Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Hukum Suap
Suap (Arab: ar risywah, boleh dibaca ar rasywah atau ar rusywah) adalah
harta yang diberikan kepada setiap pemilik kewenangan (shahibus
shalahiyah) untuk mewujudkan suatu kepentingan (mashlahah) yang
semestinya wajib diwujudkan tanpa pemberian harta dari pihak yang
berkepentingan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, AI Amwal fi Daulah Al Khilafah, him. 118; Rawwas Qal’ah Jie, Mujam Lughah Al Fuqoha, him. 171; Al Mausu’ah AI Fiqhiyyah, 22/219).
Semua jenis suap haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak, baik untuk
memperoleh manfaat maupun menolak mudharat, baik untuk memperoleh yang
hak maupun yang batil, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk
melakukan kezaliman. Semua jenis suap haram hukumnya, berdasarkan keumuman hadits-hadits yang mengharamkan suap.
Dari
Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah atas
setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Dari
Tsauban RA, bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang
memberi suap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara
keduanya.
(HR Ahmad). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah,
2/334; Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, him.118).
Maka
dari itu, haram hukumnya pegawai menerima suap dalam bentuk apapun demi
suatu kepentingan yang semestinya terlaksana tanpa pembayaran dari
pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya, suap kepada polisi lalu lintas yang diberikan oleh pelanggar lalu lintas agar tidak didenda/ditilang. Suap yang diberikan orang tua murid kepada kepala sekolah agar anaknya yang tidak naik kelas bisa naik kelas. Suap yang diberikan oleh perusahaan kepada pejabat yang akan menentukan pemenang tender.
Suap yang diberikan kepada pegawai/pejabat untuk memperlancar
urusannya, seperti pengurusan SIM, KTP, surat-surat perizinan, padahal
pegawai/pejabat itu sudah digaji untuk melaksanakan urusan tersebut, dan
sebagainya. Semua contoh ini adalah suap dan setiap suap hukumnya adalah haram dan merupakan dosa besar (al kaba`ir). Na’uzhu billah min zhalik.
Hukum Hadiah
Hadiah di sini mirip dengan suap yang dijelaskan di atas. Hanya saja ada sedikit perbedaan. Suap biasanya diberikan sebelum suatu kepentingan terwujud.
Sedangkan hadiah, diberikan manakala suatu kepentingan telah terwujud,
dengan harapan agar terwujud hubungan baik demi kepentingan lain di masa
yang akan datang.
Syariah Islam menegaskan, haram hukumnya seseorang pegawai menerima hadiah yang mempunyai kaitan dengan tugas atau jabatannya.
Jabatan di sini maksudnya adalah kewenangan (otoritas) yang dimiliki
seorang pegawai/pejabat untuk menentukan sesuatu kepentingan umum
tertentu. (Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/334; Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 119).
Banyak dalil-dalil syariah yang menegaskan haramnya pegawai menerima hadiah.
Diriwayatkan daripada Jabir bin Abdullah RA bahwa Nabi SAW
bersabda,“Hadiah-hadiah yang diberikan kepada para pemimpin adalah harta
khianat (hadaya al-umara` ghulul).” (HR Thabrani dalam Al-Awsath no 5126. Dalam Majma’ Az-Zawaid Juz IV/151 Imam Al-Haitsami berkata,”Sanad hadis ini hasan”).
Diriwayatkan
daripada Buraidah RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang telah
kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia telah kami beri
gaji, maka apa saja yang diambilnya selain daripada gaji adalah harta
khianat (ghulul).” (HR Abu Dawud no 2554. Hadis sahih, lihat Nasiruddin Al-Albani, Sahih At-Targhib wa At-Tarhib, Juz I/191).
Diriwayatkan
dari Abu Hamid As-Sa’idi RA bahwa Nabi SAW pernah mengutuskan Ibnu
Lutbiyah untuk mengumpulkan zakat dari Bani Sulaim. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ibnu Lutbiyah berkata kepada Nabi SAW,”Ini zakat yang saya kumpulkan, saya serahkan kepada Anda. Sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepada saya.”
Maka Nabi SAW bersabda,“Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah
ayahmu atau ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang
benar?” (HR Bukhari no 6464).
Imam
Taqiuddin An-Nabhani menjelaskan,”Ketiga hadis di atas dengan jelas
menunjukkan bahwa hadiah yang diberikan kepada pegawai yang melaksanakan
tugas umum adalah haram, baik yang diberikan sebelum dia menetapkan
kebijakan tertentu ataupun sesudahnya, atau diberikan karena dia adalah
pemegang kebijakan dalam urusan tertentu, atau diberikan karena dia
adalah orang yang berpengaruh terhadap penguasa. Semuanya adalah haram.” (Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/338).
Yang dikecualikan dari keharaman ini adalah hadiah kepada pegawai yang diberikan bukan karena tugas atau jabatannya.
Contohnya karena hubungan pribadi antara seseorang dengan pegawai sejak
sebelum dia menjadi pegawai, sehingga telah terbiasa memberi hadiah. Hadiah seperti ini boleh (mubah) hukumnya.
Dalilnya
sabda Nabi SAW di atas, “Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah
ayahmu atau ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang
benar?” (HR Bukhari).
Dari hadis ini, dapat ditarik pemahaman yang sebaliknya yang tersirat
(mafhum mukhalafah), yakni kalau hadiah itu datang kepada seseorang
sedangkan ia duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, maka hadiah
itu dibolehkan.
Artinya,
jika hadiah itu diberikan tidak mempunyai kaitan dengan tugas atau
jabatan, tetapi karena adanya hubungan pribadi sebelumnya, hukumnya
boleh (mubah), tidak haram.
Maka dari itu, jika kita sudah terbiasa memberi hadiah kepada seseorang
sebelum dia menjadi pegawai, maka jika suatu hari dia menjadi pegawai,
kita tetap dibolehkan untuk memberinya hadiah. (Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/338). Wallahu a’lam.[
0 Response to "Hukum Seputar Suap Dalam Islam"
Posting Komentar