Dalam Liqa Syawal HTI di Bukit Tinggi pada 15 September lalu, yang
dihadiri oleh lebih kurang 150 ulama, buya dan ustadz dari berbagai
kota di Sumatera Barat, banyak pertanyaan dan pernyataan menarik yang
diajukan oleh peserta. Di antaranya, “Kenapa HTI hanya seperti penonton
dari sebuah pertandingan? Kenapa HTI tidak ikut bermain?”
Pertanyaan ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa HTI tidak pernah ikut terjun sebagai peserta Pemilu. Itu diartikan bahwa HTI hanya menjadi penonton.
Memang banyak pertanyaan dari kalangan tokoh maupun awam terkait sepak terjang HT(I) baik berkenaan dengan pemikiran (fikrah) maupun metode gerak (thariqah)-nya. Dari segi fikrah, agaknya tidak terlalu sulit untuk menjelaskan mengapa syariah dan khilafah harus ditegakkan. Banyak argumen syar’i, i’tiqadi bahkan juga argumen historis yang bisa dimajukan untuk menegaskan bahwa tegaknya syariah dan khilafah is a must (sebuah keharusan). Terbukti dari membuncahnya dukungan dari berbagai kalangan dalam tiap perhelatan kolosal yang dilakukan oleh HTI seperti Muktamar Khilafah di sepanjang bulan Mei – Juni 2013 lalu yang total dihadiri oleh lebih dari 350 ribu peserta di 31 kota besar di Indonesia.
Berbeda halnya dengan thariqah atau metode perjuangan. Jangankan kalangan awam, mereka yang notabene berasal dari kalangan cerdik pandai, ulama, kiai atau buya sekalipun tidak sedikit yang masih sulit memahami metode perjuangan HT(I) dalam mewujudkan tujuannya itu. Mereka selalu bertanya-tanya, bagaimana syariah dan khilafah bisa ditegakkan dengan cara yang seperti yang selama ini dilakukan oleh HTI. “Apa iya melalui demo, diskusi, seminar, tablig akbar dan lainnya, syariah dan khilafah bisa tegak.”
Pertanyaan senada juga diajukan, “Jadi, kapan HTI benar-benar berbuat secara nyata? Jangan hanya omong doang…”
Dewasa ini umumnya umat memahami bahwa jalan perjuangan guna meraih
tujuan politik, termasuk tujuan politik Islam, hanya satu, yakni melalui
Pemilu. Lewat Pemilu, partai politik akan memperebutkan kursi di
parlemen dan jabatan-jabatan publik. Dari sana diteorikan akan bisa
dilahirkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang Islami. Oleh
karena itu, penting buat partai politik Islam menjadi peserta Pemilu dan
memenangkan pertarungan dalam Pemilu itu. Dalam kerangka ini memang
jadi tampak aneh bila ada partai atau kelompok politik, seperti Hizbut
Tahrir, yang punya tujuan politik yang demikian tinggi, tetapi tidak
ikut Pemilu. Lalu bagaimana cita-cita politiknya itu bisa diraih? Oleh
karena itu, wajar pula bila lantas Hizbut Tahrir dituding hanya omong
saja, tidak ada kerja yang kongkret, dan puas hanya sekadar sebagai
penonton. Namun, benarkah HT (I) hanya sekadar sebagai penonton?
