resapan air menjadi rusak karena menjamurnya vila-vila. . Menurut BNPB,  lebar ruas Sungai Ciliwung dari Kalibata hingga Bukit Duri tinggal  tersisa 30 persen karena digerogoti hunian penduduk. Sungai ini jauh  lebih sempit dibanding ketika Ciliwung masih relatif normal pada sekitar  30 tahun silam. Masalah yang sama juga membelit 12 sungai lain. Bahkan  Kali Pesanggrahan, misalnya, cuma memiliki daya tampung air sekitar 21  persen. (tempo.co)
Menurut Iwan Januar, semestinya dengan potensi 42 danau, 13 sungai,  kanal barat dan timur, serta curah hujan yang cukup besar hingga  kapasitas 2 miliar kubik per tahun, seharusnya penduduk Jakarta bisa  memiliki air tanah dan air bersih yang melimpah. Namun, dengan dalih  untuk mendongrak pendapatan asli daerah (PAD), pemerintah merusak  lingkungan, kongkalikong dengan kapitalis dan mengabaikan kepentingan  masyarakat. Maka program penanggulangan banjir apapun, termasuk rencana  pembangunan deep tunnel tidak akan menyelesaikan persoalan. (www.hizbut-tahrir.or.id). 
 Pola kebijakan kapitalis sekuler semacam ini juga terjadi pada berbagai  daerah termasuk di Kobar. Di antaranya adalah rencana Pemkab Kobar  menerbitkan izin bagi perkebunan kelapa sawit pada desa area penyangga  Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Jika berjalan mulus, maka  kebijakan “legal” ini akan mengancam kelestarian TNTP dan merontokkan  sektor pariwisata. Perusahaan manapun yang mendapat izin usaha, pastinya  menjadikan kondisi lingkungan akan semakin rusak. Bisa ditebak,  pemerintah akan berlindung dibalik dalih klasik yakni untuk menciptakan  lapangan pekerjaan dan meningkatkan PAD. Padahal, persoalan TNTP bukan  hanya soal habitat orang utan atau pariwisata semata. Namun, lebih dari  itu merupakan upaya dan tindakan nyata guna menjaga kelestarian  lingkungan dan keseimbangan guna mendukung pembangunan berkelanjutan  khususnya di Kobar. Ironis memang, pada satu sisi Pemkab kobar  menggalakan kampanye green city melalui bungkus Adipura. Pada saat  bersamaan, tak sungkan merusak alam demi kepentingan para pemilik modal  dan segelintir pihak.
[www.bringislam.web.id]
0 Response to "Menjadi Jakarta “Kedua”, Apa Mau ?"
Posting Komentar