Akhir Tahun, Prioritaskan Muhasabah dan Peningkatan Iman


 

UMUR tahun masehi 2012 akan segera berakhir.  Biasanya, tradisi banyak orang menyambutnya dengan gegap gempita diiringi hura-hura. secara historis-filosofis, penanggalan Masehi merupakan manivestasi keyakinan Yunani Kuno dan ajaran Kristen.
E. Darmawan Abdullah dalam bukunya ‘Jam Hijriyah’ menjelaskan bahwa Tahun Masehi adalah penanggalan yang bersumber pada tradisi orang Romawi. Dalam ssejarahnya, penanggalan Romawi berawal dari penaanggalan yang dibuat oleh orang-orang Yunani kuno untuk menandai kelahiran dewa matahari.

Ketika kaisar Romawi memeluk agama Kristen, berarti keyakinan leluhurnya terhadap dewa matahari harus ditinggalkan dan menyembah Yesus Kristus sebagai tuhannya. Sejak saat itulah, penanggalan Masehi menetapkan hitungan tahun pertamanya pada hari kelahiran Isa Al-Masih, itulah penanggalan Masehi. Jadi, penanggalan Masehi adalah manivestasi keyakinan Kristen.

Seperti diketahui, nama-nama bulan dalam penanggalan Masehi masih menggunakan nama-nama para dewa Yunani kuno. Terdapat 6 dari 12 nama-nama bulan yang menggunakan nama-nama dewa dan dewi sembahan mereka. Enam bulan pertama (Januari – Juni) adalah nama para dewa, bulan ke 7 dan ke 8 menggunakan nama raja mereka, sedangkan bulan ke 9 sampai ke 12, menggunakan nomor urut bilangan bulan.

E. Darmawan Abdullah menilai tidak dihapuskannya nama-nama bulan dalam penanggalan Masehi oleh kaisar Romawi kala itu, adalah dalam rangka memperingati kebesaran bangsa Romawi, sehingga nama bulannya tetap eksis, abadi melayani sejarah kehidupan. Kaisar tidak ingin dunia tidak mengenal kebesaran bangsa Romawi.

Karena itu, tidak semestinya umat Islam perlu bergegap gempita menyambut pergantian tahun yang menyisakan hitungan hari ke depan. Hal itu tidak lain karena Masehi adalah manives keyakinan agama lain. Sementara Islam, melarang keras umatnya ikut-ikutan dalam perkara-perkara yang merupakan manives dari agama lain.

Perlu diketahui juga di sini, bahwa awalnya penanggalan Roma hanya berjumlah 10 bulan dalam setahunnya (Maret – Desember). Nah, seiring perjalan waktu dan terkuaknya ilmu astronomi yang menemukan bahwa setahun itu ada 12 bulan, maka di kemudian hari, bulan pun ditambah dua, yaitu Januari dan Februari, sehingga lengkaplah tahun Masehi menjadi 12 bulan.

Tidak berhenti di situ, pergantian nomor urut pun tidak bisa dihindari. Bulan Maret yang awalnya bulan pertama diganti dengan bulan Januari. Mengapa? Ya karena Januari adalah nama dewa Janus (penjaga gerbang). Jadi, tepat jika berada di awal tahun. 

Muhasabah


Secara akidah, ikut merayakan perayaan Tahun Baru Masehi adalah keliru. Secara empiris, tidak relevan jika pergantian tahun dihadapi dengan pesta dan hura-hura. Meski demikian, setidaknya, karena tradisi itu terjadi di sekitar kita,  maka sebaiknya kita bisa mensikapinya atau mengajak yang lain memanfaatkannya dengan cara yang baik.

Cara yang tepat dengan adanya pergantian tahun adalah dengan cara muhasabah  atau introspeksi diri. Muhasabah adalah melakukan evaluasi, dan bersikap kritis kepada diri sendiri. Bermuhasabah berarti mencoba mengenali kelebihan dan kekurangan yang ada. Kelebihan yang diberikan Allah akan dimanfaatkan untuk menambah raihan kebaikan. Sementara kekurangan dijadikan sebagai momentum memperbaiki diri agar lebih baik dari waktu ke waktu.Demikian keadaan orang yang aktif melakukan muhasabah.

