Ambon, Bali dan Densus: The End of Indonesia?

Oleh: Nuim Hidayat 
TRAGEDI Ambon hanya terpaut tiga tahun dengan bom Bali. Tragedi Ambon terjadi pada 19 Januari 1999, sedangkan Bom Bali pada12  Oktober 2002. Polisi dari Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88) hanya mengobrak-abrik jaringan Bom Bali dan tidak pernah menelusuri dan mendetailkan “Jaringan Kristen Radikal” yang menjadi menyebab tragedi Ambon.
Banyak penjelasan yang cukup bisa jadi alasan, bahwah dengan “memburu” jaringan “Islam Radikal”  bisa mengalirkan uang. 

Seorang sumber penting bercerita, bagaimana anggota-anggota Densus 88 kini hidupnya dikenal makmur. Rumah bagus disediakan dan bonus-bonus selalu mengalir. Karena nampaknya pihak  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau BPK seolah tidak ada yang ‘berani’ untuk memeriksa keuangan Densus. Atas nama ‘pemberantasan terorisme’ seolah-olah semua sah dilakukan. Apalagi cuma pat gulipat uang, penghilangan nyawa beberapa orang yang masih ‘terduga teroris’ tidak ada yang berani menggugat sampai ke pengadilan.

Kita semua masih ingat, saat pertama kali diluncurkan, mantan Kapolri Dai Bachtiar menyatakan, polisi menerima dana dari pemerintah Bush 50 juta dolar. Berdasarkan data dari Human Right Watch, ketika Densus pertama kali dibentuk 2002, mendapat dana 16 juta dolar.
Tahun 2001, polisi juga mendapat dana untuk pemberantasan terorisme sebesar 10 juta dolar. Dana yang diberikan pemerintah AS kepada Densus ini diperkirakan tiap tahun meningkat.  Untuk pemberantasan terorisme di seluruh dunia ini, tahun 2007 AS mengeluarkan dana sebesar 93 milyar dolar dan tahun 2008 sebesar 141 milyar dolar. (lihat : http://www.youtube.com/watch?v=G3yjS_J59vk).
000
Peristiwa penembakan ‘terduga teroris’ beberapa bulan lalu, kini juga tak ada kelanjutannya. Tidak ada satu lembaga pun –termasuk mereka yang aktif dalam gerakan HAM- mempersoalkan penembakan tanpa proses pengadilan itu, serius ke pengadilan. Kini Densus 88 digugat oleh Tim Pengacara Muslim, karena menangkap sembarangan anak-anak muda.

  

Tiga terduga teroris yang ditangkap Densus baru-baru ini, yakni David Ashari, Herman Setyono, dan Sunarto Sofyan, mengaku kepada TPM bahwa mereka dijebak oleh seseorang bernama Basir yang dikenal melalui Facebook.

"Dua anak saya mengenal Basir dari Facebook sekitar enam  bulan yang lalu," kata Maryam  ibu David dan Herman, dua kakak beradik yang dibekuk di Palmerah Barat. Maryam akahirnya meminta bantuan tim pengacara Muslim pimpinan Achmad Michdan SH di kantornya, Jalan Pinang 1, Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Entah apa maksud Densus menangkap anak-anak muda yang baru ikut pengajian selama 6 bulan. Bila tuduhan polisi atau Densus memang benar mereka mau meledakkan beberapa tempat –seperti diterangkan polisi—Densus harusnya memaparkan data-datanya secara kongkrit, tidak main duga-duga. Bila hal seperti ini terus terjadi, maka bisa dibenarkan pendapat banyak ahli bahwa ‘terorisme’ kini hanya proyek untuk mendapatkan fulus dari Amerika (dan menjelekkan citra Islam).

