Peristiwa Sleman : Kegagalan Demokrasi Menjaga Kemajemukan



Peristiwa Sleman dan Kegagalan Demokrasi Menjaga Kemajemukan
Rumah Pendeta Nico Lomboan di Segel Pemda Sleman
Oleh: Ali Mustofa, Kantor Penerangan HTI Soloraya

Tudingan sikap intoleransi kembali ditujukan kepada umat Islam. Kali ini dipicu saat sekelompok orang menyerang rumah pendeta Nico Lomboan, di dusun Pangukaan RT 03/10, Trida, Sleman. Banyak kalangan kemudian ramai-ramai hanya menyalahkan sepihak yang melakukan penyerangan. Namun tak peduli dengan apa sebenarnya penyebab pengrusakan itu terjadi. Padahal tentu tak ada asap tak ada api.

Perlu ditelisik, kejadian itu disulut dengan sikap “ngeyel” pendeta Nico yang tetap menggunakan kediamannya untuk acara ibadah bersama. Tentunya juga dengan disertai syiar agama mereka dalam usaha kristenisasi.

Nico terbukti melanggar hukum dikarenakan rumah itu sebelumnya telah di segel. Menurut informasi dari Pemkab setempat, rumah itu digunakan sebagai tempat ibadah sejak tahun 1990 lalu disulap menjadi gereja pada tahun 2010. Karena terjadi pelanggaran IMB, akhirnya tempat itu di segel oleh warga dan disaksikan pemerintahan Sleman pada tahun 2011.

Klimaksnya terjadi kemarin 29 Mei, Warga kesal lalu melakukan pengrusakan tempat itu. Benar, tindakan pengrusakan itu patut disayangkan. Tapi menyalahkan hanya satu pihak tanpa mempermasalahkan apa dan siapa penyebab kejadian tersebut. Tidak adil dan diskriminatif itu namanya. Harapannya, pihak berwenang segera mengusut tuntas kejadian dan menegakkan hukum yang seadil-adilnya.

Diskriminasi dalam tuduhan Intoleran

Tudingan sikap intoleransi memang acap dilayangkan kepada umat Islam. Seperti halnya peristiwa Sleman, beberapa pihak kemudian pada mengecam pihak tertuduh (pelaku umat Islam). Mulai dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) hingga Istana Negara juga bersuara. “Menanggapi penyerangan umat Katolik di Sleman, saya tidak bosan ingatkan agar semua elemen masyarakat saling hormati kebebasan beragama. *SBY*,”Demikian tulis Presiden di akun twitternya.

Namun kenapa teramat sedikit yang bersuara ketika tindakan intoleransi dilakukan umat agama lain. Di Bali misalnya, kebebasan beragama justru di coreng dengan adanya larangan jilbab bagi siswi di sekolahan setempat. Kasus lain, adanya peniadaan ajaran Islam bagi siswa muslim di sekolah-sekolah Kristen misalnya dan dipaksa mengikuti ajaran agama bersangkutan yang bukan menjadi keyakinan siswa-siswi tersebut.

Dan lebih universal lagi, kemana suara LSM-LSM yang sering menuduh umat Islam intoleran ketika terjadi penganiayaan dan pembunuhan terhadap kaum muslim di Palestina, Rohingnya, Afrika Tengah dan tempat-tempat lain?. Dan kemana suara mereka ketika di negara-negara Eropa terjadi larangan jilbab, ibadah sholat di mata-matai di Masjid, dan pelemparan batu serta coret-coret dinding Masjid dengan kata-kata kotor seperti “Babi”, dsb. Suara mereka nyaris tak terdengar seperti radio rusak.

Demokrasi gagal menjaga kemajemukan

Ini merupakan bukti kesekian kali bahwa sejatinya sistem sekulerisme-demokrasi yang telah diterapkan di negri ini tak mampu untuk menjaga kemajemukan. Sudah berapa banyak terjadi gesekan antar kelompok, baik itu kelompok ras, agama maupun suku. Lebih-lebih ditahun-tahun politik begini, banyak pihak bermain yang justru terkadang berusaha memanfaatkan suasana guna memuluskan kepentingan mereka.