Orang banyak lupa, perubahan politik terjadi tidak melulu melalui Pemilu. Bahkan bisa dibilang semua perubahan politik besar justru terjadi bukan melalui jalan pemilu. Lihatlah bagaimana pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, juga berakhirnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi. Semua terjadi bukan melalui Pemilu. Perubahan besar di Timur Tengah juga terjadi bukan melalui Pemilu. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau orang memutlakkan Pemilu sebagai jalan perubahan dan tercapainya cita-cita politik. Apalagi dalam kenyataannya, Pemilu tidak pernah memberikan kesempatan pada kekuatan politik Islam untuk benar-benar meraih tujuan politik islaminya. Lihatlah apa yang terjadi di Aljazair, di Palestina, Turki dan yang terakhir di Mesir saat Presiden Muhammad Mursi yang meraih jabatan itu melalui Pemilu kemudian secara keji dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan negara Barat. Bukan hanya mengkudeta Mursi, militer Mesir juga (bakal) membubarkan Ikhwanul Muslimin setelah sebelumnya membantai ribuan pendukung Mursi. Peristiwa ini seolah mengulangi apa yang sebelumnya terjadi pada FIS di Aljazair dan Erbakan di Turki. Keduanya memenangi Pemilu, bahkan Erbakan sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Turki selama 2 tahun sebelum akhirnya dihentikan oleh militer. Di Aljazair, hasil Pemilu yang dimenangi oleh FIS dibatalkan, bahkan kemudian FIS menjadi partai terlarang dan lebih dari 30 ribu anggotanya, termasuk Ali Belhaj dan Abbas Madani, dua tokoh utama FIS, dipenjara.
Artinya, Pemilu dalam sistem demokrasi hanya memberikan jalan bagi kekuatan politik Islam meraih tujuan politiknya sepanjang hal itu tidak membahayakan kepentingan Barat dan keberlangsungan sistem sekularisme. Sekali muncul kekuatan politik Islam yang berhasil meraih kekuasaan, yang dengan kekuasaan itu bakal menegakkan Islam yang sebenarnya—seperti FIS yang memang telah menyiapkan konstitusi baru bagi Aljazair yang sepenuhnya berdasar Islam, atau dikhawatirkan condong kepada Islam seperti Erbakan di Turki atau Mursi di Mesir—Barat tak segan akan menghentikan kekuatan politik itu dengan segala cara (at all cost). Karena itu, bagaimana kita masih saja terus percaya pada jalan ini, dan menggantungkan masa depan cita-cita politik kita pada jalan ini?
Tujuan perjuangan HT(I) sangat jelas, yakni melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali syariah dan khilafah. Dalam mewujudkan tujuan politiknya itu, HT(I) mengikuti metode (thariqah) dakwah Rasulullah saw. Dimulai dari tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin), interaksi dengan umat (tafa’ul ma’al-ummah) dan tahap istilamul-hukmi (penyerah terimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dari tahap pembinaan dan pengkaderan terlahir kader dakwah yang ber-syakhshiyyah Islam dan pengembangan tubuh jamaah. Lalu dengan interaksi dengan umat melalui berbagai kegiatan seperti yang selama ini dilakukan, ide-ide Islam berkembang dan menjadi opini publik. Pada saat yang sama, dilakukan kontak dengan the influenzial people (ashabul fa’aliyat) serta ahlul quwwah baik dari kalangan penguasa maupun pemimpin militer, sedemikian sehingga mereka paham, bersetuju dan mendukung bahkan memberikan nushrah atau pertolongan kepada dakwah sehingga tercapai tujuan politik, yakni tegaknya syariah dan khilafah.
Dari sini jelas sekali terlihat, HT(I) bukanlah tengah duduk manis sebagai penonton. Bahwa HT(I) tidak bekerja melalui jalan demokrasi sebagaimana disebut diatas, itu betul. Namun, mengatakan bahwa HT(I) tidak bekerja secara nyata jelas sebuah tudingan yang tidak berdasar karena pada faktanya HT(I) justru tengah bekerja bahkan dengan sangat sistematis untuk mewujudkan tujuan politiknya. Hanya saja, jalan yang ditempuh HT(I) tidaklah sama dengan jalan yang ditempuh oleh umumnya kelompok politik yang memilih jalan demokrasi. Jadi rumusan yang tepat adalah, sama seperti kelompok politik lain, HT(I) juga tengah bekerja, tetapi di area yang berbeda. Dari sisi HT(I), merekalah yang justru tengah “menonton” bagaimana HT(I) bekerja.
Guna terbentuknya kesadaran pada kader dakwah dan tersebarnya opini Islam di tengah masyarakat, dakwah memang harus dilakukan melalui media lisan dan atau tulisan. Diskusi, seminar, tablig akbar, demo, penerbitan majalah dan lainnya hanyalah sebagian dari uslub (teknik) dan wasilah (sarana) bagi sampainya dakwah kepada masyarakat. Dakwah dengan lisan dan tulisan seperti itu juga adalah amal shalih karena amal shalih bisa bersifat qawliyah (perkataan) atau fi’liyah (perbuatan). Jadi, bagaimana HT(I) dikatakan hanya omong doang?
