Gelisah, rasanya ingin menangis ditempat, eemh malunya aku kalau sampai itu terjadi. Akan ada banyak pertanyaan mencecarku bila aku tak bisa menahan diri, dan aku tak mau diganggu. Kecemburuan dan rasa marah yang menyelimutiku sedemikian dalam ku balas dengan istighfar. Orang2 sudah berkumpul dalam suasana gembira. Aku tak mau merusak suasana, tentu saja. Ummi menyuruhku mengantarkan makanan dan minuman lagi karena persediaan di meja sudah agak kosong. Ku lirik 2 pasangan itu, ekspresi mereka begitu bahagia menemani tamu2 yang masih keluarga dan kerabat dekat, mereka memang sengaja datang karena diundang oleh keluarga Kang Diman dalam acara syukuran adiknya membuka cabang bengkel yang baru.
Aaah pantaskah aku masih menimpan gejolak rasa itu, ataukah ini hanya sekedar kekecewaanku semata melihat istri Kang Diman yang terlihat “sempurna”, cantik dan disukai semua orang? Entahlah, tapi saat ku lihat wajah Kang Diman, jantungku berdegup kencang. Apa ini? Nostalgia perasaan atau melankolis yang tiba2 muncul karena aku masih sendiri saja? Padahal ini bukan pertama kali aku bertemu lagi dengannya. Meskipun aku tidak bisa hadir di pernikahannya dulu, tapi aku datang ketika mereka mengadakan walimah di kampung kami. Aku dan Aninda, istri Kang Diman langsung akrab waktu itu, sementara Kang Diman ku rasakan sangat menjaga jarak dan menghindar dariku.
Tergagap saat ku dengar namaku dipanggil. Aninda istri Kang Diman ternyata, dia melambaikan tangannya memintaku mendekat.
Aninda : “Duduk Ri, kamu dari tadi bolak balik dapur, lelah kan, sini temani kami.”
Aku : “Gpp ko Mbak, kan tugasku mank membantu hehe. Mbak tugasnya temani para tamu”
Aninda : “Ya ga gitu juga, kemarilah. Ri, ada banyak ikhwan yang belum menikah lho, teman2nya Kang Diman. Kan kata kamu, kamu belum punya calon. Gimana, mau kami perkenalkan ya yang kira2 bisa sejalan sama kamu?”
Kang Diman beranjak pergi saat aku mendekat, dia menghampiri pamannya yang sedang duduk agak jauh dari kami. Aku menghela nafas, agak tersinggung. Aku mencoba bersikap biasa, khawatir Aninda curiga.
Aku : “Iya boleh banget Mbak. Pokonya aku manut wae. Aku percaya banget Mbak dan Kang Diman bisa memilihkan buat aku hehe…”
Aninda : “Alhamdulillaah.. Sip kalo begitu. Tunggu kabarnya dari kami ya Ri.”
Aninda memelukku erat, uuuuwh bagaimana tidak Kang Diman tidak jatuh cinta padanya, aku saja kalau mau jujur, sangat nyaman berdekatan dengannya. Dia cantik dan menarik. Untaian pujian lainnya yang mungkin tak kan habis. Meski lagi2, aku memendam cemburu dan iri pada Aninda. Ku halau karena aku tahu, Aninda tidak pantas menerimanya. Tapi perasaanini membunuhku…
~Pertengahan Mei 2012~
#Aninda : “Assalamu’alaikum. Ri, pa kbr? Smoga km dan keluarga slalu dlm lindungan Allah Ta’ala. Aamiin. Gini lho, tentang ikhwan2 temannya kang Diman yang pernah aku bilang, alhamdulillaah ada ikhwan, beliau satu kerjaan sama Kang Diman, siap menikah. Kang Diman sudah menawarkan dirimu dan dia menerima. Namanya Kang Abdullah, usia diatas dirimu 2 tahun. Sekarang kamu sholat istikhoroh terlebih dahulu, agar ga salah langkah.”
#Aku : “Wa’alaikumussalam. Alhamdulillaah baik Mbak. Aamiin. Iya Mbak, aku bakal ikuti saran Mbak. Aku istikhoroh dulu, aku minta waktu, mungkin sekitar 2 minggu sampai 1 bulan ini bisa memberikan jawabannya. Gimana Mbak, terlalu lama ga ya? hehe..”