RMS dan Gerakan Papua Merdeka


Selalu menjadi pertanyaan penulis, kenapa Jaringan Kristen Radikal di Ambon tidak pernah dijelaskan atau diobrak-barik oleh kepolisian atau Densus. Penulis terkenang dengan peristiwa beberapa hari setelah tragedi Ambon 19 Januari 1999. Saat itu penulis menghadiri jumpa pers yang dilakukan oleh  Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), di Jalan Salemba. Penulis kala itu masih sebagai wartawan.
Tokoh-tokoh PGI dalam konferensi pers itu menyatakan bahwa tragedi Ambon adalah kesalahan dua belah pihak, baik umat Kristen maupun Islam. Mereka saling menyerang. Mendengar pernyataan tokoh PGI saat itu, penulis langsung angkat tangan waktu sesi tanya jawab.
Pernyataan penulis kala itu adalah; Apakah mungkin kaum Muslim Ambon menyerang lebih dulu, bukankah saat itu mereka lagi merayakan Idul Fitri? Bukankah yang lari dan pergi berbondong-bondong ratusan atau ribuan, naik kapal dan sebagainya orang-orang Islam? Mungkinkah penyerang kemudian melarikan diri sebagaimana dapat dilihat di media TV? Beberapa teman wartawan Muslim ‘mendukung’ saya dengan pertanyaan itu.

Tokoh PGI itu nampaknya nggak mau kalah argumen. Ia tetap menyatakan yang terjadi di Ambon adalah saling serang. Ia menyatakan bahwa ada pengungsi-pengungsi Kristen dengan kapal-kapal kecil dan tidak diliput media massa, katanya. 

Bisa bayangkan apa yang terjadi di Ambon bila mujahidin-mujahidin dari seluruh pelosok tanah air tidak berangkat ke sana (Maluku dan Poso). Beberapa kelompok yang ingin seperti Kompak Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dari Laskar Jihad, dari ormas-ormas Islam di Jakarta, Solo, Bandung dan lain-lain seluruh pelosok Nusantara. Tentu Ambon akan seperti Timor Timur yang mudah direkayasa untuk lepas dari Indonesia. 

Saat itu kebetulan penulis juga mendapat kesempatan wawancara dengan Prof Bilveer Singh, ahli politik dari National of Singapora University. Bilveer Singh intinya menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan bahaya dan ada fihak-fihak yang menginginkan ‘The End Of Indonesia’. Yakni pihak luar bekerjasama dengan fihak dalam negeri Indonesia menginginkan Indonesia terpecah-pecah menjadi negara kecil-kecil. Maluku sendiri. Irian sendiri. Timor Timur sendiri, Kalimantan sendiri dan seterusnya.

Prof Bilveer Singh ini menarik. Ia menyukai Presiden Habibie saat itu dan tidak menyukai Jendral LB Moerdani. Pandangan politiknya terhadap Indonesia sering jujur dan cukup obyektif. Misalnya, ketika tokoh-tokoh Kristen/Katolik di Indonesia dan Barat, menyatakan terjadi Islamisasi di Timor Timur, ia menulis buku tebal tentang Timor Timur. Ia menyatakan dalam bukunya bahwa yang terjadi di Timtim adalah “Katolikisasi” bukan “Islamisasi”.

Perlunya Mengenang Tragedi Ambon


Bila pemerintah dan warga Australia dan Amerika rajin mengadakan perayaan-perayaan tragedi WTC dan Bom Bali, umat Islam mestinya juga terus mengenang tragedi Ambon tiap tahunnya. Untuk mengenang tragedi ini, berikut kutipan penuturan dari KH Abdul Aziz, Imam Besar Masjid al Fatah Ambon tentang awal mula tragedi yang dimotori oleh tokoh-tokoh Kristen Radikal itu :

“Kejadian Idul Fitri berdarah di Ambon bukan karena umat Islam di Batu Merah memeras sopir angkot yang bernama Yopie. Itu berita yang salah yang dilansir, oleh banyak mass media. Yang benar adalah diawali dengan pembakaran perkampungan umat Islam di kampung Waylete oleh umat Nasrani dari Hative Besar. Itu terjadi pada 14 November (1998). Kampung Waylette dihuni oleh orang BBM (Bugis, Buton, Makasar). Mereka tidak senang kepada umat Islam, sehingga mereka membakar perkampungan tersebut dan mereka merasa kurang puas dengan hanya membakar kampungnya, lalu dirusaknya masjid di kampung Waylete tersebut….”