Begitulah kurang lebih jawaban yang disampaikan kepada para ulama atau
buya dan ustadz yang hadir pada Liqa Syawal HTI di Bukit Tinggi terhadap
pertanyaan yang tampaknya juga kerap dimajukan di berbagai forum lain.
Pertanyaan demikian menunjukkan kekurangpahaman para tokoh terhadap
metode gerak atau perjuangan HT(I). Karena itu diperlukan kesabaran dan
sekaligus sedikit kecerdikan untuk menjelaskan semua itu agar terbentuk
pemahaman dan persetujuan sekaligus sikap optimisme dalam perjuangan.
Insya Allah…
Pertanyaan ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa HTI tidak pernah ikut terjun sebagai peserta Pemilu. Itu diartikan bahwa HTI hanya menjadi penonton.
Memang banyak pertanyaan dari kalangan tokoh maupun awam terkait sepak terjang HT(I) baik berkenaan dengan pemikiran (fikrah) maupun metode gerak (thariqah)-nya. Dari segi fikrah, agaknya tidak terlalu sulit untuk menjelaskan mengapa syariah dan khilafah harus ditegakkan. Banyak argumen syar’i, i’tiqadi bahkan juga argumen historis yang bisa dimajukan untuk menegaskan bahwa tegaknya syariah dan khilafah is a must (sebuah keharusan). Terbukti dari membuncahnya dukungan dari berbagai kalangan dalam tiap perhelatan kolosal yang dilakukan oleh HTI seperti Muktamar Khilafah di sepanjang bulan Mei – Juni 2013 lalu yang total dihadiri oleh lebih dari 350 ribu peserta di 31 kota besar di Indonesia.
Berbeda halnya dengan thariqah atau metode perjuangan. Jangankan kalangan awam, mereka yang notabene berasal dari kalangan cerdik pandai, ulama, kiai atau buya sekalipun tidak sedikit yang masih sulit memahami metode perjuangan HT(I) dalam mewujudkan tujuannya itu. Mereka selalu bertanya-tanya, bagaimana syariah dan khilafah bisa ditegakkan dengan cara yang seperti yang selama ini dilakukan oleh HTI. “Apa iya melalui demo, diskusi, seminar, tablig akbar dan lainnya, syariah dan khilafah bisa tegak.”
Pertanyaan senada juga diajukan, “Jadi, kapan HTI benar-benar berbuat secara nyata? Jangan hanya omong doang…”
++++
Orang banyak lupa, perubahan politik terjadi tidak melulu melalui Pemilu. Bahkan bisa dibilang semua perubahan politik besar justru terjadi bukan melalui jalan pemilu. Lihatlah bagaimana pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, juga berakhirnya rezim Orde Baru oleh gerakan reformasi. Semua terjadi bukan melalui Pemilu. Perubahan besar di Timur Tengah juga terjadi bukan melalui Pemilu. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau orang memutlakkan Pemilu sebagai jalan perubahan dan tercapainya cita-cita politik. Apalagi dalam kenyataannya, Pemilu tidak pernah memberikan kesempatan pada kekuatan politik Islam untuk benar-benar meraih tujuan politik islaminya. Lihatlah apa yang terjadi di Aljazair, di Palestina, Turki dan yang terakhir di Mesir saat Presiden Muhammad Mursi yang meraih jabatan itu melalui Pemilu kemudian secara keji dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan negara Barat. Bukan hanya mengkudeta Mursi, militer Mesir juga (bakal) membubarkan Ikhwanul Muslimin setelah sebelumnya membantai ribuan pendukung Mursi. Peristiwa ini seolah mengulangi apa yang sebelumnya terjadi pada FIS di Aljazair dan Erbakan di Turki. Keduanya memenangi Pemilu, bahkan Erbakan sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Turki selama 2 tahun sebelum akhirnya dihentikan oleh militer. Di Aljazair, hasil Pemilu yang dimenangi oleh FIS dibatalkan, bahkan kemudian FIS menjadi partai terlarang dan lebih dari 30 ribu anggotanya, termasuk Ali Belhaj dan Abbas Madani, dua tokoh utama FIS, dipenjara.
