Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman: “Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu”, dan mereka (sendiri) sedikit pun tidak (sanggup), memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta. Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan (TQS al-Akabut [9]: 12-13).
Orang beriman wajib kukuh memegang keimanannya. Termasuk ketika berbagai cobaan dan ujian, baik yang keras dan meyakitkan, maupun yang halus dan menyenangkan. Juga, ketika berhadapan dengan kaum kafir yang melakukan berbagai jurus dan cara untuk memurtadkan umat Islam dari agamanya. Ayat ini di antara yang menjelaskan salah satu cara yang dilakukan orang kafir.
Propaganda Kaum Kafir
Allah SWT berfirman: Waqâla al-ladzîna kafarû li al-ladzîna âmanû (dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman). Menurut Mujahid, ini adalah perkataan orang kafir Makkah kepada orang-orang beriman. Penjelasan yang sama juga dikemukakan Ibnu Katsir, al-Zamakhsyari, dan lain-lain.
Meskipun demikian, perkataan tersebut bisa saja diucapkan oleh orang-orang kafir lainnya. Diberitakannya perkataan mereka beserta bantahan terhadapnya menjadi petunjuk bagi kaum Muslim dalam meghadapi perkataan serupa.
Perkataan yang diucapkan orang kafir itu adalah: [i]ttabi’û sabîlanâ (“Ikutilah jalan kami). Dijelaskan Ahmad Mukhtar dalam Mu’jam al-Lughah al-‘Arabyyah, kata ittaba’a fulân[an] berarti berjalan di belakangnya, mengikutinya, dan membuntutinya. Bisa juga berarti meniru dan meneladaninya. Dengan ini merupakan ajakan orang kafir terhadap orang beriman agar mau meniru dan mengikuti sabîl (jalan) mereka. Yang dimaksud dengan sabîlanâ (jalan kami) adalah dînanâ (agama kami). Demikian penjelasan al-Qurthubi, al-Baghawi, al-Syaukani, Ibnu al-Jauzi, dan mufassir lainnya.
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, perkataan tersebut berarti uslukû tharîqatanâ wa a[i]dkhulû dînanâ (tempuhlah jalan kami dan masuklah ke dalam agama kami). Ibnu Jarir al-Thabari memaknainya: “Jadilah kalian seperti kami dalam mendustakan adanya (hari) kebangkitan kembali setelah kematian dan mengingkari pahala dan dosa atas perbuatan.”
Inilah sikap orang kafir. Mereka tidak diam dengan kekufuran dirinya. Akan tetapi, mereka juga mengajak kaum Mukmin untuk mengikuti agama mereka, baik seluruhnya maupun sebagian. Agar meyakinkan, mereka pun berkata: walnahmil khathâyâkum (dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu”).
Kata al-haml (memikul) di sini berarti al-hamâlah (menanggung), bukan memikul dengan punggung. Demikian menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya. Sedangkan huruf al-lâm pada kata walnahmil merupakan lâm al-amr (menunjukkan arti perintah). Seolah-olah mereka memerintahkan diri mereka untuk itu. Menurut al-Farra` dan al-Zujjaj, kalimat ini merupakan perintah yang mengandung syarat dan balasannya. Artinya, “Jika kalian mengikuti jalan kami, maka kami akan menanggung dosa-dosa kalian”.
Penjelasan serupa juga dikemukakan al-Syaukani. Menurutnya, ayat ini bermakna: “Jika mengikuti jalan kami berdosa dan membuat kalian dihukum pada hari kebangkitan kelak sebagaimana yang kalian katakan, maka kami akan menanggung dosa-dosa itu dan kami juga yang dihukum, bukan kalian.”
