Larangan Berkerudung Bagi Muslimah di Indonesia: Mana Toleransi Untuk Kelompok Mayoritas?

Polwan Nggak boleh Berjilbab Bro
Oleh: Iwan Januar (Lajnah Siyasah Hizbut Tahrir Indonesia)

Seorang polwan yang bertugas di Jawa Tengah meminta bantuan kepada MUI agar mereka dapat menjalankan hak mereka berbusana muslimah. Sebelumnya, Kapolri mengeluarkan edaran bahwa busana kerudung bagi polwan hanya berlaku untuk daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Akibatnya, mereka terancam sanksi atau harus melepaskan kerudung saat bertugas.


Fenomena ini adalah sebuah anomali. Sebagai umat mayoritas, umat Islam justru paling kesulitan menjalankan beragam ajaran agama mereka sendiri. Meski sudah merdeka puluhan tahun, akan tetapi kasus kerudung dan jilbab masih saja menjadi ganjalan. Pakaian kerudung baru boleh digunakan di sekolah-sekolah umum pada akhir tahun 80-an. Tepatnya dengan dikeluarkannya SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991, yang menghapus SK 052/C/Kep/D.82 tentang seragam sekolah nasional oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Persoalan kerudung dan jilbab faktanya hingga kini tak kunjung selesai.  Masih ada instansi pemerintah dan swasta yang melarang karyawatinya mengenakan kerudung dan jilbab. pada tahun 2012, Geeta International School (GIS), sebuah sekolah internasional di Kota Cirebon sempat melarang siswi dan karyawatinya berjilbab. Namun setelah mendapat dua kali surat peringatan dari Pemkot Cirebon, yang didukung seluruh lembaga pemerintahan, DPRD, dan masyarakat. Pihak sekolah akhirnya menyerah.

Sampai sekarang pun masih saja terdengar berita perempuan pekerja seperti perawat, SPG atau buruh, yang dilarang mengenakan kerudung dan jilbab di tempat mereka bekerja. Ada sebagian yang menjadi pemberitaan, tapi lebih banyak yang terpendam yang akhirnya membuat muslimah itu menyerah atau pindah bekerja di tempat lain.

Namun demikian kasus-kasus intoleransi terhadap umat Islam justru tidak pernah mendapat advokasi dari para pejuang toleransi antarumat beragama. Padahal seperti kita ketahui, sejumlah tokoh liberal dan lintas agama mengkritik SBY karena mendapat penghargaan World Statesman Award dari organisasi Appeal of Conscience Foundation (ACF). Menurut mereka SBY belum berhasil menciptakan suasana toleransi antarumat beragama. Namun para pejuang HAM, kalangan liberal, ataupun tokoh lintas agama mendadak bungkam-tuli-hilang nalar kritisnya saat yang menjadi korban adalah umat Islam. Padahal kasus seperti pelarangan jilbab ini telah berulang kali terjadi di tanah air. Dan ini bukan sekedar aturan kedinasan atau peraturan perusahaan, ini adalah pelarangan atas hak beribadah dan menjalankan aturan agama bagi kaum muslimah. Bukankah ini berarti mereka sudah mendapat perlakuan yang tidak toleran?

Tapi kita memahami bahwa makna ‘toleransi’ yang diperjuangkan kelompok-kelompok itu adalah bagi kepentingan mereka, yakni demokrasi, sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Tidak berlaku bagi muslim yang menjadi korban karena ketaatan dalam agamanya.

Slogan toleransi yang sekarang sering kita dengar adalah ilusi dan kosong belaka. Sekaligus ironi bagi umat yang mayoritas tapi selalu kesulitan menjalankan aturan agamanya di negeri yang padahal telah dibebaskan oleh nenek moyang mereka dengan darah dan jiwa dari cengkeraman penjajah. Akan tetapi hal itu tidak pernah dipandang sebagai sebuah ketertindasan dan sikap intoleran, karena keinginan kelompok-kelompok liberal dan pluralis adalah memang ingin melucuti keimanan dan ketakwaan dari diri kaum muslimin.

Toleransi umat beragama yang sebenarnya tidak akan pernah diperoleh di alam demokrasi dan sekulerisme. Beberapa negara Barat seperti Prancis adalah contoh ‘baik’ bagaimana cara demokrasi memperlakukan kaum muslimin. Selalu ada standar ganda bagi umat Islam.

Toleransi yang hakiki hanya bisa diperoleh dalam syariat Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah. Dimana penguasanya dengan menjalankan syariat akan melindungi segenap warganya baik yang muslim maupun ahludz dzimmah. Sebagaimana sabda Nabi saw.:
«مَنْ قَتَلَ مُعَاهَداً لَـمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإنَّ رِيحَهَا يُوْجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَـعِينَ عَامَاً». أخرجه البخاري
Dari Abdillah Ibnu ‘Amr radliyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa membunuh mu’ahad maka ia tidak mencium wangi surga, dan sesungguhnya wanginya itu didapatkan dari perjalanan empat puluh tahun. (HR. Al Bukhari)

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

0 Response to "Larangan Berkerudung Bagi Muslimah di Indonesia: Mana Toleransi Untuk Kelompok Mayoritas?"

Posting Komentar