Artinya, Pemilu dalam sistem demokrasi hanya memberikan jalan bagi kekuatan politik Islam meraih tujuan politiknya sepanjang hal itu tidak membahayakan kepentingan Barat dan keberlangsungan sistem sekularisme. Sekali muncul kekuatan politik Islam yang berhasil meraih kekuasaan, yang dengan kekuasaan itu bakal menegakkan Islam yang sebenarnya—seperti FIS yang memang telah menyiapkan konstitusi baru bagi Aljazair yang sepenuhnya berdasar Islam, atau dikhawatirkan condong kepada Islam seperti Erbakan di Turki atau Mursi di Mesir—Barat tak segan akan menghentikan kekuatan politik itu dengan segala cara (at all cost). Karena itu, bagaimana kita masih saja terus percaya pada jalan ini, dan menggantungkan masa depan cita-cita politik kita pada jalan ini?
Tujuan perjuangan HT(I) sangat jelas, yakni melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali syariah dan khilafah. Dalam mewujudkan tujuan politiknya itu, HT(I) mengikuti metode (thariqah) dakwah Rasulullah saw. Dimulai dari tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif wa takwin), interaksi dengan umat (tafa’ul ma’al-ummah) dan tahap istilamul-hukmi (penyerah terimaan kekuasaan) melalui dukungan ahlun-nushrah. Dari tahap pembinaan dan pengkaderan terlahir kader dakwah yang ber-syakhshiyyah Islam dan pengembangan tubuh jamaah. Lalu dengan interaksi dengan umat melalui berbagai kegiatan seperti yang selama ini dilakukan, ide-ide Islam berkembang dan menjadi opini publik. Pada saat yang sama, dilakukan kontak dengan the influenzial people (ashabul fa’aliyat) serta ahlul quwwah baik dari kalangan penguasa maupun pemimpin militer, sedemikian sehingga mereka paham, bersetuju dan mendukung bahkan memberikan nushrah atau pertolongan kepada dakwah sehingga tercapai tujuan politik, yakni tegaknya syariah dan khilafah.
Dari sini jelas sekali terlihat, HT(I) bukanlah tengah duduk manis sebagai penonton. Bahwa HT(I) tidak bekerja melalui jalan demokrasi sebagaimana disebut diatas, itu betul. Namun, mengatakan bahwa HT(I) tidak bekerja secara nyata jelas sebuah tudingan yang tidak berdasar karena pada faktanya HT(I) justru tengah bekerja bahkan dengan sangat sistematis untuk mewujudkan tujuan politiknya. Hanya saja, jalan yang ditempuh HT(I) tidaklah sama dengan jalan yang ditempuh oleh umumnya kelompok politik yang memilih jalan demokrasi. Jadi rumusan yang tepat adalah, sama seperti kelompok politik lain, HT(I) juga tengah bekerja, tetapi di area yang berbeda. Dari sisi HT(I), merekalah yang justru tengah “menonton” bagaimana HT(I) bekerja.
Guna terbentuknya kesadaran pada kader dakwah dan tersebarnya opini Islam di tengah masyarakat, dakwah memang harus dilakukan melalui media lisan dan atau tulisan. Diskusi, seminar, tablig akbar, demo, penerbitan majalah dan lainnya hanyalah sebagian dari uslub (teknik) dan wasilah (sarana) bagi sampainya dakwah kepada masyarakat. Dakwah dengan lisan dan tulisan seperti itu juga adalah amal shalih karena amal shalih bisa bersifat qawliyah (perkataan) atau fi’liyah (perbuatan). Jadi, bagaimana HT(I) dikatakan hanya omong doang?
++++
0 Response to "Hizbut-Tahrir Tidak ikut Pemilu, HTI Jadi Penonton??"
Posting Komentar