Ucapan itu merupakan bujukan kaum kafir terhadap kaum Muslimin sekaligus fitnah untuk meninggalkan Islam. Jika dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang adanya fitnah yang menyakitkan bagi orang yang mengatakan dirinya beriman, dalam ayat ini diberitakan tentang modus yang lebih halus yang dilakukan orang kafir dalam memurtadkan umat Islam. Allah SWT pun membantah perkataan mereka dengan firman-Nya: Wamâ hum bi hâmilîna min khathâyâhum min sya`i[n] (dan mereka [sendiri] sedikit pun tidak [sanggup], memikul dosa-dosa mereka).
Dalam ayat ini Allah SWT mendustakan perkataan mereka. Janji yang mereka ucapkan kepada kaum Mukmin adalah janji kosong. Sebab, mereka tidak sanggup memikul khathâyâhum sedikit pun. Kata khathâyâhum berarti awzârahum (dosa-dosa kalian). Dan mereka harus menanggung semua dosa itu sendiri. Tidak bisa melibatkan orang lain untuk membantu memikul dosa-dosa itu.
Huruf al-bâ` pada kata tersebut merupakan zâidah (tambahan). Itu berguna sebagai li ta`kîd al-nafiyy wa al-istimrâr (untuk mengukuhkan negasi dan dan keberlangsungan). Demikian penjelasan al-Syaukani.
Kemudian Allah Swt berfirman: Innahum lakâdzibûn (sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta). Kalimat ini menegaskan kedustaaan mereka. Bahwa ucapan mereka tidak layak dipercaya. Janji mereka tidak bisa dipegang. Sebab, mereka adalah para pendusta.
Memikul Dosa Berlipat
Dalam ayat selanjunya Allah SWT berfirman: walayahmilunna atsqâlahum ma’a atsqâlihim (dan sesungguhnya mereka akan memikul beban [dosa] mereka dan beban-beban [dosa yang lain] di samping beban-beban mereka sendiri). Ini merupakan penegasan tentang besarnya dosa mereka yang harus mereka tanggung. Digunakan kata al-atsqâl menunjukkan bahwa itu merupakan dzunûb ‘azhîmah (dosa-dosa yang amat besar).
Orang-orang kafir itu harus memikul atsqâlahum. Yakni, dosa atas kesesatan yang mereka lakukan. Sedangkan atsqâlihum adalah dosa orang-orang yang mereka sesatkan. Dengan demikian, mereka harus menanggung dosa yang mereka kerjakan sekaligus dosa orang yang ikut tersesat akibat bujukannya.
Ini sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: (Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan) (TQS al-Nahl [16]: 25). Sabda Nabi SAW: Barangsiapa membuat sunnah say`ah (kebiasaan yang buruk), dia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengikutinya (HR Muslim).
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: wa layus`alunna yawma al-qiyâmah ‘ammâ kânû yaftarûn (dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan). Pertanyaan yang ditanyakan kepada mereka pada Hari Kiamat kelak bukan dalam rangka istifhâm (mendapatkan jawaban atas perkara yang belum diketahui), namun merupakan tawbîkh wa taqrî’ (celaan dan teguran keras) terhadap kedustaan yang mereka adakan atas nama Allah SWT. Kata yaftarûn berarti kedustaan dan kebatilan yang mereka buat ketika di dunia.
Demikianlah. Bujuk rayu kaum kafir terhadap kaum Mukmin untuk meninggalkan agamanya. Cara yang mereka tempuh –sebagaimana diberitakan ayat ini—ini terlihat lembut dan halus. Namun jika diikuti, akibatnya tak kalah menyengsarakan dibandingkan dengan cara-cara kasar dan keras yang mereka lakukan. Yakni, sama-sama masuk ke dalam neraka yang penuh siksa. Maka, kaum Muslim harus menolak ajakan mereka dengan tegas. Allah SWT berfirman: Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (TQS al-Baqarah [2]: 217).
Semoga kita tidak termasuk orang tersesatkan oleh kaum kafir itu. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
0 Response to "Jangan Ikuti Jalan Kaum Kafir"
Posting Komentar