Sekurangnya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi tiap tahun. Angka itu meningkat 100 persen lebih dari statistik badan PBB, Unicef tahun 1998 yang mencatat sekitar 70.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran dan pornografi. Berdasarkan data ILO, pada 2002-2006 ditemukan sebanyak 165 ribu pelacur sekitar 30 persennya atau 49 ribu jiwa adalah anak di bawah usia 18 tahun. Koordinator Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Ahmad Sofian yang menjelaskan, 70 persen anak yang jadi korban berusia antara 14 tahun dan 16 tahun. Kejahatan yang menimpa mereka bervariasi, dari sindikat pelacuran, pedofilia, pornografi dan sebagainya.
Jumlah pelacur anak di kota besar Indonesia mencapai angka ribuan orang. Di Jakarta diperkirakan sekurangnya ada 10.000. Sedangkan mereka yang ditemukan di Sumatera Utara sebanyak 1.500 anak. Jumlah lebih kecil dari kenyataan karena pelacuran anak merupakan fenomena gunung es.

Muhammad Jailani, Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Sosial Perkotaan, mengatakan, data tersebut masih merupakan jumlah sebagian yang sempat terdata. Jumlah pasti pelacur anak diperkirakan lebih besar dibanding angka yang sudah ditemukan
Jumlah pelacur anak di kota besar Indonesia mencapai angka ribuan orang. Di Jakarta diperkirakan sekurangnya ada 10.000. Sedangkan mereka yang ditemukan di Sumatera Utara sebanyak 1.500 anak. Jumlah lebih kecil dari kenyataan karena pelacuran anak merupakan fenomena gunung es.

Muhammad Jailani, Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Sosial Perkotaan, mengatakan, data tersebut masih merupakan jumlah sebagian yang sempat terdata. Jumlah pasti pelacur anak diperkirakan lebih besar dibanding angka yang sudah ditemukan
Tarif kencan pelacur anak lebih tinggi ketimbang pelacur dewasa bahkan mahasiswi. Sofian menjelaskan, tarif kencan pelacur anak Rp 400.000 hingga Rp 1,5 juta. Mereka terjun ke pelacuran karena materialisme dan mengikuti gaya hidup mewah.
Jaringan pelacuran anak di kalangan siswi sekolah memiliki database dan daftar nomor telepon pelacur anak. Kondisi itu terjadi merata di kota-kota besar. Kota-kota yang menjadi pusat ESKA adalah Batam, Bali, Jakarta, Surabaya, Medan, dan tiga kota berdekatan, yakni Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Anak-anak itu juga kerap diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Jepang dengan pelbagai modus.
Ahmad Taufan Damanik, Ketua Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) yang berbasis di Medan menyatakan, persoalan anak yang dilacurkan umumnya terjadi di perkotaan. Mereka sebagian besar berasal dari daerah-daerah yang datang ke kota karena iming-iming penghasilan lumayan, tapi dijerumuskan jadi pekerja seks.
Hukum lemah
Menurut Jailani, Direktur Eksekutif Kelompok Kerja Sosial Perkotaan, penanganan anak yang dilacurkan di Indonesia masih setengah hati dibandingkan negara-negara lain. Di Sumatera Utara pelarangan tidak diikuti dengan intrumen pelaksana serta anggaran yang cukup.
Eddie Imanuel Doloksaribu dari Lembaga Penelitian Atma Jaya Jakarta menjelaskan, laporan-laporan lembaga advokasi atas kasus ESKA tidak dapat ditindaklanjuti karena ketentuan hukum yang ada belum mengatur, termasuk pada Undang-Undang Anti Pornografi dan Porno Aksi yang baru saja disetujui DPR.
Di negara lain eksploitasi seksual atas anak diganjar hukuman keras. Semisal dua warga negara Indonesia yang ditangkap di Melbourne, Australia, diancam hukuman hingga 10 tahun dan denda Rp 2,3 miliar karena terlibat ESKA.
unikbaca
Solusinya : BACK TO SYARIAH ISLAM!
0 Response to "Jaringan Pelacuran Anak, Fenomena Gunung Es"
Posting Komentar