#Aninda : “Insya Allah ikhwannya ga keberatan, Ri. Beliau dewasa dan matang, bukan orang yang terburu2, apalagi ini menyangkut pernikahannya sendiri. Nanti Kang Diman kasih tau sama orangnya ya.”
~Akhir Mei 2012~
Aku beranikan diri meneleponnya, aku siap menerima resiko, apapun itu. Dengan mengucap basmalah, aku menguatkan diri.
Kang Diman : “Assalamu’alaikum…”
Aku : “Wa’alikumussalam Kang afwan ganggu, ini Riri.”
Terdiam tak ada jawaban. Aaah Kang tidakkah engkau tahu, aku ingin reaksimu yang dulu begitu hangat dan ceria saat menerima telepon dariku,
Aku : “Afwan Kang, aku cuma mau memastikan suatu hal, kalo ini sudah aku ungkapkan dan aku tau jawabannya, aku akan tenang, please….”
Kang Diman : “Silahkan ungkapkan saja Ri”
Suaranya melunak, aku sangat senang.
Aku : “Terimakasih sebelumnya atas tawaran ngenalin aku dengan Kang Abdullah. Tapi ada sesuatu yang mengganjal, Kang… Maafkan aku.. Selama ini ternyata perasaanku sama Akang ga pernah berubah. Aku sungguh2 tersiksa, jadi ku beranikan diri untuk tanya hal ini sama Akang.. Kang maukah Akang menikahi aku? Agar aku terhindar dari perasaan yang tidak sepantasnya aku pendam terus menerus, insya Allah dalam ikatan yang halal, hidupku akan sangat tenang… Maaf ya Kang…”
Terdengar helaan nafas. Aku tunggu. 10 detik berlalu. Menanti jawabannya seperti naik rollercoaster menunggu turun sangat kencang.
Aku : “Kang…..”
Kang Diman : “Inilah salah satu yang aku khawatirkan. Aku sendiri sebenarnya merasa sangat bersalah padamu, Ri. Dan sangat menyesal. Tapi apa mau dikata, semua sudah terjadi. Aku tidak menyalahkan dirimu dengan masih menyimpan rasa suka, sudah sejak lama kan aku berusaha menjaga jarak denganmu karena aku tidak ingin ada celah sedikitpun kita akrab kembali, kita sama2 paham kan Ri, hal itu melanggar hukum Syara’. Jadi sudahlah, kita kubur dalam2 semuanya, aku tidak mau memberimu harapan yang pada kenyataannya aku belum mampu. Bagaimana dengan istikhorohmu?”
Denyut nadiku seakan berhenti. Kalau aku tak salah menangkap maksudnya, Kang Diman mungkin juga menyukaiku selama ini. Aku bersyukur dalam hati. Perasaan sangat bahagia ini begitu indah.
Aku : “Tidak mau memberiku harapan karena belum mampu? Jadi maksudnya Akang juga punya rasa suka sama aku tapi belum mampu untuk menikah kembali. Begitukah Kang?”
Kang Diman : “Sudahlah Ri, tidak penting aku suka atau tidak punya rasa untukmu. Yang terpenting sekarang realitas. Ada ikhwan yang siap menikahimu. Lumayan mapan. Sangat dewasa dan matang. Bagaimana istikhorohmu?”
Aku : “Kang tolonglah mengerti, aku menyukaimu… Aku memendam cinta yang tulus untukmu. Kalau memang Akang belum mampu menikahiku, aku akan bersabar. Aku juga tidak akan macam2 dalam penantianku ini, aku tidak akan mengganggu rumahtangga Akang dan Mbak Aninda.”
Telepon terputus, atau diputuskan? Aku telepon kembali tapi tidak aktif. Habis batre? Aku kembali berkhayal, kata2 Kang Diman terngiang2.
Bersambung, insya Allah.
Silahkan dibaca bagian pertama : http://bringbackislam.blogspot.com/2012/10/jagalah-jarak-wahai-muslimah-mereka.html
0 Response to "Jagalah Jarak Wahai Muslimah (2). Mereka Bukan Suamimu!"
Posting Komentar