Introspeksi  dengan melakukan renungan tentang umur, harta, kesempatan, dan waktu yang ada. Untuk apa umur kita selama ini? Dari mana kita memperoleh harta dan ke mana harta tersebut kita keluarkan? Bagaimana kita memanfaatkan kesempatan yang ada? Dan dengan apa kita mengisi waktu hidup ini?

Nabi mengajarkan kepada kita untuk muhasabah lewat sabdanya; “Orang yang beruntung adalah orang yang menghisab dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu serta berangan-angan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala.” (HR. Turmudzi). [baca juga: Teladan Salafus Shalih Dalam Muhasabah]

Karenanya sungguh menyedihkan jika kita ikut merayakan pergantian tahun apalagi dengan cara karaokean, plesiran, begadang semalam suntuk laki dan perempuan bercampur.
Hakikat Waktu


Berbicara waktu, menarik apa yang disampaikan oleh Malik Bennabi dalam bukunya ‘Syurutu al-Nahdhah’.


Ia mengatakan, “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru. "Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat."


Kemudian, ia melanjutkan, “Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu --selain Tuhan-- tidak akan mampu melepaskan diri darinya.


Jadi, jangan sepelekan waktu, apalagi dengan melakukan hal-hal yang kita tidak mengerti apa alasan dan manfaat melakukan sesuatu. Berhati-hatilah, waktu adalah penentu. Dan, kelak setiap perbuatan pasti akan dimintai pertanggungjawaban.
عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93).

Prioritaskan Iman


Sekarang saatnya umat Islam berpikir dan terus-menerus menggali apa sebenarnya makna kehidupan ini. Dan, dalam konteks sekarang, apa urgensi dan argumentasinya umat Islam ikut-ikutan bergembira merayakan Tahun Baru.

Kaji sejarahnya, pelajari mengapa umat Islam juga punya kalender sendiri. Apakah itu sekedar hanya berbeda atau justru bentuk pengabdian sebuah keyakinan? Jika itu ternyata bentuk keyakinan, maka jelas, umat Islam terlarang mengikuti perayaan agama lain.

Dengan demikian, setelah jelas apa itu Masehi dan bagaimana sejarahnya, akan sangat baik jika semua umat Islam, keluarga Muslim, generasi muda Muslim memprioritaskan program peningkatan iman, yang nyata lebih dibutuhkan, daripada sekedar ikut-ikutan orang merayakan sesuatu yang sebenarnya tidak dikenal dalam ajaran Islam.

Berbicara tahun, berarti membahas waktu. Al-Qur’an (Al-Ashr : 1 – 3) mengingatkan kita tentang urgensi waktu. Disebutkan bahwa semua manusia itu merugi, melainkan yang beriman (hidup sehari-harinya; pikiran, ucapan, dan aktivitasnya hanyalah untuk menguatkan dan menyempurnakan iman dengan senantiasa beramal sholeh, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran).

Jadi, sangat baik jika kita semua senantiasa menghias diri dengan hal-hal yang dapat meningkatkan iman. Bukan sebaliknya, justru melemahkan bahkan merusak iman sendiri.

Padahal, Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan kita agar senantiasa sigap dalam mempersiapkan hari esok (akhirat) dengan ketakwaan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Hasyr [59]: 18).

Oleh karena itu, perbanyaklah membaca al-Qur’an, menghadiri majelis ilmu, bersilaturrahim dengan keluarga jauh, atau menyantuni saudara kita yang membutuhkan. Hal itu akan sangat baik bagi kehidupan dunia akhirat kita, daripada mengeluarkan uang beli terompet, bakar petasan, kembang api, atau aktivitas-aktivitas mubadzir lainnya.*/Imam Nawawi 

hidayatullah

0 Response to "Akhir Tahun, Prioritaskan Muhasabah dan Peningkatan Iman "

Posting Komentar