Ini bukan tentang Scapegoat Theory, tapi fakta yang berbicara begitu. Menurut A. Harsono, peneliti Human Rights Watch, gesekan agama terus terjadi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 sebanyak 216 kasus, tahun 2011 sebanyak 242 kasus, tahun 2012 sebanyak 264 kasus. (hrw.org, 14/05). Gesekan politik dan sosial adalah lebih banyak lagi.

Banyak faktor yang menyebabkan konflik komunal ini terus terjadi. Diantaranya karena lemahnya penegakkan hukum, lemahnya kepemimpinan, dan lemahnya sistem kenegaraan yang diterapkan itu sendiri. Ambil contoh misalnya, kejadian Sleman ini sejatinya bisa dihindari. Semestinya Pendeta Nico yang telah melanggar hukum IMB harus dikenai sanksi yang tegas karena berulang kali nekat melanggar aturan soal tempat ibadah. Tak sekedar disegel rumahnya, sementara orangnya tetap bebas berseliweran menjalankan misi kristenisasinya.

Hanya Islam yang bisa menjaga kemajemukan

Maka jangan salah dalam mengambil solusi. Sekedar dialog antar agama, jalan rukun bersama antar agama yang diselenggarakan oleh Pemda, kampanye toleransi antar umat beragama. Semua itu terbukti tak mampu mengobati. Apalagi sebatas mengambil slogan dongeng “dewa”untuk memotivasi persatuan, seperti halnya kalimat ini, :

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwati

Maksudnya, seperti yang ditulis Charles K, konon Budha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu (walaupun berbeda-beda), tetapi satu jua. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. (Charles K, Kala Agama Menjadi Bencana, PT. Mizan Pustaka, 2003, Bandung).

Demikianlah salah satu potret buram demokrasi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironisnya masih ada yang memuji dan memuja. Herannya lagi ada yang menuduh penegakkan sistem Islam dalam bingkai khilafah adalah ancaman bagi kemajemukan. Itu jelas tuduhan yang keliru.

Secara lebih rinci, Syaikh Taqiyyudin An-Nabhaniy dalam kitab Daulah Islam, telah menjabarkan seperti apa pengaturan secara teknis dalam negara khilafah Islam berikut ini:

Pertama: Seluruh hukum Islam diterapkan kepada penduduk muslim. Kedua: Penduduk non muslim dibolehkan tetap memeluk agama mereka dan beribadah berdasarkan keyakinannya. Ke-tiga: Memberlakukan non muslim dalam urusan makan dan pakaian sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum. Ke-empat: Urusan pernikahan dan perceraian antar non muslim diperlakukan menurut aturan agama mereka.

Ke-lima: Dalam bidang publik seperti mu’amalah, uqubat (sanksi), sistem pemerintahan, perekonomian, dan sebagainya, negara menerapkan syariat Islam kepada seluruh warga negara baik muslim maupun non muslim. Ke-enam: setiap warga Negara yang memiliki kewarganegaraan Islam adalah rakyat Negara, sehingga Negara wajib memelihara mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan muslim maupun non muslim.

Karena itu, sistem Islam-lah formula terbaik untuk mengatur keberagaman bangsa. Yang telah terbukti selama berabad-abad mampu memberikan kegemilangan dalam mengatur kemajemukan. Seperti pada massa Rasulullah Saw, umat Islam dapat hidup rukun berdampingan dengan umat nasrani maupun Yahudi. Mereka hidup bersama dalam naungan negara yang berdasar sistem Islam.

Keberhasilan sistem Islam dalam mengatur kemajemukan ini juga diakui oleh para pemikir-pemikir barat. Bisa dilihat seperti Will Durrent dalam The story of Civilization, atau T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam. Perlu bukti apalagi. Islam adalah rahmat untuk seluruh alam. Wallahu A’lam. [www.al-khilafah.org]

0 Response to "Peristiwa Sleman : Kegagalan Demokrasi Menjaga Kemajemukan "

Posting Komentar