Pada 10 Ramadhan (sebelum Idul Fitri 1999 –pen), saya sempat memberikan ceramah di Maluku Tengah. Sepulangnya dari sana saya melihat banyak truk yang berisikan parang-parang. Pada waktu itu saya tidak mempunyai pikiran suuddzon, saya hanya berfikir bahwa parang-parang dibawa dari pulau Seram ke Ambon untuk dijual. Yang melihat itu bukan hanya saya saja, banyak saksi mata lainnya yang melihat pemandangan sehari-hari seperti itu.

Kemudian pada 17 Ramadhan saya memberikan ceramah di Kairatu dan Jomba. Sepulang dari sana saya melihat mereka sudah membawa parang-parang tersebut ke mobil truk masuk ke Ambon. Kemudian di bulan Ramadhan (itu) saya mengajar di PLN Ambon setiap Selasa dan Jumat. Saya dijemput oleh sopir yang beragama Nasrani, lalu saya berkata kepada sopir itu, Alhamdulillah bulan puasa keadaannya tenang, aman dan tidak ada kerusuhan apa-apa. Tapi sopir itu menyatakan, inikan bulan puasa pak Kiai, tapi setelah bulan puasa belum tentu aman…” (lihat buku Ambon Bersimbah Darah, Hartono Ahmad Jaiz, Dea Press).

Gerakan tokoh-tokoh ‘Kristen Radikal’ ini terus berlangsung. Di media kita lihat, hampir tiap tahun mereka selalu mengibarkan bendera RMS.  Republik Maluku Selatan (RMS) ini didirikan oleh Dr Soumokil pada 24 April 1950. Gerakan ini mensahkan adanya penggunaan kekerasan untuk perjuangannya dan gerakan ini menginginkan terus berlangsungnya dominasi Kristen di Ambon/Maluku. 

Sedangkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah gerakan separatis Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Seperti RMS, gerakan ini terus menerus menggalang dukungan baik dalam negeri maupun luar negeri untuk melancarkan gerakannya. OPM mempunyai pendukung-pendukung baik di Inggris, Amerika, Australia dan lain-lain.
Setelah tahun 1969, Papua/Irian bergabung dengan Indonesia, dua tahun kemudian tepatnya 1 Juli 1971, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM yang lain, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob Hendrik Prai menaikkan bendera Bintang Fajar dan memproklamasikan berdirinya Republik Papua Barat. Kini mereka tiap tahun juga terus menarikkan benderanya sebagai lambang terusnya gerakan mereka. Dan nampaknya tokoh-tokoh ‘Kristen Radikal’ di sana pun mendukung gerakan ini secara diam-diam. Nampaknya mereka ingin meniru jejak Timor Timur yang dengan bantuan tokoh-tokoh gereja di sana, khususnya Uskup Bello, akhirnya lepas dari Indonesia.

Walhasil, bila Densus 88 begitu semangat ‘memberangus terorisme’ kenapa Densus  tidak berani mengobrak-abrik jaringan RMS dan OPM? Karena itu wajar bila umat Islam curiga terhadap Densus dan timbul opini-opini di kalangan umat. Densus bahkan diplesetkan sebagian orang dengan istilah ‘Detasemen Yesus’.
Benar atau tidak, Densus harus membuktikan.  Setidaknya bisa berlaku adil terhadap gerakan-gerakan ‘Kristen Radikal’, sebagaimana cara mereka memperlakukan kalangan Muslim selama ini. Jika tidak, umat Islam akan semakin meyakini dan membenarkan isu selama ini, bila kehadirannya “disengaja”  sebagai agenda untuk memperburuk citra Islam. Wallahu aziizun hakiim.*

Penulis adalah dosen STID M Natsir, Jakarta dan penulis buku “Imperealisme Baru”

hidayatullah

0 Response to "Ambon, Bali dan Densus: The End of Indonesia? "

Posting Komentar